BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah Peradaban Islam adalah sesuatu yang wajib
kita ketahui sebagai umat Islam, karena dari Sejarah Peradaban Islam tersebut
kita dapat belajar banyak hal dan banyak nilai-nilai moral, seperti mempelajari
hasil kebudayaan pada suatu peradaban dan sistem pemerintahannya. Dari sinilah
kita akan memperoleh nilai-nilai sosial, moral, budaya, pendidikan dan politik
yang berkembang sejak zaman Rasullulah Saw. pertama kali menyebarkan Islam di
muka bumi hingga zaman para sahabat dan setelahnya.
Sejak kelahiran Islam pada awal abad ke-7 di Mekkah,
Islam terus mengalami perkembangan yang pesat melewati berbagai tantangan yang
sangat berat, sampai akhirnya tersebar ke seluruh dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa kerja-kerja penyebaran Islam
yang dilakukan dalam setiap generasi muslim di setiap zaman sangat luar biasa
dan cukup menggeliat. Perjuangan dakwah Islamiyah yang dilakukan oleh
Rasulullah dan masa setelahnya yaitu Abu Bakar, Islam telah mencapai seluruh
Arabia. Pada masa Umar, Islam telah meluas ke wilayah-wilayah Byzantium,
Palestina, Mesir dan wilayah-wilayah Sasaniyah Persia dan Irak. Pada masa
Ustman dan ‘Ali, upaya perluasan Islam terhenti akibat konflik internal umat
Islam pada saat itu yang tidak dapat dihindarkan.[1]
Kemajuan dan perkembangan Islam tersebut tentu saja
merupakan prestasi pengembangan Islam yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar,
Ustman dan Ali. Mereka menjadi garda depan pengembangan dan perluasaan Islam,
walaupun di tengah-tengah kekuasaan mereka acapkali muncul berbagai konflik
yang tidak menguntungkan, seperti konflik politik yang terjadi pada masa Ustman
dan Ali.
Demikian pula halnya dengan masa-masa kekuasaan pasca
keempat khalifah tersebut, yaitu Bani Umayyah dan Bani Abbas. Kedua dinasti ini
telah menjadi legenda tersendiri dalam sejarah kekuasaan Islam yang telah
melakukan perubahan drastis terhadap sistem kekuasaan Islam.
Adapun
penjelasan sejarah dinasti Bani Umayyah, dapat ditinjau dari tiga masa yaitu:
masa pembentukan, masa kejayaan, dan masa kemunduran/kehancuran. Selanjutnya akan
dipaparkan pada makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1.
Masa Pembentukan Dinasti Bani Umayyah
2.
Khalifah-
khalifah yang berkuasa pada masa Dinasti Bani Umayyah
3. Masa Kemajuan Dinasti Bani Umayyah.
4.
Masa
Kemunduran Dinasti Bani Umayyah.
C. Tujuan
1.
Agar mengetahui sejarah terbentuknya Dinasti Bani Umayyah
2.
Mengetahui situasi dunia Islam pada masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
3.
Dan mengetahui kontribusi-kontribusi apa saja yang
telah dilakukan pemerintahan Bani Umayyah dalam pengembanganan peradaban Islam.
BAB
II
SEJARAH DINASTI BANI UMAYYAH
A.
Masa
Pembentukan Dinasti Bani Umayyah
a. Latar Belakang
Banyak peristiwa yang melatar
belakangi dapat berkuasanya Bani Umayyah. Diantaranya yang paling penting dan
paling diingat oleh umat Islam adalah peristiwa tahkim (arbitrase) antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyyah
bin Abi Sufyan.
Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus mulai terbentuk
sejak terjadinya peristiwa tahkim pada Perang Siffin. Perang yang
dimaksudkan untuk menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman bin Affan itu,
semula akan dimenangkan oleh pihak Ali, tetapi melihat dari gelagat kekalahan
itu, Muawiyyah segera mengajukan usul kepada pihak Ali untuk kembali kepada
hukum Allah.[2]
Dalam peristiwa tahkim itu, Ali telah terperdaya oleh taktik dan siasat Muawiyah
yang pada akhirnya ia meninggal mengalami kekalahan secara politis. Sementara
itu, Muawiyah mendapat kesempatan untuk mengangkat dirinya sebagai khalifah
sekaligus raja[3]
Jatuhnya Ali dan naiknya
Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak Khawarij[4]
membunuh
khalifah Ali, meskipun kemudian
tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat
dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan
sampai beberapa bulan. Karena Hasan sama sekali tidak ambisius
untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat.
Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai[5] dengan
kelompok Muawiyah dengan beberapa persyaratan. Tahun kesepakatan damai antara
Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat
untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.[6]
Adapun isi persyaratan yang diajukan Hasan adalah ia
bersedia menyerahkan kekuasaan ke tangan Muawiyah, apabila Muwiyah menyetujui
antara lain:
1. Agar Muawiyah
tidak menaruh dendam terhadap siapapun dari pendudukan Irak.
2. Menjamin
keamanan dan memaafkan kesalahan mereka
3. Agar
pajak-pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan dalam
setiap tahun
4. Agar Muawiyah
membayar kepada saudaranya, yaitu Husein sebesar 2 juta dirham
5. Pemberian
kepada Bani Hashim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams.
6. Pemilihan
atau pengangkatan khalifah selanjutnya harus diserahkan kembali kepada
musyawarah kaum muslimin.
Bagi Muawiyah
persyaratan-persyaratan itu tidak perlu dipertimbangkan asal Hasan bersedia
mengundurkan diri.[7]
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal
kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokrasi berubah monarchiheridetis (kekuasaan turun
menurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu
daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak.[8]
Sukses kepemimpinan secara turun temurun dimulai
ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap
anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan
istilah khalifah, namun, dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu
untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutkan “khalifah Allah” dalam
pengertian ”penguasa’ yang diangkat oleh “Allah”.
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90
tahun. Ibukota Negara dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia
berkuasa sebagai gubernur sebelumnya.
b.
Silsilah
Keluarga Bani Umayyah
Secara
geneologis (garis keturunan) Muawyyah bin Abi Sofyan bertemu dengan silsilah
keluarga Nabi Muhammad SAW pada Abdul Manaf. Keluarga Nabi Muhammad SAW dikenal
dengan sebutan Bani Hasyim, sedangkan keluarga Umayyah disebut dengan Bani
Umayyah.
Pembentukan
dinasti Bani Umayyah berkaitan erat dengan percaturan persaingan antara dua
klan dari suku Quraisy, yaitu Bani Hasyim dan Bani Umayyah sejak dari masa
pra-Islam. Dalam persaingan itu Bani Umayyah lebih berpengaruh di kalangan
masyarakat Makkah. Merekalah yang menguasai pemerintahan dan perdagangan yang
banyak bergantung pada para pengunjung Ka’bah, sementara Bani Hasyim adalah
orang-orang yang berkehidupan ekonomi sederhana, tetapi taat menjalankan agama
nenek moyang mereka.
