Tangerang. 01 Mei 2016
(Penulis)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Wakaf adalah
sebuah fenomena yang menarik untuk diamati, karena merupakan salah satu
keunggulan dari sistem syariat Islam dalam pengelolaan harta demi kebaikan
umat. Berwakaf bukan hanya seperti sedekah biasa, tetapi lebih besar ganjaran
dan manfaatnya terhadap diri yang berwaqaf itu sendiri, karena pahala waqaf itu
terus menerus mengalir selama barang waqaf itu masih berguna. Juga terhadap
masyarakat, dapat menjadi jalan untuk kemajuan yang seluas-luasnya dan dapat menghambat
arus kerusakan.
Masalah wakaf
dalam perspektif sejarah Islam (al-târih al-islâmi), tidak dapat
dipisahkan dari pembicaraan tentang perkembangan hukum Islam dan esensi misi
hukum Islam. Untuk mengetahui perkembangan sejarah perkembangan hukum Islam
perlu melakukan penelitian dengan cara menelaah teks (wahyu) dan kondisi sosial
budaya masyarakat di mana hukum Islam itu berasal. Sebab hukum Islam merupakan
perpaduan antara wahyu Allah Swt. dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat
wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk mengejawantahkan
nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan
keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial
maupun keadilan ekonomi
Rasa keadilan adalah
suatu nilai yang abstrak, tetapi ia menuntut suatu tindakan dan perbuatan yang
konkrit dan positif. Pelaksanaan ibadah wakaf adalah sebuah contoh yang konkrit
atas rasa keadilan sosial, sebab wakaf merupakan pemberian sejumlah harta benda
yang sangat dicintai diberikan secara cuma-cuma untuk kebajikan umum. Si wakif
dituntut dengan keikhlasan yang tinggi agar harta yang diberikan sebagai harta
wakaf bisa memberikan manfaat kepada masyarakat banyak, karena keluasan ekonomi
yang dimilikinya merupakan karunia Allah yang sangat tinggi.
Amalan wakaf
sangat besar artinya bagi kehidupan sosial ekonomi, kebudayaan dan keagamaan. Oleh karena itu, kedudukan wakaf dalam Islam
sangat mulia. Wakaf dijadikan sebagai amalan utama yang sangat dianjurkan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Orang-orang Jahiliyah tidak mengenal wakaf. Wakaf
disyariatkan oleh Nabi dan menyerukannya karena kecintaan beliau kepada
orang-orang fakir dan yang membutuhkan.
Di tengah
permasalahan sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan
ekonomi dewasa ini, eksistensi lembaga wakaf menjadi sangat urgent dan
strategis. Di samping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi
spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan
ekonomi (dimensi sosial). Oleh karena itu sangat penting dilakukan
pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan
dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa
pengertian Wakaf dan Dasar Hukumnya?
2.
Apa saja, Rukun, Syarat, dan Macam-Macam Wakaf?
3.
Bagaimanakah
Menukar
dan Menjual Harta Wakaf dan Pengawasan Harta Wakaf?
4.
Apakah Hikmah Wakaf
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini yaitu:
1. Agar memahami
Pengertian Wakaf dan Dasar Hukumnya
2. Agar
mengetahui Rukun, Syarat, dan Macam-Macam Wakaf
3. Agar
mengetahui cara Menukar dan Menjual Harta Wakaf dan Pengawasan
Harta Wakaf
4.
Agar
mengetahui Hikmah
Wakaf
BAB II
WAKAF
A.
Pengertian
dan Dasar Hukum Wakaf
1.
Pengertian Wakaf
Secara
etimologi, kata wakaf (وقف) berarti al-habs (menahan), al-tahbis (tertahan),
dan al-man`u (mencegah)
Menurut syara’ banyak definisi yang dikemukakan oleh ulama
di antaranya:
1)
Sayyid
Sabiq
حبس
المال وصرف منافعه في سبيل الله
”Menahan
harta dan menggunakan manfaatnya di jalan Allah swt”.
