Khazanah Pemikiran Ulama Islam Sebagai Sumber
Pengembangan
Ilmu Pendidikan Islam
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pasang
surut perjalanan pemikiran kependidikan Islam diyakini tidak lepas dari
interaksi akumulasi dengan peradaban-peradaban di sekitar perkembangan Islam.
Perkembangan pemikiran kependidikan lebih dijiwai oleh semangat normatif dan
historis. Normatif, dilatarbelakangi perkembangan pemikiran pendidikan yang dijiwai
oleh ajaran dasar yang bersumber dari al-Qur`an dan Hadits. Historis,
disebabkan wujud respons terhadap berbagai persoalan hidup umat Islam dalam banyak
dimensi kehidupan. Pada konteks ini, sejarah pemikiran mengalami pasang surut
perkembangan. Sejak masa Nabi Muhammad saw, Khulafaur al-Rasyidhin, Dinasti Umayyah,
Dinasti Abbasiyah, tabiin, tabit al-Attabiin, dan setelahnya.
Dalam
catatan sejarah, perkembangan pemikiran kependidikan Islam diawali ketika Dinasti
Abbasiyah mengalami renaissance. Saat
itu pemikiran kependidikan Islam tampak pada titik kulminasi (puncak tertinggi).Sedangkan titik baliknya terjadi pada
masa-masa ketika sebagian besar pemikiran-pemikiran ilmuwan Islam mengalami kemandekan
sampai abad ke-14.[1] Kemudian
baru pada abad ke 19 sebagai abad kebangkitan Islam, mulai ada respon terhadap ilmu-ilmu pengetahuan modern.
Sejarah juga
mencatat
munculnya tokoh-tokoh atau “pahlawan”
dari kalangan ulama Islam yang mempunyai andil dalam pengembangan Ilmu Pendidikan
Islam melalui pemikiran-pemikiran mereka. Dari sekian banyak di antara mereka, untuk
skala dunia tercatat di antaranya, Imam Al Ghazali, Ibnu Khaldun, Hasan
Al-Banna dll, dan juga terdapat ulama di Indonesia seperti, K.H.
Ahmad Dahlan, H.O.S Tjokroaminoto dll
Hal ini telah
terjadi dan akan terus terjadi dari mereka yang memiliki sikap atau prinsip dengan
tetap berpegang teguh pada ajaran Islam yang benar dan lurus. Jika boleh
dikatakan bahwa mereka mampu mencapai puncak hingga peringkat sebagai pengemban
dan pembawa manhaj Ilahi dari generasi
pertama umat Islam, dan tugas dari generasi muda Islam adalah mengenang para “pahlawan”nya
dan mengapresiasi para syuhada di jalannya,
sehingga kelak mereka menjadi panutan yang dapat memberikan pencerahan dan
petunjuk bagi generasi setelahnya.
Di dalam penyusunan makalah ini, kami akan
menyampaikan pemikiran-pemikiran ulama Islam dalam hal upaya mereka untuk
pengembangan kaidah Pendidikan Islam dengan pola pemikirannya. Dan sudah
selayaknyalah kita menelaah lebih jauh bagaimana sistem pendidikan yang diterapkan
oleh tokoh-tokoh tempo dulu yang membawa kemajuan pada Pendidikan Islam dahulu
sampai sekarang.
Banyak hal yang berkaitan dengan hal itu yang harus
kita bahas lebih jauh untuk mendapatkan pelajaran dan ilmu baru sekaligus mengimplementasikannya
baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia Pendidikan Islam dan Global
(konvensional).
B. Rumusun masalah
1. Rumusun masalah yang diangkat dalam makalah ini antara lain; Pengertian
Pemikiran dan Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam?.
2. Siapa-siapa tokoh Ilmu Pendidikan
Islam?
3. Apa pemikiran mereka yang menjadi
sumber pengembangan Ilmu Pendidikan Islam?
C. Tujuan:
1. Mengenal tokoh-tokoh Pendidikan
Islam melalui pemikiran-pemikiran mereka yang menjadi rujukan pengembangan Ilmu
Pendidkan Islam.
2. Sebagai
tambahan ilmu khususnya bagi mahasiswa PAI agar dapat berfikir analitis, kritis,
kreatif, dan inovatif dalam menghadapi berbagai praktek di bidang pendidikan
untuk mengkaji dan menelaah lebih lanjut mengenai pemikiran dan teori-teori
yang dibangun oleh para pendahulunya guna pengembangan Ilmu Pendikan Islam ke
depan.