Ketika
Islam lahir, dan pada kenyataannya Nabi Muhammad adalah seorang Hasyimi, Bani
Umayyah merasa bahwa kekuasaan dan perekonomiannya akan terancam. Oleh karena
itu mereka menjadi penentang utama kerasulan Muhammad SAW. tetapi tidak pernah berhasil.
Bahkan Abu Sufyan Bin Harb, salah seorang pembesar Bani Umayyah sering sekali
menjadi panglima dalam beberapa peperangan melawan Nabi SAW. Sebagaimana yang
disebut-sebut dalam sejarah, bahwa Abu Sofyan merupakan pemimpin pasukan
Quraisy melawan Nabi Muhammad SAW pada Perang Badar Kubra.
Berikut
ini adalah silsilah Bani Umayyah, yang menunjukkan hubungan kekerabatan antara
Keluarga Bani Umayah dengan Bani Hasyim (keluarga Nabi Muhammad SAW.
c. Khalifahan-Khalifah Dinasti Bani Umayyah
Ada
14 khalifah dinasti Umayyah. Keempat belas khalifah ini berasal dari dua
keluarga, yaitu keluarga Abu Sufyan dan Al-Hakam. Kedua-duanya cucu Umayyah bin
Abd Syams. Keluarga Abu Sufyan diwakili oleh Muawiyah I, Yazid I, dan Muawiyah
II. Keluarga al-Hakam diwakili oleh Marwan I, Abdul Malik, Walid I, Sulaiman,
Umar, Yazid II, Hisyam, Walid II, Yazid III, Ibrahim, dan Marwan II. Beikut ini
urutannya:[9]
1. Muawiyah I bin
Abi Sufyan (41-60 H / 661-680 M)
2. Yazid I bin Muawiyah (60-64 H / 679-683
M)
3. Muawiyah II bin Yazid (64-65 H / 683-685
M)
4. Marwan I bin Hakam (64-65 H /
684-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H /
685-705 M)
6. Al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H /
705-715 M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (92-99 H /
715-717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz
(99-101 H / 717-720 M)
9. Yazid II bin Abdul
Malik (101-105 H / 720-724 M)
10. Hisyam bin
Abdul Malik (105-125 H / 724-743 M)
11. Walid bin
Yazid II (125-126 H / 734-744 M)
12. Yazid III
bin Walid (127 H / 744 M)
13. Ibrahim bin
Walid bin Abd Malik (127 H / 744 M)
14.
Marwan II bin Muhammad (127-132 H /
745-750 M)
Di antara 14 orang
khalifah Bani Umayah yang berkuasa selama lebih kurang 90 tahun, terdapat
beberapa khalifah yang dianggap berhasil dalam menjalankan roda pemerintahan.
Adapun nama-nama khalifah Bani Umayah yang menonjol karena prestasinya adalah:
1. Khalifah Muawiyah bin
Abu Sofyan
2. Khalifah Abdul Malik bin
Marwan
3. Khalifah Al-Walid bin
Abdul Malik
4. Khalifah Umar bin Abdul
Aziz
5. Khalifah Hisyam bin
Abdul Malik
Berukut ini sedikit penjelasan
mengenai mereka:
1.
Muawiyah
I bin Abi Sufyan (41-60 H /
661-680 M)
Muawiyyah bin Abi Sufyan adalah pendiri Dinasti Bani Umayyah di Damaskus,
Syuria yang memerintah dunia Islam selama 90 thn (661-750 M). Nama lengkapnya
Abu Abdurrahman Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibunya Hindun ibnt Rubai’ah ibnt Abd
Syam.[10]
Dia sebagai khalifah pertama yang
berkuasa pada tahun (661-680 M),[11]
dia lahir di Makkah pada tahun 607 M. atau lima belas tahun sebelum hijrah,
meninggal di Damaskus pada awal bulan rajab tahun 60 H., bertepatan dengan
tanggal 7 april 680 M. dan dimakamkan di pemakaman
Bab Al-Shagier.
Muawiyah memeluk Islam bersama ayahnya Abu Sufyan pada fathu Makkah.
Pada zaman Rasul pernah ikut perang Hunein. Keislamannya terus dibina oleh
Rasulullah sehingga menjadi muslim yang baik, dia termasuk salah seorang
sekretaris Rasulullah SAW, al-Sayuthi menyebutkan bahwa Mu’awiyah meriwayatkan
163 hadits, baik yang diterima langsung dari Nabi maupun dari sahabat
lain yang terkemuka seperti Binu Abbas, Binu Umar, Binu Zubair dan lain-lain.
Serta dari saudara perempuannya Habibah binti Abi Sufyan, Istri Rasulullah SAW.
Dalam diri Mu’awiyah seni berpolitik lebih tinggi daripada khalifah-khalifah
lainnya. Menurut para penulis biografinya, nilai utama yang ia miliki adalah al-hilm,
kemampuan luar biasa untuk mengunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu
dan, sebagai gantinya, lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan yang
sarat dengan kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan
membuat kagum musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri
yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan.[12]
Pada masa pemerintahnnya, ekspansi wilayah Islam diteruskan meliputi dua
wilayah utama, yaitu wilayah Barat dan wilayah Timur. Di wilayah Barat,
kepulauan Jarba di Tunisia, kepulauan Rhodesia, kepulauan Kreta, dan kepulauan
Ijih dekat Konstantinopel dapat ditaklukan. Bahkan penaklukan sampai ke daerah
Maghrib Tengah (Aljazair). Uqbah ibn Nafi adalah panglima perang yang paling
terkenal di wilayah ini. Di kawasan Timur, sebagian daerah-daerah di Asia
Tengah dan wilayah Sindh dapat ditaklukan di bawah kepemimpinan Abdullah ibn
Ziyad.[13]
Kesuksesan Muawiyah ini karena disokong oleh orang-orang yang berada di
sekelilingnya, yaitu Amr ibn Ash (Gubernur Mesir), Al-Mughirah (Gubernur
Kufah), dan Ziyad ibn Abihi (Gubernur Basrah). Ketiga orang ini para politisi
ulung yang menjadi andalan Muawiyah.[14]
Selain ketiga orang tersebut, Muawiyah juga sangat dibantu oleh
orang-orang Suriah. Mereka masyarakat yang sangat patuh dan setia kepadanya.
Mereka berhasil dicetak oleh Muawiyah menjadi kekuatan militer yang berdisiplin
tinggi dan terorganisir.[15]
Selain perluasan daerah Islam, di antara
kebijakan yang dilakukan oleh Muawiyah dalam masa pemerintahannya, adalah :
1) Pembentukan Diwanul
Hijabah, yaitu sebuah lembaga yang bertugas memberikan pengawalan
kepada kholifah
2) Pembentukan departemen
pencatatan atau Diwanul Khatam, yaitu lembaga yang bertugas untuk
mencatat semua peraturan yang dikeluarkan oleh kholifah di dalam berita acara
pemerintahan. (Termasuk pembuatan stempel pertama kali
dalam sejarah pemerintahan Islam)
3) Pembentukan Dinas pos
atau Diwanul Barid,yaitu departemen pos dan transportasi, yang
bertugas menjaga pos-pos perjalanan dan menyediakan kuda dan keledai sebagai
alat transportasi.