2)
Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaeni
ممنوع
من التصريف في عينه وتصرف منا فعه فى البر تقربا
الى الله تعالى
Artinya: “Menahan
harta yang kekal zatnya untuk diambil manfaatnya tanpa merusak (tindakan) pada
zatnya yang dibelanjakan manfaatnya di jalan kebaikan dengan tujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt”.
Dari dua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
yang namanya wakaf adalah menahan benda yang tidak mudah rusak (musnah) untuk
diambil manfaatnya bagi kepentingan yang dibenarkan
oleh syara` dengan tujuan memperoleh pahala dan mendekatkan diri kepada
Allah.
Menurut
Azhar Basyir ketentuan-ketentuan di dalam wakaf yaitu, sebagai
berikut:
1)
Harta wakaf harus
tetap (tidak dapat dipindahkan kepada orang lain) baik dengan dijual-belikan,
dihibahkan, ataupun diwariskan.
2)
Harta wakaf terlepas dari pemilikan orang yang
mewakafkannya.
3)
Tujuan wakaf harus
jelas (terang).
4)
Harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang memiliki
hak ikut serta dalam harta wakaf.
5)
Harta wakaf dapat berupa tanah dan sebagainya yang tahan
lama dan tidak musnah sekali digunakan.
2.
Dasar Hukum Wakaf
Dasar hukum
yang dapat dijadikan penguat pentingnya wakaf terdapat dalam Al-Qur’an, di antaranya:
1)
Surat al-Hajj ayat 77
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
(Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan)
2)
Surat Ali-Imran ayat 92
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ
حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ
فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
(Tidaklah kamu memperoleh kebaikan
sampai kamu menafkahkan apa yang kamu sukai)
Dalam hadits
Nabi:
إذا
مات الإنسان انقطع عملها الا من ثلاثة أشياء صدقة جارية او علم ينفع به أو ولد
صالح يدعوله
(رواه مسلم)
(Jika manusia mati maka
terputuslah semua amalnya kecuali tiga:
sedekah jariah (yang terus meneruskan), ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan kepadanya). (HR. Muslim).
Para ulama menafsirkan sedekah jariah dalam hadits di atas dengan
wakaf. Jabir berkata tiada seorang dari seorang dari para sahabat Rasulullah
yang memiliki simpanan melainkan diwakafkannya.
B.
Rukun Wakaf
Ada empat rukun wakaf atau
unsur-unsur wakaf, yaitu:
1.
Ada orang yang berwakaf (wakif), syaratnya orang
yang bebas untuk berbuat kebaikan, meskipun bukan Muslim dan dilakukan dengan
kehendak sendiri bukan karena dipaksa.
2.
Ada benda yang diwakafkan (maukuf).
§
Syarat pertama, benda itu kekal zatnya dan dapat
diambil manfaatnya (tidak musnah karena diambil manfaatnya).
§
Kedua,
kepunyaan orang yang mewakafkan, meskipun bercampur (musya’) yang tidak
dapat dipisahkan dari orang lain, maka boleh mewakafkan uang yang berupa modal,
berupa saham pada perusahaan.
§
Ketiga,
harta wakaf harus segera dapat diterima setelah wakaf diikrarkan. Bila wakaf
itu diperuntukkan untuk membangun tempat-tempat ibadah umum hendaknya ada badan
yang menerimanya yang disebut Nadzir. Dan diperbolehkan bagi orang
yang mengurus zakat (Nadzir) untuk mengambil sebagian dari hasil wakaf.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang artinya: “Tidak ada halangan bagi orang
yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang makruf “.
3.
Tujuan wakaf (maukuf alaihi) disyariatkan
tidak bertentangan dengan nilai ibadah. Menurut Sayid Sabiq, tidak sah wakaf
untuk maksiat seperti untuk gereja dan biara, dan tempat bar.
4.
Pernyataan wakaf (shighat wakaf) baik dalam
bentuk lisan, tulisan, maupun isyarat, bahkan dengan perbuatan. Wakaf
dinyatakan sah jika telah ada pernyataan ijab dari wakif dan kabul dari maukuf
alaihi. Shigat dengan isyarat hanya diperuntukkan bagi orang yang
tidak dapat lisan dan tulisan.