BAB
II
Khazanah Pemikiran Ulama Islam Sebagai Sumber
Pengembangan
Ilmu Pendidikan Islam
A. Pengertian
1.
Pemikiran.
Secara etimologi pemikiran dapat diartikan sebagai
upaya cerdas (ijtihady) dari proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena
dan berusaha mencari penyelesaiannya secara bijaksana.
2.
Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam.
Istilah
pengembangan dapat bermakna kuantitatif dan kualitatf. Secara kuantitatif, bagaimana
menjadikan ilmu pendidikan Islam lebih besar, merata dan meluas pengaruhnya
dalam konteks pendidikan pada umumnya. Secara kualitatif, bagaimana menjadikan
pendidikan Islam lebih baik, bermutu dan lebih maju sejalan dengan dasar atau
nilai-nilai Islam yang tetap bisa merespon dan mengantisipasi berbagai
tantangan pendidikan. Termasuk dalam pengertian kualitatif adalah bagaimana
mengembangkan pendidikan Islam agar bisa menjadi bangunan keilmuan dan kokoh
yang memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan masyarakat
nasional dan trans-nasional serta pengembangan iptek.
Dengan demikian yang dimaksud dengan pemikiran pengembangan
Ilmu Pendidkan Islam adalah proses kerja akal dan kalbu yang
dilakukan secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada
dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah peradaban pendidikan
yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara
paripurna.
Dengan kata lain yang dimaksud dengan pemikiran
pengembangan Ilmu Pendidkan Islam adalah bagaimana mengembangkan Pendidikan Islam
sehingga memiliki kontribusi yang signifikan bagi pembangunan masyarakat dan
pembangunan iptek, bagaimana mengembangkan model-model Pendidikan Islam yang
lebih kreatif dan inovatif dengan tetap komitmen terhadap dimensi
fondasionalnya, bagaimana menggali masalah-masalah operasional dan actual Pendidikan
Islam untuk dibidik dari dimensi fondasional dan strukturalnya, serta bagaimana
mengembangkan pemikiran Pendidikan Islam sebagaimana tertuang dan terkandung
dalam literatur-literatur Pendidikan Islam.[2]
Pemikiran pengembangan Ilmu Pendidikan Islam mengajak seseorang
untuk berfikir analitis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam menghadapi
berbagai praktek di bidang pendidikan untuk dikaji dan ditelaah lebih lanjut mengenai
pemikiran dan teori-teori yang dibangun oleh para pendahulunya.
Selanjutnya dapat dilanjutkan dengan memperkaya
nuansa pemikiran dan teori yang ada, merevisi dan menyempurnakan pemikiran dan
teori yang sudah ada, mengganti pemikiran dan teori lama dengan teori yang baru
atau menciptakan pemikiran atau teori yang akan menciptakan perubahan (change),
pembaruan atau perbaikan (reform), yang diikuti dengan pertumbuhan (growth),
dan ditingkatkan secara berkelanjutan (continouse improvement)
untuk dibawa ke arah yang lebih ideal.
Oleh karena itu, pemikiran pengembangan Ilmu Pendidikan Islam perlu membidik wilayah kajian. Yaitu: foundational problems, structural
problems, dan operational problems.
Adapun pembahasan
tentang perkembangan Ilmu Pendidikan Islam dibagi dalam lima periodisasi,
yaitu:
1) Periode
pembinaan Pendidikan Islam pada masa Nabi Muhammad SAW,
2) Periode
pertumbuhan pendidikan Islam yang berlangsung sejak Nabi Muhammad SAW wafat
sampai masa akhir Bani Umayyah,
3)
Periode kejayaan (puncak
perkembangan) pendidikan Islam yang berlangsung sejak permulaan Daulah
Abbasiyah sampai jatuhnya Baghdad,
4)
Periode kemunduran pendidikan Islam, yaitu sejak
jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon yang ditandai dengan
runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan berpindahnya pusat-pusat
pengembangan kebudayaan ke dunia Barat dan,
5)
Periode pembaharuan pendidikan Islam yang berlangsung
sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon sampai masa kini yang ditandai dengan
gejala-gejala kebangkitan kembali umat dan kebudayaan Islam.