4) Pembentukan Shohibul
Kharraj (departeman pemungut pajak) Departemen ini
mendorong kesejahteraan dan stabilitas ekonomi masyarakat.[16]
Dunia telah mencatatkan namanya sebagai pemimpin
yang paling berpengaruh pada zamannya. Ia telah membangun fondasi kekuasaan
yang sangat kokoh. Kelak para penerusnya melanjutkan cita-citanya dengan
bertumpu pada fondasi yang sudah dibangunnya
2.
Yazid I bin Muawiyah (60-64 H / 679-683 M)
Namanya Yazid ibn Muawiyah ibn Abu Sufyan. Ia
khalifah kedua dinasti Umayyah yang dibait langsung oleh ayahnya untuk
menggantikannya. Pembaiatan ini menjadi yang pertama kali terjadi dalam sistem
politik Islam dan semakin mempertegas sebuah sistem pemerintahan turun temurun
(Monarki) Dinasti Umayyah.
Mayoritas masyarakat membaitnya, namun Ibnu Umar, Ibnu Abu Bakar, Ibnu
Abbas, Ibnu Zubair, dan Husen ibn Ali tidak mau membaitnya. Namun karena
dipaksa untuk membait, tokoh-tokoh tersebut kecuali ibn Zubair dan Husen
akhirnya membait Yazid sebagai pemimpin pemerintahan.[17]
Kecuali sedikit penaklukan di daerah Afrika dan moralitasnya yang sangat
buruk, tidak ada yang menonjol dari diri seorang Yazid. Malah pada masa
pemerintahnya, terjadi dua tragedi yang sangat mencoreng sejarah Islam.
·
Pertama, tragedi Karbala memerah. Pada
waktu itu, seorang panglima Yazid yang sangat bengis, yang bernama Ubaidillah
ibn Ziyad dan pasukannya mencegat rombongan Husen beserta pengikutnya di
Karbala. Pasukan Ziyad membunuh Husen dan pengikutnya dengan cara yang sangat
sadis. Kepala Husen diserahkan kepada pemimpinnya, Yazid ibn Abu Sufyan.
·
Kedua, peristiwa Hurrah dan penghalalan
Madinah. Peristiwa ini terjadi karena Abdullah ibn Zubair tidak mau membait
Yazid. Ibnu Zubair malah mengumumkan pencopotan Yazid di Madinah dan membait
dirinya sendiri sebagai pemimpin pemerintahan. Yazid pun mengirimkan pasukan
untuk menumpas kelompok Ibnu Zubair. Ratusan sahabat Ibnu Zubair dan anak-anak
meninggal dunia. Yazid menghalalkan pertumpahan darah untuk membasmi
pemberontakan.[18]
Yazid meninggal dunia pada tahun 64 H/683 M dengan masa kepemimpinan
selama dua tahun. Ia telah menjadi contoh buruknya moralitas seorang pemimpin
pemerintahan Islam.
3.
Muawiyah
II bin Yazid (64 H/683 M)
Khalifah ketiga Dinasti Umayyah ini
tidak banyak diceritakan sejarah. Hal ini dikarenakan pemerintahannya yang
sangat pendek. Ia menggantikan ayahnya sebagai raja. Namun ia mengundurkan diri
karena sakit. Ia meninggal pada tahun pengangkatannya sebagai raja ketiga
Dinasti Umayyah.
4.
Marwan
ibn Hakam (64-65 H/683-684 M)
Marwan diangkat menjadi khalifah
keempat setelah Muawiyah II ibn Yazid mengundurkan diri. Ia memerintah hampir
satu tahun. Pada saat pemerintahannya, posisinya goyah karena mayoritas
masyarakat lebih mempercayai Abdullah ibn Zubair sebagai pemimpin yang sah.
Sehingga hal ini menyebabkan dualisme kepemimpinan, yaitu kepemimpinannya yang
berpusat di Suria, Damaskus dan kepemimpinan Abdullah ibn Zubair yang berpusat
di daerah Hijaj (Makkah dan Madinah).
5.
Abdul Malik bin Marwan (65-86 H /
685-705 M)
Setelah Yazid ibn Muawiyah diangkat oleh ayahnya
sebagai khalifah, Abdullah ibn Zubair, salah satu tokoh yang menolak membait
Yazid, lari ke Makkah dan membaiat dirinya sebagai Raja. Setelah Yazid meninggal
dunia maka Ibnu Zubair semakin berkuasa, apalagi raja Muawiyah II yang ditunjuk
menggantikan Yazid sakit-sakitan dan mengundurkan diri. Kekuasaa Ibnu Zubair
semakin luas. Ia berkuasa dari tahun 64 sampai 73 H.
Di pihak Dinasti Umayyah sendiri, setelah kematian Marwan bin Hakam,
putranya yang bernama Abdul Malik dibait menggantikan ayahnya pada tahun 65 H.
Namun penggantian ini belum sepenuhnya legal, sebab Ibnu Zubair masih berkuasa.
Oleh karena itu, seteleh Ibnu Zubair terbunuh pada tahun 73 H, maka sejak itu
Abdul Malik resmi menjadi khalifah kelima Dinasti Umayyah.
Abdul Malik dianggap sebagai pendiri kedua Dinasti Umayyah. Hal ini
disebabkan ia mampu membangun kembali kebesaran dinasti Umayyah setelah hampir
punah pada jaman raja Muawiyah II sampai menjelang kematian Ibnu Zubair. Ia
juga diberi gelar Abdul Muluk, karena empat putranya menjadi
penerusnya sebagai raja dinasti Umayyah. Mereka adalah al-Walid II, Sulayman,
Yazid II, dan Hisyam.
Beberapa kemajuan pada masa Abdul Malik adalah membangun nasionalisasi
Arab dengan membuat mata uang sendiri dan menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa
resmi administrasi pemerintahan.Abdul Malik bin Marwan juga memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu
itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf) dalam Al-Qur`an di tengah
masyarakat. Pada masa itulah disempurnakan penulisan al-Qur’an dengan
memberikan baris dan titik pada huruf-hurufnya.
Ia meninggal pada tahun 86 H/705 M dan memerintah secara resmi selama 13
tahun.[19]
6.