Sayyid Sabiq, menambahkan bahwa pernyataan wakaf dinyatakan
sah melalui dua cara:
1.
Perbuatan yang menunjukkan wakaf seperti seorang membangun
masjid dan dikumandangkan adzan di dalamnya. Hal ini telah menunjukkan wakaf
tanpa harus ada penetapan dari hakim.
2.
Ucapan, baik shahih (jelas), maupun kinayah
(tersembunyi).
Contoh yang shahih seorang wakif (orang yang mewakafkan)
berkata, “aku wakafkan”, “aku hentikan pemanfaatannya”, “aku jadikan
untuk sabilillah”. Adapun ucapan kinayah seperti, “aku
sedekahkan” akan tetapi niatnya adalah wakafkannya.
C. Syarat
Wakaf
Adapun syarat-syarat wakaf adalah
sebagai berikut:
1.
Untuk selama-lamanya
Wakaf untuk selama-lamanya merupakan syarat
sahnya amalan wakaf, tidak sah bila dibatasi dengan waktu tertentu. Hal ini
disepakati oleh para ulama, kecuali madzhab Maliki. Hal ini berlaku pula bagi
wakaf ahli. Pada wakaf ahli jika pada suatu waktu orang yang ditetapkan
mengambil hasil atau manfaat harta wakaf telah tiada, maka harta wakaf itu
digunakan untuk kepentingan umum.
2.
Tidak boleh dicabut
Bila terjadi suatu wakaf dan wakaf itu telah
sah, maka pernyataan wakaf itu tidak boleh dicabut. Wakaf yang dinyatakan
dengan perantara wasiat, maka pelaksanaannya dilakukan setelah waqif meninggal
dunia dan wasiat wakaf itu tidak seorangpun yang boleh mencabutnya.
3.
Pemilik wakaf tidak boleh dipindah tangankan
Dengan terjadinya wakaf, maka sejak itu harta
wakaf itu telah menjadi milik Allah Swt. pemilikan itu tidak boleh dipindah tangankan
kepada siapapun, baik orang, badan hukum atau negara. Negara ikut mengawasi
apakah harta wakaf dapat dimanfaatkan dengan baik atau tidak dan negara juga
berkewajiban melindungi harta wakaf tersebut.
4.
Setiap wakaf harus sesuai dengan tujuan wakaf pada
umumnya
Tidak sah wakaf bila tujuannya tidak sesuai
apalagi bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bila waqif telah selesai
mengucapkan ikrar wakafnya, maka pada saat itu wakaf telah terlaksana. Agar
adanya kepastian hukum adalah baik bila wakaf itu dilengkapi dengan alat-alat
bukti, seperti surat-surat dan sebagainya. Pada saat itu pula harta yang
diwakafkan itu telah diserahkan kepada pengelolanya (Nazir), dan sejak
itu pula pemilik harta tidak berhak lagi atas harta yang telah diwakafkannya
itu.
D.
Macam-Macam
Wakaf
Menurut jumhur ulama
wakaf terbagi menjadi dua:
1.
Wakaf Dzurri (keluarga) disebut juga wakaf khusus dan ahli
ialah wakaf yang ditujukan untuk orang-orang tertentu baik keluarga wakif atau
orang lain. Wakaf ini sah dan berhak untuk menikmati benda wakaf itu adalah
orang-orang tertentu saja. Wakaf ahli ini adalah wakaf yang sah dan telah
dilaksanakan oleh kaum muslimin. Yang berhak mengambil manfaat wakaf ahli ialah
orang-orang yang tersebut dalam shighat wakaf. Persoalan yang biasa
timbul kemudian hari pada wakaf ahli ini, ialah bila orang yang tersebut dalam
shighat wakaf itu telah meninggal dunia, atau ia tidak berketurunan jika
dinyatakan bahwa keturunannya berhak mengambil manfaat wakaf itu, atau orang
tersebut tidak mengelola atau mengambil manfaat harta wakaf itu.
2.