B. Pemikiran Ulama dalam Pengembangan Pendidikan Islam.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya
bahwa banyak sekali pemikiran-pemikiran ulama yang dijadikan rujukan dalam
pengembangan Pendidikan Islam, diantaranya ialah:
I.
Imam
Al-Ghazali (Thus/Persia, 450 H /1058 M - 505 H/ 1111 M)
Al-Ghazali adalah seorang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap
bidang pengajaran dan pendidikan. Beliau melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah
keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya
termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan
karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan manusia kepada
kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu Al-Ghazali menyimpulkan bahwa, pendidikan adalah proses
memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui
berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara
bertahap dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan
masyarakat.[3] Maka sistem pendidikan itu haruslah
mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.
Luasnya ilmu
pengetahuan yang dikuasai Al-Ghazali, sangat mempengaruhi sistem pendidikan
yang diterapkannya, sehingga Al-Ghazali dijuluki
filosof yang ahli tasawuf (Failasuf al-Mutasawwifin). Dua corak ilmu yang telah terpadu dalam
dirinya itu kemudian turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam
sistem pendidikannya. Ciri khas sistem pendidikan Al-Ghazali sebenarnya
terletak pada pengajaran moral religious dengan tanpa mengabaikan urusan dunia.[4]
Arahan pendidikan Al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mencapai
tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yang hal ini berlangsung
hingga akhir hayatnya.
Aspek-aspek
pendidikan menurut Al-Ghazali adalah :
1) Aspek pendidikan keimanan
Al-Ghazali
mengatakan “Iman adalah mengucapkan dengan
lidah, mengakui benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota.”
2) Aspek pendidikan akhlak
Bidang
ilmu pengetahuan yang paling banyak mendapat perhatian, pengkajian dan
penelitian Al-Ghazali adalah lapangan ilmu akhlak karena berkaitan dengan
prilaku manusia, sehingga hampir setiap kitab-kitabnya yang meliputi berbagai
bidang selalu ada hubungannya dengan pelajaran akhlak dan pembentukan budi pekerti
manusia.
3) Aspek pendidikan akliah
Menurut
Al-Ghazali, “Akal adalah sebagai sumber
ilmu pengetahuan, tempat terbit dan sendi-sendinya. Ilmu pengetahuan itu
berlaku dari akal, sebagaimana berlakunya buah-buahan dari pohon, sinar dari
matahari dan penglihatan dari mata.”
4) Aspek pendidikan social
Dalam ihya Ulumuddin
juz 1, Al-Ghazali mengatakan :
“Akan tetapi, manusia itu dijadikan
Allah SWT, dalam bentuk yang
tidak dapat hidup sendiri. Karena
tidak dapat
mengusahakan sendiri
seluruh keperluan hidupnya baik
untuk memperoleh makanan dengan
bertani, berladang dan memperoleh
roti dan nasi, memperoleh
pakaian dan tempat tinggal serta
menyiapkan alat-alat untuk
semuanya. Dengan demikian manusia
memerlukan pergaulan dan
saling membantu.”
5) Aspek pendidikan jasmaniah
Menurut
Al-Ghazali keutamaan-keutamaan jasmaniah terdiri dari-dari empat macam: kesehatan jasmani, kekuatan jasmani,
keindahan jasmani, dan panjang umur.[5]
Buku pengantar yang berjudul al-Muqaddimah menjadikan nama Ibn Khaldun
begitu harum. Muqaddimah adalah sebuah karya Ibn
Khaldun yang merupakan pengantar dari kitab Al-`Ibar,
kini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia menjadi bukti terpenting
betapa piawainya Ibn Khaldun dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Keahliannya dalam sosiologi, filasafat, ekonomi,
politik dan budaya, tampak jelas dalam buku ini. Pada saat yang sama, Ibn Khaldun
juga tampak sangat menguasai ilmu-ilmu keislamannya, ketika menguraikan tentang
ilmu hadits, fiqh, ushul fiqh, dan lainya.
Dalam buku Muqaddimah, Ibn Khaldum
membahas fungsi dan peran besar ilmu sejarah. Menurut Ibn Khaldun sejarah
memiliki fungsi yang besar dan tujuan yang mulia karena melalui sejarah kita
mengenal asal keadaan bangsa-bangsa terdahulu dari sudut tamadun, moral,
akhlak, budaya, pentadbiran dan tokoh-tokoh yang berjasa. Pembukuan sejarah
bukanlah sekedar mengetahui kisah-kisah, dokumentasi mengenai penguasa dan
tokoh atau meraih ilmu, tetapi lebih daripada itu, yaitu demi mengenal
peristiwa-peristiwa masa lampau dalam rangka memahami dan membina masa depan
yang lebih baik.