Al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H /
705-715 M)
Walid terkenal sebagai seorang arsitektur ulung pertama dalam sejarah
Islam. Dia banyak mendirikan bangunan-bangunan yang megah dalam sekala besar,
diantaranya membangun Masjid Damaskus, membangun Qubbat al-Shakhrah di
Yerusalem dan memperluas Masjid Nabawi.[20]
Selain terkenal dengan membangun infrastruktur yang megah, pada masa
pemerintahannya, penaklukan kawasan Islam diperluas. Pasukannya berhasil
menaklukan Sisilia dan Merovits, Afrika, dan Andalusia di bagian barat. Pada
masa ini hidup seorang panglima besar Islam asal Barbar, yang bernama Thariq
ibn Ziyad. Ia berhasil menduduki Andalusia pada tahun 92 H/ 710 M. Di kawasan
timur, pasukan Walid berhasil menguasai Asia Tengah dengan panglimanya yang
terkenal, yaitu Qutaibah ibn Muslim al-Bahili. Sind dan India pun berhasil
ditaklukan di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim Ats-Tsaqafi. Penaklukan ini
menjadikan wilayah Islam semakin luas.[21]
Walid berkuasa sampai tahun 96 H/714 M. Ia salah satu
negarawan besar dinasti Umayyah. Ia dikenal dengan jasa-jasanya membangun
peradaban islam yang ada sampai sekarang. Penerusnya tidak mampu melakukan apa
yang telah dilakukannya.
7.
Sulaiman bin Abdul Malik (92-99 H /
715-717 M)
Sulaiman diangkat oleh ayahnya, Abdul Malik untuk menjadipemimpin
pemerintahan Islam setelah Walid mangkat. Ia saudara laki-laki Walid. Namun,
Walid telah bersekongkol untuk menurunkan Sulaiman dari jabatannya dan
menggantikannya dengan anaknya, yaitu Yazid II. Namun Sulaiman ternyata
menunjuk anak pamannya, Umar ibn Abdul Aziz untuk menggantikanya.[22]
Tidak banyak yang bisa dijadikan sebagai bukti kemajuan pemerintahannya,
kecuali keputusannya untuk menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya.
Keputusannya itu menjadi karya Sulaiman yang paling hebat. Ia meninggal pada tahun
99 H/717 M.
8. Umar bin Abdul Aziz
(99-101 H / 717-720 M)
Umar ibn Abdul Aziz adalah putra saudara Sulaiman, yaitu Abdul Aziz. Umar
pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur
rasyidin karena kesholihan dan kemuliaannya. Sebelum ia diangkat menjadi
khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam
kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah
diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang sangat
sederhana, adil dan jujur.[23]
Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada zamannya. Ia
juga disebut sebagai pembaharu Islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahunan,
namun banyak perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi
politik dengan semua kalangan, termasuk kaum Syi`ah sekalipun. Ini tidak
dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan
tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang
tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh,
sehingga pada zamannya tidak ada lagi kemiskinan.[24]
Pada masa pemerintahannya, tidak ada perluasan daerah yang berarti.
Menurutnya, ekspansi Islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme
militer, tapi dengan cara dakwah. Oleh karena itu, ia mengirim para mubaligh ke
daerah kekuasaan Islam, yang otoritas agamanya bukan Islam.
Umar mangkat dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan
karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan
agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter
kepemimpinannya.
9.
Yazid II bin
Abdul Malik (101-105 H / 720-724 M)
Konsepsi pemerintahan yang telah dibangun Umar “dihancurkan” oleh cara
kepemimpinan Yazid II. Ia memperkaya diri dan suka menghambur-hambrukan uang
untuk memenuhi hasrat duniawinya.
Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang
memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman
dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan
kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap
pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa
pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul Malik.[25]
Yazid memerintah selama hampir empat tahun. Kepemimpinannya buruk
dan diwarnai oleh adanya konfrontasi dari masyarakat. Tidak ada kemajuan yang
layak dicatat dalam sejarah. Ia meninggal dunia pada tahun 105 H/742 M.
Selanjutnya kepemimpinan dipegang oleh saudaranya, Hisyam ibn Abdul Malik.
10.
Hisyam bin
Abdul Malik (105-125 H / 724-743 M)
Siapakah khalifah kesepuluh Dinasti Umayyah ini? Badri Yatim memasukan
Hisyam sebagai salah satu dari lima khalifah besar Dinasti Umayyah, selain
Muawiyah ibn Abu Sufyan, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, dan
Umar ibn Abdul Aziz.[26]
Hiiti memasukannya sebagai negarawan ketiga dan terakhir Dinasti Umayyah
setelah Muawiyah ibn Abu Sufyan dan Abdul Malik.[27]
Hal ini karena pada masa pemerintahnnya, terjadi perbaikan-perbaikan
administrasi dan menghidupkan tanah-tanah yang mati.
Pendapat dua penulis tersebut. tidak sama dengan penulis lain yang mengatakan bahwa, selama
hampir dua puluh tahun memerintah, negara mengalami kemorosotan dan melemah.[28]
Hal ini disebabkan banyaknya rongrongan dari luar dan perpecahan dari dalam
pemerintahan. Rongrongan dari luar diantaranya pemberontakan oleh Zaid ibn Ali
ibn Husein sebagai refresentasi dari kelompok Syi`ah Zaidiyah dan seruan
pembentukan pemerintahan Abbasiyah. Dari dalam karena adanya konflik
orang-orang Arab Selatan dan Arab Utara.[29]
11. Walid bin Yazid II (125-126 H /
734-744 M)
Penerus Hisyam, Walid bin Yazid tidak mampu
mengembalikan pemerintahan menjadi lebih baik. Malahan keadaan pemerintahan
menjadi lebih buruk. Alasannya, selain musuh semakin kuat, ia juga meniru gaya
hidup ayahnya, Yazid ibn Abdul Malik. Dia banyak menciptakan permusuhan. Oleh
karena itu, saudara sepupunya, Yazid ibn al-Walid-yang kelak menjadi pengganti
Walid-memerintahkan untuk mencopot Walid dari jabatannya. Setelah hampir tiga
tahun memerintah, Walid pun dibunuh oleh pasukan Yazid ibn al-Walid dan ia
mengantikan kedudukan Walid.
12. Yazid III bin Walid (127 H / 744 M)
Pada masa jabatannya, pemerintahan semakin kacau.
Pemberontakan di mana-mana. Keluarga khalifah pun sudah terpecah. Akhirnya
Yazid III meninggal dunia akibat penyakit tha’un setelah memerintah selama enam
bulan.[30]
13. Ibrahim bin Malik bin Abd Malik (127 H
/ 744 M)
Dia hanya memerintah selama 70 hari. Oleh karena
itu, ada yang tidak memasukannya sebagai salah satu khalifah Dinasti Umayyah.
Pada masanya, tanda-tanda kehancuran Dinasti Umayyah semakin jelas. Perpecahan
diantara keluarga semakin terbuka. Ia dituntut oleh Marwan ibn Muhammad ibn
Marwan untuk mempertanggung jawabkan kematian Walid II yang dibunuh oleh Yazid
III, kakak Ibrahim. Ia melarikan diri dari Damaskus. Marwan sampai ke Damaskus
dan dibaiat sebagai khalifah terakhir Dinasti Umayyah Jilid I.