Wakaf Khairi yaitu
wakaf yang ditujukan untuk kepentingan
umum dan tidak dikhususkan kepada orang-orang tertentu. Wakaf Khairi
inilah wakaf yang hakiki yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif
itu meninggal dengan catatan benda itu masih dapat diambil manfaatnya. Wakaf
Khairi ini perlu digalakkan dan dianjurkan kaum muslimin melakukannya,
karena ia dapat dijadikan modal, untuk menegakkan agama Allah, membina sarana
keagamaan, membangun sekolah, menolong fakir miskin, anak yatim, orang
terlantar dan sebagainya. Wakaf Khairi ini adalah wakaf yang pahalanya
terus-menerus mengalir dan diperoleh waqif sekalipun ia telah meninggal
dunia nantinya.
Di Indonesia, Wakaf Khairi inilah yang
terkenal dan banyak dilakukan kaum Muslimin. Hanya saja umat Islam Indonesia
belum mampu mengelolanya secara baik sehingga harta wakaf itu dapat diambil
manfaatnya secara maksimal.
E.
Menukar dan
Menjual Harta Wakaf
Menurut Ibnu
Taimiyah sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq, berkata “Mengganti sesuatu
yang diwakafkan dengan yang lebih baik terbagi menjadi dua”:
1.
Menukar atau mengganti karena kebutuhan,
misalnya karena macet atau tidak layak lagi untuk difungsikan. Maka benda itu
dijual dan harganya digunakan membeli sesuatu yang dapat menggantikannya,
seperti kuda yang diwakafkan untuk perang dan sekarang tidak mungkin lagi
digunakan, maka dijual dan harganya untuk membeli sesuatu yang dapat
menggantikan posisinya. Bangunan masjid yang rusak dan tidak mungkin
dimanfaatkan lagi maka dapat dijual dan harganya digunakan untuk membeli tanah
dan membagun masjid di tempat lain yang lebih aman. Contoh di atas
diperbolehkan karena pada prinsipnya bila sesuatu yang pokok (asal) tidak lagi
mencapai maksud yang diinginkan oleh pemberi wakaf maka dapat digantikan dengan
yang lainnya dengan cara menjual dan menukar.
2.
Mengganti atau menukar karena kepentingan yang
lebih kuat, misalnya di suatu kampung dibangun sebuah masjid sebagai pengganti
masjid lama yang telah rusak dan letaknya tidak strategis. Kemudian, masjid
lama itu dijual maka hukumnya boleh menurut Imam Ahmad. Atas dasar ini, maka
boleh mengubah bangunan wakaf karena ada maslahat yang mendesak. Adapun
mengganti benda wakaf dengan sesuatu yang lebih produktif yang hasilnya lebih
besar, hal inipun diperbolehkan menurut Abu Tsaur.
Akan tetapi, terdapat sahabat yang melarang
menggantikan masjid atau tanah yang diwakafkan. Ini merupakan pendapat
Asy-Syafi’i dan juga Imam Malik. Mereka beralasan kepada hadits yang
diriwayatkan oleh Umar:
لا يباع ولا يوهب ولا يورث
(Tanah wakaf itu tidak boleh dijual, tidak
boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan)
Jumhur ulama menetapkan boleh mengganti benda
wakaf berdasarkan semangat nash dan qiyas yang lebih cenderung
menghendaki kebolehan menggantikannya karena ada maslahat di dalamnya.
F.
Pengawasan
Harta Wakaf
Untuk pengawas
wakaf yang sifatnya perorangan diperlukan syarat-syarat sebaga berikut:
1.
Berakal sehat,
2.
Baligh,
3.
Dapat dipercaya, dan
4.
Mampu melaksanakan urusan-urusan wakaf.
Bila
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi. Hakim berhak menunjuk orang lain yang
mempunyai hubungan kerabat dengan wakif. Bila kerabat juga tidak ada,
maka ditunjuk orang lain. Agar pengawasan dapat berjalan dengan baik, pengawas
wakaf yang bersifat perorangan boleh diberi imbalan secukupnya sebagai gajinya
atau boleh diambil dari hasil harta wakaf.