Pemikiran Ibn Khaldun dalam bidang pendidikan
meliputi tentang manusia didik, ilmu, metode pengajaran, dan spesialisasi.
Dalam melihat manusia ia tidak terlalu menekankan kepada kepribadiannya akan
tetapi kepada hubungannya dan interaksinya terhadap kelompok yang ada dalam
masyarakat.
Ibn Khaldun berpandangan bahwa manusia adalah
makhluk yang berpikir. Oleh karena itu mampu melahirkan ilmu dan teknologi, dan
sifat-sifat ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Selanjutnya
ia berpendapat bahwa pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi
oleh peradaban.
Penyelidikan
ilmiah yang dilakukan oleh Ibn Khaldun dimulai dengan menggunakan tradisi
berfikir ilmiah dengan melakukan kritik atas cara berfikir “model lama” dan
karya-karya ilmuwan sebelumnya, dari hasil penyelidikan mengenai karya-karya
sebelumnya, telah memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu
pengetahuan yang sahih, pengetahuan ilmiah buat pengetahuan
yang otentik.[6]
Ibn
Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga macam yaitu ilmu lisan, ilmu
naqli dan ilmu aqli.
1) Ilmu
lisan (bahasa)
yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa yang disusun
secara puitis (syair)
2) Ilmu
naqli yaitu
ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah nabi, ilmu ini berupa membaca
kitab suci al-Qur`an dan tafsirnya, sanad dan hadits dan pentasbihannya serta
istinbath tentang keadaan-keadaan fiqih. Dari al-Qur`an itulah didapat
ilmu-ilmu tafsir, ilmu usul fiqih yang dapat dipakai untuk menganalisa hukum Allah
melalui istinbath.
3)
Ilmu aqli yaitu ilmu yang dapat menunjukkan
manusia dengan daya fikir atau kecendrungan kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan.
Termasuk didalam kategori ilmu ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu
tehnik, ilmu hitung, ilmu tingkahlaku (behavior), termasuk juga ilmu sihir dan
ilmu nujum (perbintangan). Mengenai ilmu nujum menurutnya adalah ilmu yang
fasik karena ilmu dapat meramalkan segala kejadian yang belum terjadi, merupakan
hal tercela.
Dalam metode pengajaran Ibn Khaldun
menggunakan metode berangsur-angsur, setapak demi setapak dan
sedikit demi sedikit. Dan ia menganjurkan agar seorang itu bersikap sopan dan
halus pada muridnya, hal ini juga termasuk sikap orang tua terhadap anaknya,
karena orang tua adalah guru utama bagi anaknya.[7]
Guru harus mampu menarik perhatian muridnya,
menjaga mereka hingga pikiran mereka terbuka dan berkembang sendiri. Guru
harus membiasakan perilaku yang baik kepada murid-muridnya, memberi contoh, dan
tidak mengajari mereka dengan perkataan saja. Seorang guru harus menjadi contoh
bagi murid-muridnya.[8]
Dan, Ibn Khaldun mengelompokkan ilmu
pengetahuan menjadi dua macam, yakni; pengetahuan
rasional dan pengetahuan tradisional.
1) Pengetahuan
rasional adalah pengetahuan yang diperoleh dari kebaikan yang berasal dari
pemikiran yang alami.
2) Sedangkan
pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang subjeknya, metodenya, dan
hasilnya, serta perkembangan sejarahnya dibangun oleh kekuasaan atau seseorang
yang berkuasa.
III.
Hasan Al-Banna (Mesir, 1906 M - 1949 M)
Adanya
pengaruh peradaban Barat modern yang sekuler melanda ke berbagai segi
kehidupan, tidak terkecuali di bidang pendidikan. Melihat adanya pengaruh ini
para tokoh pemikir Muslim berusaha untuk mencari solusinya dengan memformulasikan
system pendidikan yang dapat menghasilkan sosok individu dan masyarakat yang
seimbang.