14. Marwan II bin Muhammad (127-132 H /
745-750 M)
Setelah dibait sebagai raja, ia mencoba memperbaiki keadaan pemerintahan
yang sudah kacau balau. Ia mencoba menjalankan roda pemerintahan yang sudah
lemah. Namun roda pemerintahan sudah sangat rusak, sehingga pemerintahan bukan
menjadi baik, malah menjadi hancur.
Pada masa ini kekuatan kaum pemberontak yang diantaranya diwakili oleh
kaum khawarij dan keturunan Abbas ibn Abdul Mutholib semakin kuat. Malah
kelompok Abbasiyah ini berani memproklamirkan berdirinya Dinasti Abbasiyah pada
tahun 129 H/ 446 M, yang dipimpin oleh Ibrahim. Marwan berhasil menagkap dan
membunuhnya. Namun pengganti Ibrahim, Abu al-Abbas as-Shaffah lebih kuat dan
didukung oleh kaum Syiah dan Khurasan.
Pada tahun 131 H/748 M, terjadilah pertempuran besar antara pasukan
as-Shoffah dan Marwan di sungai Zab. Marwan melarikan diri dan terbunuh pada
tahun 132 H. Pada tahun ini pula, tepatnya hari Kamis, tanggal 30 Oktober[31],
as-Shaffah dibait menjadi khalifah pertama Bani Abbasiyah. Ia berhasil
merebut kekuasaan pemerintahan dari tangan Dinasti Umayyah.[32]
Dengan terbunuhnya Marwan, maka hancurlah kerajaan dinasti Umayyah jiid
I. Namun, ada salah seorang keturunan Dinasti Umayyah jilid I yang berhasil
melarikan diri dari kejaran pasukan Abbasiyah dan kelak ia membangun kerajaan
besar dinasti Umayyah jilid II di Andalusia.
B. Masa
Kemajuan Dinasti Bani Umayyah.
Kekuasaan dinasti Bani Umayah berlangsung selama hampir 1
abad lamanya dengan 14 khalifah. Dalam rentang waktu yang sangat panjang
tersebut, tentu saja sudah banyak yang dilakukan oleh dinasti Umayyah dalam
memajukan Islam, di antaranya
ialah:
a.
Perluasan
Wilayah
Perluasan wilayah yang dilakukan pada masa Bani
Umayyah itu meliputi tiga front penting, yaitu daerah-daerah yang telah dapat
dicapai dan terhenti disitu gerakan perluasan Islam yang dilakukan sampai masa
Khalifah Utsman bin ‘Affan. Ketiga front itu adalah:
·
Pertama, Front pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia
Kecil. Di masa Daulah Bani Umayyah, pertempuran di front ini telah meluas,
sampai meliputi pengepungan terhadap kota Konstantinopel, dan penyerangan
terhadap beberapa pulau di Laut Tengah.
·
Kedua, Front Afrika Utara. Front ini meluas sampai ke
pantai Atlantik, kemudian menyebrangi Selat Jabal Tarik dan sampai ke Spanyol.
·
Ketiga, Front Timur. Ini meluas dan terbagi kepada dua
cabang yang satu menuju ke Utara, ke daerah-daerah di seberang Sungai Jihun
(Amu Dariah). Dan cabang yang kedua menuju ke Selatan, meliputi daerah Sind.[33]
1)
Front melawan
bangsa Romawi di Asia Kecil
Front
ini sangat penting bagi Daulah Umayyah karena Daulah ini mengambil kota
Damaskus sebagai ibu kota Imperium Islam yang luas itu. Dengan demikian ibu
kota tersebut dekat sekali letaknya ke tapal batas kerajaan Byzantium.
Mu’awiyah sebagai penguasa pertama Daulah ini bermaksud menjatuhkan Imperium
Byzantiium ini dengan cara merebut ibu kotanya “Konstantinopel”.
Usaha
ini, dilakukan Muawiyah dengan mengadakan persiapan-persiapan dan memperbesar
armadanya, hingga terdiri dari 1700 kapal, lengkap dengan perbekalan dan
persenjataan. Kemudian melakukan penyerangan hingga ke Laut Tengah dan berhasil
menduduki pulau Rhodes pada tahun 53 H, dan pulau Kreta pada tahun 54 H.
Diserangnya lagi pulau-pulau Sicilia, dan sebuah pulau yang bernama Arwad, tidak
jauh dari kota Konstantinopel. Itu semua disamping pulau Cyprus yang telah
ditaklukkan Mu’awiyah pada masa Khalifah Utsman. Penyerangan pulau-pulau
tersebut dipimpin oleh Janadah bin Abi Umayyah.
Setelah
berhasil menguasai daerah darat dan laut, Mu’awiyah maju menuju tujuan utamanya
yaitu mengepung ibu kota Konstaantinopel, yang dipimpin oleh Yazid bin
Mu’awiyah anaknya sendiri didampingi oleh pahlawan Islam kenamaan antara lain:
Abu Ayyub al-Anshar, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, dan Bin Abbas.
Namun kota itu sanggup menghadapi pengepungan yang lama itu, yang berlangsung
sekitar tujuh tahun (54 H - 61 H). Dalam pertempuran ini tewas seorang shahabi
yang termasyhur yaitu Abu Ayyub al-Anshari. Armada ini mengundurkan diri
seiring dengan akhir masa pemerintahan Mu’awiyah.
Penyerangan
dilakukan kembali pada masa Khalifah Abdul Malik setelah ia berhasil menumpas
kekacauan dalam negeri sehingga berhasil menaklukkan kembali daerah Armenia.
Disusunnya rencana untuk musim dingin dan musim panas. Pada tahun 84 H, Abdul
Malik mengirim pasukan di bawah pimpinan Abdullah bin Abdul Malik menyerang kekuasaan
Romawi dan berhasil menaklukkan Mashaishah.
Penyerangan
dilanjutkan kembali oleh Khalifah Al-Walid, hingga dia berhasil melakukan
penaklukkan ke daerah-daerah sekitar Konstantinopel sebelum melakukan
penyerangan ke sana walaupun kota ini berhasil melepaskan diri dari
pengepungan.[34]
2) Front Afrika Utara.
Muawiyah
melakukan perluasan wilayah ke Afrika Utara yang masih dibawah kekuasaan
Romawi, yang dipimpin oleh panglima masyhur -‘Uqbah bin Nafi’ al Fihri- yang
telah menetap di Barqah sejak daerah itu ditaklukkan. Dan ‘Uqbah merusaha
menarik bangsa Barbar untuk masuk Islam. Ia barhasil menaklukkan daerah Tripoli
dan Fazzan, kemudian terus ke Selatan hingga sampai ke negeri Sudan.
Muawiyah
mengangkat Mslamah bin Makhlad al-Anshari sebagai gubernur Maghribi dan
berhasil menguasai seluruh daerah Maghribi, Mesir, Barqah, Afrika dan Tripoli.
Dia memecat panglima ‘Uqbah dari kedudukannya di Afrika dan diangkat kembali
oleh Khalifah Yazid, dan berhasil maju hingga ke pantai Atlantik.