Pengawas harta wakaf berwenang
melakukan perkara-perkara yang dapat mendatangkan kebaikan harta wakaf dan mewujudkan
keuntungan-keuntungan bagi tujuan wakaf, dengan memperhatikan syarat-syarat
yang ditentukan wakaf.
Jaminan perwakafan di Indonesia
dinyatakan dalam Undang-Undang Pokok
Agraria yang menyatakan bahwa “Perwakafan tanah milik dilindungi dan
diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
G.
Hikmah Wakaf
Wakaf bukan seperti sedekah biasa,
tapi lebih besar ganjaran dan manfaatnya terutama bagi diri si pewakaf. Karena
pahala wakaf terus mengalir selama masih dapat digunakan. Bukan hanya itu,
wakaf bermanfaat bagi masyarakat sebagai jalan kemajuan. Misalnya negeri Islam
di zaman dahulu, karena wakaf, umat Islam dapat maju, bahkan sampai sekarang
telah beribu-ribu tahun, hasil dari wakaf itu masih kekal.
Kita masih bisa menikmati hasil
wakaf dari zaman dahulu sampai sekarang seperti, Universitas al-Azhar di Mesir,
masjid Nabawi di Madinah. Maka, sekiranya umat Islam saat ini seperti orang
Islam terdahulu yang mau mengorbankan hartanya untuk wakaf, maka berarti mereka
telah membuka jalan untuk kemajuan Islam dan anak cucu kita kelak akan
merasakan kelezatan wakaf yang kita berikan sekarang. Jadi, hikmah wakaf dapat
kita simpulkan yaitu untuk memfasilitasi secara kekal semua jalan kebaikan
untuk mencapai kemajuan umat Islam.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan,
Wakaf adalah menahan benda yang
tidak mudah rusak (musnah) untuk diambil manfaatnya bagi kepentingan yang
dibenarkan oleh syara` dengan tujuan memperoleh pahala dan mendekatkan
diri kepada Allah Swt. Menurut jumhur ulama boleh menghibahkan apa saja kecuali
yang tidak halal seperti anjing tidak boleh dimiliki.
Rukun dan syarat wakaf meliputi:
1.
Ada orang yang berwakaf (Wakif)
2.
Ada benda yang diwakafkan (Maukuf)
3.
Tujuan wakaf (Maukuf alaihi)
4.
Pernyataan wakaf (Shigat wakaf)
Wakaf terbagi menjadi dua:
1.
Wakaf Dzurri (keluarga) disebut juga wakaf khusus dan wakaf
ahli ialah wakaf yang ditujukan untuk orangorang tertentu baik keluarga wakif
atau orang lain.
2.
Wakaf Khairi yaitu wakaf yang ditujukan untuk kepentingan
umum dan tidak dikhususkan kepada orang-orang tetentu. Wakaf khairi inilah
wakaf yang hakiki yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif
itu meninggal dengan catatan benda itu masih dapat diambil manfaatnya.
B.
Saran
Semoga Allah Swt. melimpahkan kita
rezeki yang banyak dan barakah, dan sebelum kita meninggal dunia harta tersebut
kita wakafkan untuk kepentingan ummat agar pahalanya terus mengalir yang
memberatkan timbangan amalan kita untuk dapat masuk ke Surga Firdaus Allah Swt. Amiin ya
Rabbal`alamin.
DAFTAR
PUSTAKA
Suhendi,
Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.
Basyir,
Ahmad Azhar , Utang Piutang dan Gadai, Bandung: Al-Maarif, 1983.
Al-Khatib, M.
Al-Syarbini, al-Iqna fi al-Hall al-Alfadz Abi Syuza’, Indonesia: Dar al-Ihya
al-Kutub, tt.
Ghazaly, Rahman
Abdul, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Al-Khatib, M. Al-Syarbini, al-Iqna fi al-Hall
al-Alfadz Abi Syuza’, Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub.
Sabiq,
Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-fikr, 2006.
Imam Taqiyuddin
Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, ter. KH. Anwar,
Syarifuddin, Surabaya: Bijna Iman, 2007.
M. Al-Syarbini al-Khatib, al-Iqna fi al-Hall
al-Alfadz Abi Syuza’, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub, tt), hlm. 319.
|