Hadirnya
Hasan al-Banna adalah sebagai seorang tokoh pembaharu atau modernis dalam dunia
Islam. Beliau dikenal sebagai tokoh pembaharu, tidak hanya dalam bidang
pendidikan, tetapi juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan
kemasyarakatan.
Hasan
al-Banna merupakan sosok pribadi muslim yang sangat sederhana, zuhud, taat dan
mempunyai pendirian. Menjadi guru adalah cita-cita Hasan al-Banna sejak kecil,
karena guru menurut Hasan al-Banna merupakan sumber cahaya terang benderang
yang dapat menerangi masyarakat.[9]
Hasan al-Banna
memandang bahwa pengembangan akal merupakan kebutuhan pokok bagi setiap Muslim
yang dapat menunjang keberhasilan
keyakinan. Karena dengan pengetahuan akal akan menjadi paham atas
sesuatu yang diyakini.
Menurutnya
seorang Muslim harus mempunyai bukti-bukti tentang Tuhannya agar mendapatkan
keyakinan yang kuat. Islam tidak membenarkan penganutnya menjadi muqallid.[10]
Dalam beriman seseorang dianjurkan untuk berpikir, merenung dan memahami. Hal
ini dapat memperkuat keyakinannya.
Hasan
al-Banna menempatkan pembentukan akal sebagai prinsip utama pendidikan dengan didasarkan
pada pemahaman al-Qur`an yang menempatkan akal (ilmu) lebih dahulu daripada
iman dan taat. Seperti yang terdapat dalam QS. Al-Hajj (22) : 54 Yang artinya:
.”dan agar
orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur`an itulah yang
hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan
sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada
jalan yang lurus.’
Hasan al-Banna
menerapkan pengembangan pemikiran ilmiah dalam kurikulum madrasah sebagai dasar
pengembangan pada aspek lainnya. Pembinaan akal dan pemikiran yang
diaplikasikan dalam madrasah Al-Banna didasari oleh ajaran agama, peradaban
Islam, dan warisan kebudayaan Islam untuk membangun kekuatan peradaban yang
dapat membentengi pengaruh peradaban Barat.
Memorandum
yang dibuat oleh Al-Banna di bidang pendidikan untuk memberantas kebodohan, merupakan
keprihatinan yang mendalam atas kondisi
masyarakat yang dijajah yang
mayoritas beragama Islam. Karena kebodohan merupakan factor yang mengakibatkan umat Islam terjajah.
Sebagai
pahlawan atas patriotisme dan nasionalisme Islam dalam pendidikan, beliau memperhatikan
pelayanan pada masyarakat dengan perjuangannya melawan kebodohan dan kemiskinan,
membebaskan keterbelakangan dalam setiap aspek kehidupan, serta membangun
jasmani maupun ruhani sehingga muncul kepribadian yang utuh sebagai Muslim yang
beriman dan berakhlak, dengan semangat sosial yang tinggi khususnya bagi sesama
umat Islam.
Pemikiran
Hasan al-Banna tentang pendidikan memiliki ciri khusus, yaitu adanya
keseimbangan dan keserasian baik di antara akal dan perasaan, antara teori dan
praktek, antara kebutuhan pribadi dan kebutuhan masyarakat umum. Dan
keseluruhan kegiatan pendidikannya terlihat didasarkan pada ajaran yang
terdapat dalam al-Qur`an dan praktek kehidupan Rasulullah. Saw yang selalu
merujuk kepada kemurnian ajaran Islam.
IV.
K.H.
Ahmad Dahlan (Yogyakarta, 1868 M – 1923 M)
K.H. Ahmad Dahlan mengatakan
bahwa, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari berpikir statis menuju pemikiran yang dinamis adalah
melalui pendidikan.
Umat Islam dididik
agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam membaca
dinamika kehidupan yang akan datang. Adapun kunci bagi kemajuan umat Islam adalah
kembali pada al-Qur`an dan Hadits, mengarahkan
umat Islam pada
pemahaman ajaran Islam yang
komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Pendidikan Islam hendaknya menjadi media dan mampu mengembangkan al-ruh dan
al-akal. Hal ini disebabkan
di alam ini ada dua dimensi yaitu dimensi fisika dan metafisika. Manusia adalah integrasi dari dua dimensi yaitu
dimensi ruh dan jasad. Maka aktivitas pendidikan harus mampu mengembangkan
dimensi tersebut. Dan perlunya pengkajian ilmu pengetahuan secara langsung
sesuai prinsip-prinsip al-Qur`an dan Hadits.
Bagi K.H. Ahmad Dahlan, Islam hendaknya didekati
serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan
zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci al Qur'an dengan
terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun
melagukan al-Qur'an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di
dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai
dengan yang diharapkan al-Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan
masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan
memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati.
Di bidang pendidikan, K.H. Ahmad Dahlan mereformasi sistem
pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan
tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu
pengetahuan umum. Maka beliau mendirikan sekolah-sekolah agama dengan
memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga
Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur'an. Sebaliknya, beliaupun
memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum.
Menurut K.H.
Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya
diarahkan untuk membentuk manusia Muslim yang
berbudi pakerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu
keduniaan, serta bersedia berjuang demi kemajuan masyarakatnya. Untuk mencapai
tujuan ini, pendidikan Islam hendaknya
mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk
mempertajam intelektualitas dan memperkokoh spiritualitas peserta didik. Upaya
ini akan terwujud jika proses pendidikan bersifat integral dan epistemologi Islam hendaknya
dijadikan landasan
metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.
Menurut K.H.
Ahmad Dahlan, materi
pendidikan adalah pengajaran al-Qur’an dan Hadits, membaca,
menulis, berhitung, ilmu bumi, dan menggambar. Sistem pendidikan yang dipakai
beliau adalah klasikal, beliau ingin menggabungkan sistem pendidkan Belanda dengan
sistem pendidikan tradisional
secara integral.
Komitmen Ahmad Dahlan terhadap
pendidikan agama adalah sangat kuat, untuk itu beliau masuk orgnasisasi Budi
Oetomo pada tahun 1909, untuk mendapatkan peluang mengajarkan pendidikan agama
kepada para anggotanya. Komitmen terhadap pendidikan selanjutnya menjadi salah
satu ciri khas organisasi yang didirikannya pada tahun 1912 yaitu Muhammadiyah. Pandangan Ahmad Dahlan dalam
pendidikan juga dapat dilihat dalam kegiatan pendidikan yang dilaksanakan oleh
Muhammadiyah.
Dengan organisasi Muhammadiyah
beliau berhasil
mengembangkan
lembaga pendidikan yang lebih bervariasi dan manajemen yang
modern.[11]
Dalam kegiatan dakwah beliau meningkatkan dakwah dengan ajaran
pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa
semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau
berusaha meluruskan syariat Islam pada umat Islam yang melenceng ke arah sesat,
Syirik dan Bid'ah. Beliau mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan
perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta
kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari
percampuran ajaran agama Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme, dan Kejawen.
Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita.
Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah
ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan
perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda,
Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu, sekarang dikenal dengan nama
Pramuka, dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari
baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi.
Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka
sekarang.
Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para
pemuda yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian
kader-kader terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah
kolot melainkan progressif. Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan
tuntutan keadaan dan kemajuan zaman.
Melihat metode pembaruan K.H Ahmad Dahlan ini,
beliaulah ulama Islam pertama atau mungkin satu-satunya ulama Islam di
Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan um’mat, tidak
dengan pesantren dan tidak dengan kitab karangan, melainkan dengan organisasi.
Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok pesantren
seperti halnya ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga
konon belum pernah mengarang sesuatu kitab atau buku agama.[12]
Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa
Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat
Keputusan Presiden
no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
1) K.H.
Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
2) Dengan
organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam
yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan
beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3) Dengan
organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan
yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran
Islam; dan
4) Dengan
organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah)
telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan
berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Pada
tahun 2010,
kisah hidup dan perjuangan K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadyah diangkat ke
layar lebar berdurasi 112 menit dengan judul “Sang Pencerah”. Tidak hanya
menceritakan tentang sejarah kisah K.H. Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita
tentang perjuangan dan semangat patriotisme anak muda dalam merepresentasikan
pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemahaman agama dan
budaya pada masa itu.[13]
V.
H.O.S.
Tjokroaminoto (Ponorogo, 1882 M
- Yogyakarta, 1934 M)
Tjokroaminoto adalah tokoh nasional yang memiliki
kemampuan yang pada hakikatnya sulit dilakukan, yaitu aktivitas intelektual
sebagai pemikir kenegaraan dan kemasyarakatan dan aktivitas lapangan sebagai
tokoh dalam pergerakan bangsanya. Kegiatan intelektualnya berawal dari tulisan-tulisan
yang dimuat dalam surat kabar dan percakapan-percakapan akademis yang diadakan
di rumahnya.
Tulisan-tulisan Tjokroaminoto di berbagai surat kabar
dibaca oleh tokoh SDI dan mengantarkannya menjadi ketua cabang SI Jawa Timur. Sarekat
Islam (SI) pada awalnya adalah perkumpulan bagi para pedagang Muslim yang didirikan
pada akhir tahun 1911 di Solo oleh H. Samanhudi. Nama semula adalah Sarekat Dagang
Islam (SDI). Kemudian tanggal 10 Nopember 1912 berubah nama menjadi Sarekat
Islam (SI). H. Umar Said Tjokroaminoto diangkat sebagai ketua, sedangkan H. Samanhudi
sebagai ketua kehormatan.
Latar belakang didirikannya organisasi ini pada
awalnya untuk menghimpun dan memajukan para pedagang Islam dalam rangka bersaing
dengan para pedagang asing, dan juga membentengi kaum muslimin dari gerakan penyebaran
agama Kristen yang semakin merajalela. Dengan nama Sarekat Islam dibawah
pimpinan H.O.S.Tjokroaminoto organisasi ini semakin berkembang karena mendapat sambutan
yang luar biasa dari masyarakat. Daya tarik utamanya adalah asas keislamannya. Dengan
SI mereka (umat Islam) yakin akan dibela kepentingannya.
Begitu nampak dalam perjalanan
hidupnya bahwa Islam dipeluknya sebagai pedoman utama dalam berucap dan
bertindak. Hal inipun diajarkannya pada anak dan pengikutnya bahwa hanya
Islamlah yang dapat membawa kebahagiaan umat dan umat untuk menjadi seorang
muslim yang seutuhnya maka harus dididik secara islami.
Tempo (2011:28) menjelaskan bahwa pada tahun
1930-an banyak berdiri sekolah Tjokroaminoto yang dibangun cabang-cabang PSII (Partai
Syarikat Islam Indonesia) di semua wilayah. Silabus dan kurikulumnya didasari oleh buku Tjokro yakni Moeslim
Nationaal Onderwijs. Sekolah ini mengajarkan soal arti kemerdekaan, budi
pekerti, ilmu umum, dan ilmu keislaman. Menurutnya asas-asas Islam sejalan
dengan sosialisme dan demokrasi maka kaum muslimin harus dididik menjadi muslim
sejati untuk mencapai cita-cita kemerdekaan umat.
Melalui buku Moeslim
Nationaal Onderwijs. H.O.S. Tjokroaminoto menerangkan bahwa Pendidikan dan Pengajaran bagi kaum muslimin di
Indonesia, selain mengajarkan kepandaian akal, harus pula menanamkan asas asas
Islam, antara lain:
1) Menanamkan
benih kemerdekaan dan benih demokrasi yang telah menjadi tanda kebesaran dan
tanda perbedaan Umat Islam besar pada zaman dahulu.
2) Menanamkan
benih keberanian yang luhur, benih keikhlasan hati, kesetiaan dan kecintaan
kepada yang benar (haq), yang telah menjadi tiap tiap orang dan tabiat
masyarakat Islam pada zaman dahulu;
3) Menanamkan
benih peri kebathinan yang halus, keutamaan budi pekerti dan kebaikan perangai,
yang dulu telah menyebabkan orang Arab penduduk laut pasir itu menjadi bangsa
tuan yang halus adat lembaganya dan menjadi penanam dan penyebar keadaban dan
kesopanan;
4) Menanam
benih kehidupan yang shaleh sebagai yang dulu telah menjadi sebab masyhur nama
Umat Islam. Lebih lanjut lihat karya beliau yang berjudul “Reglement Umum bagi
Umat Islam”
5) Menanamkan
rasa kecintaan terhadap tanah tumpah darah dengan jalan mempelajari culture dan
adat istiadat bangsa sendiri.
Amanat Alm. H.O.S Tjokroaminoto
kepada murid-murid
sekolah Jogjakarta, 24
Agustus 1925:
“…..Anak-anakku semuanya, kalau kamu sudah dapat
pendidikan Islam dan kalau kamu sudah sama dewasa, ditakdirkan Allah SWT yang
maha luhur, kamu dijadikan orang tani, tentu kamu bisa mengerjakan pertanian
secara Islam; kalau kamu ditakdirkan menjadi saudagar, jadilah saudagar secara
Islam; kalau kamu ditakdirkan menjadi prajurit, jadilah prajurit menurut Islam;
dan kalau kamu ditakdirkan menjadi senopati, jadilah senopati secara perintah
Islam. Hingga dunia diatur sesuai dengan azas-azas Islam………..” [14]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
o
Melalui pemikiran-pemikiran para ulama dalam
pengembangan Ilmu Pendidikan Islam yang
kami sampaikan di makalah ini diharapkan akan dapat memberikan pemahaman dan
keterampilan analisis kritis dan historis terhadap pengembangan pendidikan
Islam melalui aspek epistemologis bangunan pemikirannya dalam kaitannya dengan
berbagai aspek yang relevan pada masanya baik social politik dan ideologi
maupun gerakan intelektual dan problem kebudayaan pada suatu masa dan masa-masa
lainnya, serta mencoba membuat analisis reflektif terhadap kondisi yang
berkembang saat ini.
o
Metode pendidikan yang dikembangkan para ulama-ulama sangat
menekankan pada pembinaan akhlak, akhlak yang mulia akan mengepresikan amal
soleh karena ajaran
Islam sangat menghargai amal saleh manusia dan mendorong manusia untuk
berkreatifitas positif agar memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan Ilmu
pengetahuan, manusia memiliki bekal dalam hidup di dunia dan di akherat.
o
Pemikiran pendidikan Islam bersumber
pada al-Qur’an dan Hadits yang merupakan kunci kebahagiaan dunia dan akherat.
DAFTAR PUSTAKA
Madjid, Nurchalish, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997
Muhaimin,
Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012.
Ibnu Rusn, Abidin, Pemikiran
al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998.
Ramayulis, H. Dr.
Prof., Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia, Quantum
Teaching: Ciputat, 2005.
Ihsan, Hamdani dan
Ihsan, A fuad, Filsafat pendidikan Islam,
Bandung
Jurdi, Syarifudin, Sosiologi Islam Elaborasi Pemikiran Sosial
Ibn Khaldun, POKJA: UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,Jakarta:
Kencana,2008, cet. 2
Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam,Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995, cet-1
Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta:
Amzah, 2009.
Nata, Abuddin, Drs., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1997.
http://m.21cineplex.com, Sang Pencerah : Kisah
Perjuangan Ahmad Dahlan, Posted By: Erfanintya M. P, 19 Mei 2010.
Mukti, Dala,
Tjokroaminoto dan
Pendidian, Moeslim
Nationaal Onderwijs. Published June 27, 2010, http//tjokroaminoto.wordpress.com
Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta:
Pustaka firdaus, 2003.
Muhaimin, Pemikiran
dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2012.
[1] Nurchalish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1997), hlm. 48
[2] Muhaimin,
Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 1-3.
[3] Abidin
Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet
I, Yogyakarta, 1998, hlm. 56
[4] Prof. Dr. H. Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Mengenal
Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia, (Quantum Teaching: Ciputat,
2005), hlm. 5
[5] Hamdani Ihsan, dan A fuad Ihsan, Filsafat pendidikan Islam, Bandung, hlm.
235-259
[6] Syarifudin Jurdi, Sosiologi Islam Elaborasi Pemikiran Sosial
Ibn Khaldun, (POKJA: UIN Sunan Kalijaga, 2008) hlm.17.
[7] Suwito, Sejarah
Sosial Pendidikan Islam,(Jakarta: Kencana,2008), cet. 2 h. 87
[8] Husayn
Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam,(Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995), cet-1 h. 243-244
[9]
Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta:
Amzah, 2009) hlm. 62
[10]
Muqallid adalah orang-orang yang karena satu
dan lain hal tidak memiliki kemampuan dalam menelaah ilmu-ilmu agama sehingga
mereka kurang memahaminya, atau biasa disebut sebagai orang awam.
[13]
http://m.21cineplex.com, Sang Pencerah : Kisah Perjuangan Ahmad Dahlan, Posted
By: Erfanintya M. P, 19 Mei 2010.
[14] Dala Mukti, Tjokroaminoto dan Pendidikan: Moeslim Nationaal Onderwijs. Published June 27, 2010, http//tjokroaminoto.wordpress.com