Pengiriman
satuan besar dilakukan kembali pada masa pemerintahan Abdul Malik dibawah
pimpinan Hasan bin Nu’man al-Ghassani. Satuan ini berhasil menumpas
satuan-satuan Romawi dan menghalau mereka dari Afrika Utara serta menindas
perlawanan bangsa Barbar. Dengan demikian kekuasaan Islam sampai ke Lautan
Atlantik.[35]
3) Front Timur.
Front
ke daerah Timur ini dilakukan di daerah seberang Sungai Jihun dan di Sind. Pada
masa pemerintahan Khalifah Al-Walid kaum muslimin telah mendapat kamajuan dan
stabilitas di “Daerah Seberang Sungai Jihun”, sehingga penaklukkan itu sempurna
pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman bin Abdil Malik, dibawah pimpinan
panglima Yazid bin Muhallab.
Front
Timur ini sangat erat hubungannya dengan negeri Persia, yang ditaklukkan pada
masa Khalifah Umar, dan negeri Khurasan yang telah dicapai oleh Khalifah Umar
dan Utsman namun belum stabil. Pada masa Khalifah Al Walid, front ini dibagi
dua oleh Al Hajjaj bin Yusuf yang menunjuk dua orang panglima yaitu Al Muhallab
bin Abi Shufrah dan Muhammad bin Qasim as Tsaqafi (menantunya sendiri).
Panglima
pertama dikirim ke arah Timur Laut menaklukkan negeri-negeri yang berada di
daerah Sungai dan panglima kedua dikirim ke arah Tenggara menaklukkan negeri
Sind.[36]
Dengan
keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik Timur maupun Barat. Wilayah
kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah
itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak,
sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan
Purkmenia, Ulbek, dan Kilgis di Asia Tengah.
b.
Sistem
Sosial
Meskipun
sering kali terjadi pergolakan dan pergumulan politik pada masa pemerintahan
Daulah Bani Umayyah, namun terdapat juga usaha positif yang dilakukan daulah
ini untuk kesejahteraan rakyatnya.
Diantara
usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayyah dalam
mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh sstem pemerintahan
dan menata administrasi antara lain organisasi keuangan ini bertugas mengurusi
masalah keuangan Negara yang dipergunakan untuk:
a)
Gaji
pegawai dan tentara serta gaya tata usaha Negara.
b)
Pembangunan
pertanian, termasuk irigasi.
c)
Biaya
orang-orang hukuman dan tawanan perang
d)
Perlengkapan
perang
Disamping
usaha tersebut Daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga
Negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai
hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan.
Oleh karena
itu Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai
oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan
perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi
politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu
perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu
c.
Sistem
Militer
Salah satu
kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah
adalah kemajuan dalam sistem militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh,
pasukan Arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur
kemudian mereka memadukannya dengan sistem dan teknik pertahanan yang selama
itu mereka miliki, dengan perpaduan sistem pertahanan ini akhirnya kekuatan
pertahanan dan militer.
Dinasti
Bani Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan
kemajuan-kemajuan dalam sistem ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah
mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Eropa. Secara garis besar formasi
kekuatan tentara Bani Umayyah terdiri dari pasukan berkuda, pasukan pejalan
kaki dan angkatan laut.
d.
Sistem
Ekonomi
Bidang-bidang
ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah terbukti berjaya membawa kemajuan
kepada rakyatnya yaitu:
1) Dalam bidang pertanian Umayyah telah
memberi tumpuan terhadap pembangunan sektor pertanian, beliau telah
memperkenalkan sistem pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil pertanian.
2) Dalam bidang industri pembuatan
khususnya kraftangan telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.
e.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Sastra-Seni
Pada masa Dinasti Umayah, ilmu
pengetahun berkembang dalam tiga bidang, yaitu bidang diniyah, tarikh, dan
filsafat. Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan selama pemerintahan
dinasti Umayyah, antara lain kota Kairawan, Kordoba, Granda dan lain
sebagainya.
Pada masa Umayyah, ilmu pengetahuan terbagi
menjadi dua macam:
·
Pertama, Al-Adaabul Hadits
(ilmu-ilmu baru), yang meliputi: Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur’an,
Hadits, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-Ulumul
Dakhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi :
ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari
Persia dan Romawi ;
·
Kedua, Al-Adaabul Qadamah (ilmu
lama), yaitu ilmu yang telah ada pada zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah
yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal.
f.
Gerakan Penerjemahan dan Arabisasi
Gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab (Arabisasi
buku), juga dilakukan, terutama pada masa khalifah Marwan. Pada saat itu, ia
memerintahkan penerjemahan sebuah buku kedokteran karya Aaron, seorang dokter
dari Iskandariyah, ke dalam bahasa Siriani, kemudian diterjemahkan lagi ke
dalam bahasa Arab. Demikian pula, Khalifah memerintahkan menerjemahkan buku
dongeng dalam bahasa sansakerta yang dikenal dengan Kalilah wa Dimnah,
karya Bidpai. Buku ini diterjemahkan oleh Abdullah bin Al-Muqaffa. Ia juga
telah banyak menerjemahkan banyak buku lain, seperti filsafat dan logika,
termasuk karya Aristoteles: Categoris, Hermeneutica, Analityca Posterior
serta karya Porphyrius: Isagoge.[37]
Demikian juga, pada masa Dinasti Umayyah, sudah mulai
dirancang tentang undang-undang yang bersumber dari al-Qur’an, sehingga
menuntut masyarakat mempelajari tentang tafsir al-Qur’an. Salah seorang ahli
tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut adalah Ibn Abbas. Pada waktu
itu beliau telah menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat dan isnad, kemudian
kesulitan-kesulitan dalam mengartikan al-Qur’an dicari dalam al-hadits, yang
pada gilirannya melahirkan ilmu hadits.
Pada saat itulah kitab tentang ilmu hadits sudah mulai
dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadits yang terkenal pada masa
itu, antara lain: Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin
Syihab az-Zuhri, Ibn Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami
al-Makky), Al-Auza’i Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Sya’bi.
Dalam bidang hadits ini, Umar bin Abd Aziz secara
khusus memerintahkan Ibn Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadits. Oleh karena
itu, Ibn Syihab telah dianggap sangat berjasa dalam menyebarkan hadits hingga
menembus berbagai zaman. Sejak saat itulah perkembangan kitab-kitab hadits
mulai dilakukan.[38]
Gerakan Arabisasi juga bukan hanya dilakukan pada
penerjamahan, tetapi juga dalam konteks kebijakan pemerintahan. Pada masa Abdul
Malik (685-705 M) mulai diperkenalkan bahasa Arab untuk tujuan-tujuan
administrasi, mata uang gaya baru diperkenalkan, dan hal ini memiliki arti yang
sangat penting, karena mata uang merupakan simbol kekuasaan dan identitas.[39]
Sebab, mata uang baru inipun dicetak dengan menggunakan kata-kata semata,
memproklmasikan dengan bahasa Arab keesaan Tuhan dan kebenaran agama Islam.[40]
Selain itu, kekuasaan ini juga melakukan banyak hal, baik
prestasi dalam negeri maupun luar negeri. Prestasi luar negeri misalnya, pada
masa Dinasti Umayyah, gerakan pelebaran sayap kekuasaan terus dilakukan,
terutama pada Muawiyah. Ia sangat gencar melakukan ekspansi, setelah sempat
tertunda pada Usman dan Ali, akibat konflik politik internal. Pada masa Muawiyah
bahkan telah mulai mampu menciptakn bebarapa hal yang sangat berarti, terutama
menyangkut melindungi keselamatan Muawiyah, antara lain yaitu:
·
Pertama, Muawiyah
memerintahkan agar para prajurit mengangkat senjata tembok apabila mereka
berada di hadapannya.
·
Kedua, Mu’awiyah
merupakan khalifah yang mula-mula menyuruh agar dibuatkan ”anjung” dalam masjid
tempat sembahyang. Ia sangat khawatir akan keselamatan dirinya, karena khalifah
Umar dan Ali, terbunuh ketika sedang
melaksanakan shalat.[41]
Kemudian, masa-masa kejayaan Daulah Umayah mencapai
puncaknya pada masa Al-Walid bin Abdul Malik (705-715M). Masa ini
merupakan masa-masa kejayaan kekuasaan Bani Umayah, karena ketenteraman,
kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam benar-benar mendapatkan kebahagiaan. Pada
masa ini, perluasaan wilayah kekuasaan dari Afrika menuju wilayah Barat Daya,
benua Eropa, bahkan perluasaan ini juga sampai ke Andalusia (Spanyol) di bawah
kepemimpinan panglima Thariq bin Ziyad, yang berhasil menaklukkan Kordova,
Granada, dan Toledo.
Selain gerakan luar negeri, dinasti Umayah juga banyak
melakukan karya-karya yang sangat berarti, misalnya Muawiyah sudah merancang
pola pengiriman surat (post), kemudian dimatangkan lagi pada masa Malik bin
Marwan. Proyek al-Barid (pos) ini, semakin ditata dengan baik, sehingga menjadi
alat pengiriman yang baik pada waktu itu.[42]
Bahkan pada masa, Sulaiman bin Malik, telah dibangun pembangunan mega raksasa
yang terkenal dengan Jami’ul Umawi.
Bahkan pada masa Daulah Umayyah, gerakan sastra dan seni
juga sempat muncul dan berkembang, yaitu pada masa khalifah Abdul Malik,
setelah al-Hajjaj berhasil menundukkan Abdullah bin Zubair di Hijaz. Di negeri
itu telah muncul generasi baru yang bergerak di bidang sastra dan seni. Pada
masa itu muncul tokoh Umar binu Abi Rabi’ah, seorang penyair yang sangat
mashur, dan muncul perkumpulan penyanyi dan ahli musik, seperti Thuwais dan Ibn
Suraih serta al-Gharidl.[43]
C. Masa
Kemunduran/Kehancuran Bani Umayyah
Kebesaran
yang dibangun oleh Daulah Bani Umayyah ternyata tidak dapat menahan kemunduran
dinasti yang berkuasa hampir satu abad ini, hal tersebut diakibatkan oleh
beberapa faktor yang menyebabkan Bani Umayyah lemah dan kemudian
mengantarkannya pada titik kehancuran.
Faktor-faktor tersebut diklasifikasi
menjadi dua bagian:
I.
Faktor
Internal, yaitu berasal dari dalam istana sendiri antara lain:
1) Perselisihan
antara keluarga khalifah,
Di
antrara para putra mahkota yang pertama telah memegang maka ia berusaha untuk
mengasingkan keluarga yang lain dan ingin menggantikan dengan anaknya sendiri,
sehingga menurut Philip K..Hitti
sistim pergantian khalifah dari garis keturunan adalah suatu yang baru bagi
tradisi Arab. Yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat
dikalangan anggota keluarga istana.[44]
2) Perilaku
khalifah atau gubernur jauh dari aturan Islam.
Kekayaan Bani Umayyah disalah gunakan oleh khalifah
ataupun
gubernur untuk hidup berfoya-foya, bersuka ria dalam
kemewahan,terutama
masa khalifah yazid II naik Tahta ia terpikat oleh dua biduanitanya, Sallamah
dan Habadah serta suka meminum minuman keras,[45]ditambah
lagi para wazir dan panglima bani Umayyah sudah mulai korup dan mengendalikan
Negara karena para khalifah pada saat itu sangat lemah.[46]
II.
Faktor
eksternal, adalah yang berasal dari luar istana
1)
Perlawanan dari kaum Khawarij
Sejak berdiri dinasti Bani Umayyah para
khalifahnya sering menghadapi tantangan dari golongan Khawarij. Golongan ini
memandang bahwa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah telah melakukan dosa besar.[47] Perbedaan
sudut pandang pro Ali dan Pro Muaiwiyah ini menjadikan Khawarij mengangkat pemimpin
dari kalangan mereka sendiri
2)
Perlawanan dari kalangan Syi`ah
Pada
dasarnya kaum Syi`ah tidak pernah mengakui pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
dan tidak pernah memaafkan kesalahan mereka terhadap Ali dan Husain hingga
semakin aktif dan mendapat dukungan public di sisi mereka berkumpul orang-orang
yang merasa tidak puas, baik dari sisi politik, ekonomi maupun sosial terhadap
pemerintahan Bani Umayyah.[48]
3) Perlawanan
dari golongan Mawali.
Asal mula kaum
Mawali yaitu budak-budak tawanan perang yang telah dimerdekakan kemudian istilah
ini berkembang pada orang Islam bukan Arab. Ketika Bani Umayyah berkuasa orang
Mawali dipandang sebagai masyarakat bawahan sehingga terbukalah jurang dan
sekat sosial yang memisahkan, padahal orang Mawali turut berjuang membelah
Islam dari Bani Umayyah, mereka adalah kaum infantri yang berjalan kaki yang
bertempur dengan kaki telanjang diatas terik panasnya padang pasir.mereka
ahkirnya bergabung dengn gerakan anti pemerintah yakni pihak Bani Abbasiyah dan
Syi`ah.[49]
4)
Pertentangan etnis Arab Utara dengan
Arab Selatan.
Masa khilafah Bani Umayyah, pertentangan
etnis antara suku Arabia utara (Bani Qaisy) dan Arabia Selatan (Bani
Qalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam semakin meruncing. Perselisihan
ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah kesulitan menggalang persatuan dan
kesatuan.[50]
5) Perlawanan
dari Bani Abbasiyah
Keturunan paman Rasulullah, Al-Abbas
ibn Abd Al-Muthalib, mulai bergerak aktif mempelopori munculnya kekuatan baru
yang mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan juga dari
golongan Mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[51]
Koalisi akbar ketiga kaum Syi`ah,
Mawali dan Abbasiyah, menyusun kekuatan dalam melakukan agresi gerakan revolusi
pemerintahan dengan menumbangkan Dinasti Bani Umayyah dan bertujuan menciptakan
pemeritahan baru.
Maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah di kota Damaskus yang dirintis
Muawiyah ibn Sufyan kurang lebih sembilan puluh tahun lamanya dan ditutup oleh
khilafah ke empat belas Marwan ibn Muhammad.
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan.
o
Bani Umayyah merupakan salah satu
penguasa Islam yang cukup masyhur seperti yang penguasa-penguasa Muslim yang
lain. Bahkan pada masa ini, perubahan demi perubahan dilakukan, setidaknya
keberanian Bani Umayyah untuk keluar dari tradisi Arab dalam masalah pergantian
kepemimpinan serta pemindahan pusat kekuasaan dari Jazirah Arab ke Damaskus
(luar Jazirah Arab) menjadi bukti sederhana tentang dinamika yang terjadi pada
masa Bani Umayyah berkuasa.
o
Dinasti
Umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini
sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan
namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan
kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan Ibn Ali
yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah
setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam
satu kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah)
tahun 41 H (661 M).
o Kemajuan dinasti Umayyah dilakukan
dengan ekspansi sehingga menjadi negara Islam yang besar luas serta sangat
memperhatikan kemajuan pembangunan. Walid bin Abdul Malik ikut andil dalam memperluas Masjid
Nabawi. Pada masa Abdul Malik bin Marwan disempurnakan penulisan al-Qur’an dengan
memberikan baris dan titik pada huruf-hurufnya.
o
Kekuasaan
Daulah Bani Umayyah mengalami kemunduran,karena adanya dua faktor yang sangat
berpengaruh yaitu faktor internal dan eksternal.
DAFTAR
PUSTAKA
Mughni, Syafiq, A., Dinamika Intelektual Islam Pada
Abad Kegelapan, LPAM: Surabaya, 2002
Yatim, Badri
M.A., Dr., Sejarah Peradaban Islam, PT.
RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2006
Thohir, Ajid, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik,
dan Budaya Umat Islam, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2004
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya,
UI-Press: Jakarta, 1999, J.1.
al-Husairy, Ahmad,
Sejarah Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Diterjemahkan dari
at-Tarikh al-Islam oleh Samson Rahman, Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana. 2008, C. 6
Salabi, A., Sejarah
dan Kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna: Jakarta, Jilid 11, 2003
Hitti, Philip K.
The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From
The Earliest Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan deDi
Slamet Riyadi, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008
http// Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Kekhalifahan Umayyah.
Dahlan, Ihsan
Muhammad, Syekh, Sirojuttholibin, Darul Ihya al-Kutubul al-Arabiyyah,
Jilid II.
Sou’yb,
Joesouf, Sejarah Daulah Umawiyah di Damaskus, I, Bulan Bintang: Jakarta,
1997
Tibrizi, Abdul
Aziz, E., Sejarah Kebudayaan Islam; Diklat. II, Tangerang: Ponpes Daarul el-Qalam.
Qadir, C.A., Filsafat Dan ilmu Pengetahuan
dalam Islam, Jakarta: Pustaka Obor, 2002
Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadits: Studi
Kritis Atas Kajian Hadst Kontempore, Bandung; Rosda, 2004
Hourani, Albert, Sejarah Bangsa-Bangsa
Muslim, Bandung; Mizan, 2004
Ibrahim, Hasan, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2003
Karim, M.Abdul, Sejarah
pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, cet 1,
2007
Murodi, Ali, Islam
di kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos Cet,1,1999
[2]Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik,
dan Budaya Umat Islam, (PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2004), h. 34.
[4] Khawārij (baca Khowaarij, secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah istilah
umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam
yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib,
lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad
ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak
selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni
dan Syi'ah,
(sumber: Wikipedia bahasa Indonesia), pada tnggal 29 September 2012, pukul
14.30
[5]
Ahmad al-Husairy, Sejarah
Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Diterjemahkan dari at-Tarikh
al-Islam oleh Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2008), Cet.
Ke-6, h.236
[6] Ibid. h.177
[7] A. Salabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, (Pustaka Al-Husna: Jakarta, Jilid 11, 2003), h. 29-30
[8] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, (PT.
RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2006), h. 42
[10] Syekh Ihsan Muhammad Dahlan, Sirojuttholibin
(Darul Ihya al-Kutubul al-Arabiyyah), Jilid II, h. 70
[11] Joesouf Sou’yb,
Sejarah Daulah Umawiyah di Damaskus, I,( Bulan Bintang: Jakarta, 1997),
h. 13
[12] Philip K. Hitti, The History
of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From The Earliest
Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan deDi Slamet Riyadi
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. Ke-1, h. 245
[13] Al-Husairy, Ahmad. 2008. Sejarah
Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Diterjemahkan dari at-Tarikh
al-Islam oleh Samson Rahman. (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.), h.
188-189.
[14] Philip K. Hitti, The History
of Arab, hlm. 244.
[15] Ibid, h.242.
[16] E. Abdul Aziz Tibrizi, Sejarah
Kebudayaan Islam; D. II (Tangerang: Ponpes Daarul el-Qalam), h. 7.
[17] Al-Husairy, Sejarah Islam,
h. 92
[18] Al-Husairy, h. 193.
[19] Ibid, h. 199.
[20] Ibid, h. 200.
[21] Ibid, h. 200-202
[22] Ibid, h., 203.
[24] Ibid
[25] Dr. Badri Yatim M.A., Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-3, h..47.
[26] Dr. Badri Yatim M.A., h. 47
[27] Philip K. Hitti, The History
of Arabs, h. 348.
[28] Al-Husairy, Sejarah Islam,
h. 209
[29] Ibid., h. 208-209
[30] Ibid, h. 210
[31] Philip K. Hitti, h. 355
[32] Al-Husairy, Sejarah Islam,
h. 211-212.
[33] A. Salabi, Op.
cit., h. 115
[35] A. Salabi, hl. 122-126
[36] A. Salabi, h. 133-141
[37]
C.A. Qadir, Filsafat Dan ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta:
Pustaka Obor, 2002), h. 37
[38]
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits : Studi Kritis
Atas Kajian Hadst Kontempore, (Bandung; Rosda, 2004), h. 39
[39]
Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim
(Bandung; Mizan, 2004), h. 82
[42] Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,
2003), h. 328
[43] A. Salabi, Op. Cit., h. 70
[44]
Dr. Badri Yatim, M.A., h.
48
[45]
Philip K..Hittih. h. 315
[46] M.Abdul Karim, Sejarah
pemikiran dan Peradaban Islam , (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, cet 1,
2007 ), h.131
[47] Harun nasution, Islam
ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid 1, ( Cet.V; Jakarta ; UI Pres,1985
), h.64
[48] Philip K. Hitti, op. cit,
h. 352
[49] Ali Murodi, Islam di kawasan
Kebudayaan Arab, ( Cet,1; Jakarta: Logos 1999 ), h.343
[50] Dr. Badri Yatim, M.A., h. 48
[51] Dr. Badri Yatim, M.A., h. 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar