PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Permasalahan umat Islam di dunia ini setiap hari makin
berkembang dan kompleks. Keberadaan nash al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai
referensi utama semua hukum hanya mencakup permasalahan-permasalahan yang
sangat global, sedangkan permasalahan manusia sangat beragam bentuknya. Para
ulama menggunakan berbagai metode ijtihad yang digunakan untuk menggali
hukum-hukum yang ada dalam literatur nash.
Metode ijtihad yang beragam itu ada yang disepakati oleh
semua ulama tentang kehujjahannya, namun ada pula yang masih diperselisihkan
para ulama dalam hal kehujjahannya. Salah satu metode ijtihad yang masih
diperselisihkan adalah al-Mashlahah al-Mursalah. Berikut ini beberapa
rumusan masalah sekaligus pembahasannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian al-Mashlahah al-Mursalah?
2.
Apa pembagian/macam-macam al-Mashlahah al-Mursalah?
3.
Apa syarat-syarat penggunaan al-Mashlahah al-Mursalah sebagai
metode ijtihad?
4.
Bagaimanakah kehujjahan al-Mashlahah al-Mursalah?
5.
Apa contoh al-Mashlahah al-Mursalah?
BAB II
PEMBAHASAN
AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH
A. PENGERTIAN
Al-Mashlahah al-Mursalah terdiri
dari dua kata yaitu mashlahah dan mursalah.
Kata mashlahah menurut
bahasa artinya “manfa`at” dan kata
mursalah berarti “lepas”. Seperti dikemukakan Abdul Wahab Kallaf berarti
sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk
merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung maupun
yang menolaknya.[1]
Berdasarkan Istiqra` (penelitian emperis) dan nash-nash
al-Qur`an maupun Hadis diketahui bahwa hukum-hukum syari`at Islam mencakup
diantaranya pertimbangan kemaslahatan manusia. Allah Swt, berfirman:
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.” (QS
al-Anbiya [21]: 107)
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا
فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Yunus [10]: 57)
Maslahat ini dapat ditangkap jelas bagi orang yang mempunyai
kemauan berfikir (intelektual), meskipun bagi sebagian orang masih
dirasakan samar atau mereka berbeda pendapat mengenai hakekat maslahat
tersebut. Perbedaan persepsi tentang maslahat itu sebenarnya bermula
dari perbedaan kemampuan intelektualitas orang-perorang sehingga tidak
diketemukan hakekat maslahat yang esensial (mendasar-pen.) yang terdapat dalam hukum Islam atau terpengaruh pada
keadaan yang bersifat temporal, atau diambil berdasarkan pandangan yang
bersifat lokalistik atau personal, sebagai contoh:
a. Sebagian orang menganggap adanya
maslahat tentang diperbolehkannya mengambil “bunga” (tambahan atas pinjaman).
Akibatnya kebolehan mengambil bunga itu dilakukan secara berlebihan (melampaui
batas) dan menjadi gejala fenomenal di tengah masyarakat. Mereka berpendapat
bahwa bunga tidak termasuk di dalam pengertian umum tentang riba yang
diharamkan berdasarkan nash al-Qur`an.
b. Sebagian orang yang terbius oleh
hawa nafsunya berani menyatakan bahwa tidak ada kemaslahatan sama sekali
mengenai ditetapkannya saksi hukuman jilid (dera) bagi pelaku zina
laki-laki dan perempuan.
c. Anggapan bahwa kemaslahatan dalam
meminum arak (khamar) itu melebihi kemudharatannya.
Pandangan-pandangan semacam itu adalah karena dipengaruhi
oleh pemikiran sekelompok orang yang berusaha melepaskan diri dari ikatan
ajaran keagamaan yang dianggap sempit, dan jadilah pemikiran mereka itu
diperbudak oleh kenyataan yang relatif.[2]
B. MACAM-MACAM AL-MASHLAHAT
Al-Mashlahat ditinjau dari kesesuaiannya dengan
kesaksian syariat Islam, dengan tujuan dari syariat Islam itu sendiri,
terbagi menjadi 3 yaitu:[3]
1. Al-Mashlahah
al-Mu’tabarah
(المصلحة
المعتبرة),
yaitu mashlahat yang
diperhitungkan oleh syara’. Maksudnya adalah mashlahat yang didukung
oleh dalil syara’ untuk memeliharanya. Dalil syara’ tersebut bisa langsung
maupun tidak langsung dalam memberikan petunjuk. Dalam hal tersebut, mashlahat
terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
a) Al-Munaasib
al-muatstsir
(المناسب
المؤثر),
yaitu
mashlahat yang ada petunjuk langsung dari Syari’, baik berupa nash,
ijma’ maupun qiyas. Contohnya seperti mashlahat yang terdapat
dalam larangan mendekati perempuan yang sedang dalam keadaan menstruasi dengan
alasan menstruasi itu adalah penyakit. Kemaslahatan dari larangan tersebut
adalah menjauhkan diri dari kerusakan atau penyakit. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam al-Qur’an.
يَسْئَلُوْنَكَ
عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
"Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh;….” (QS.
Al-Baqarah [2]: 222)
b) Al-Munaasib
al-mulaaim
(المناسب
الملائم),
yaitu
mashlahat yang tidak ada dalil syara’ secara langsung yang
menunjukkannya, baik berupa nash, ijma’ atau qiyas. Namun ada
dalil yang secara tidak langsung menunjukkan kepadanya. Contohnya seperti
diperbolehkannya jama’ shalat bagi orang yang muqim (penduduk
setempat) karena hujan. Keadaan hujan ini memang tidak pernah dijadikan alasan
untuk hukum jama’ shalat, namun syara’ melalui ijma’ menetapkan
keadaan yang sejenis dengan hujan, yaitu “dalam perjalanan” menjadi alasan
untuk bolehnya jama’ shalat.
Mashlahat yang mu`tabarah (dapat
diterima) merupakan mashlahat yang bersifat hakiki, yaitu meliputi 5 jaminan
dasar:
1)
Keyakinan Agama (al-Muhafazhah al
ad-Din),
yaitu dengan menghindarkan timbulnya
fitnah dan keselamatan dalam agama serta mengantisipasi dorongan hawa nafsu dan
perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada kerusakan secara penuh. Karenanya
Allah Swt. berfirman:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ
الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”
2)
Keselamatan
Jiwa (al-Muhafazhah
ala an-Nafs), ialah jaminan keselamatan atas hak hidup yang
terhormat dan mulia. Termasuk dalam cakupan pengertian umum dari jaminan ini
ialah: jaminan keselamat nyawa, anggota badan dan terjaminnya kehormatan
kemanusiaan. Mengenai yang terakhir ini meliputi:
§
kebebasan memilih profesi,
§
kebebasan berfikir/mengeluarkan pendapat,
§
kebebasan berbicara,
§
kebebasan memilih tempat tinggal,
§
dan lain sebagainya.
3)
Keselamatan akal
(al-Muhafazhah
alal `Aql),
ialah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang
bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat, sumber kejahatan atau bahkan
menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat preventif (mencegah-pen.) yang dilakukan syari`at Islam sesungguhnya ditujukan untuk
meningkatkan kemampuan akal fikiran dan menjaganya dari berbagai hal yang
membahayakan. Diharamkannya minuman arak dan segala yang
memabukkan/menghilangkan daya ingatan adalah dimaksudkan untuk menjamin
keselamatan akal.
4)
Keselamatan keluarga
dan keturunan (al-Muhafazhah
alan-Nasl), ialah
jaminan kesejateraan populasi umat manusia agar tetap hidup dan berkembang
sehat dan kokoh, baik pekerti serta agamanya. Hal ini dapat dilakukan melalui
penataan kehidupan rumah tangga dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang
kepada anak-anak agar memiliki kehalusan budi pekerti dan tingkat kecerdasan
yang memadai.
5)
Keselamatan harta
benda (al-Muhafazhah
alal-Mal), yaitu
dengan meningkatkan kekayaan secara proporsional melalui cara-cara halal, bukan
mendominasi kehidupan perekonomian dengan cara yang lalim dan curang.
Kelima jaminan
dasar tersebut di atas merupakan tiang penyangga kehidupan dunia agar umat
manusia dapat hidup aman dan sejahtera.[4]
2.
Al-Mashlahah al-Mulghah (المصلحة الملغاة),
yaitu mashlahat yang
diabaikan. Maksudnya adalah mashlahat yang dianggap baik oleh akal namun
tidak ada dalil syara’ yang memperhatikannya bahkan ada dalil yang menolaknya.
Contohnya pada masa kini masyarakat telah mengakui adanya emansipasi wanita
untuk menyamakan kedudukan derajatnya dengan laki-laki. Akal menganggap adanya mashlahat
dengan menyamakan hak wanita dengan hak laki-laki dalam hal warisan. Hal
inipun dianggap sejalan dengan tujuan ditetapkannya hukum waris oleh Allah.
Padahal hukum Allah telah jelas yaitu hak waris anak laki-laki itu sama dengan
dua kali lipatnya hak waris anak perempuan, dan hal ini ternyata berbeda dengan
apa yang dianggap oleh akal tersebut. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah
dalam al-Qur’an:
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِيْ
أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyariatkan pada kalian
semua (tentang bagian warisan) untuk anak-anak kalian, yaitu untuk laki-laki
dua kali bagian perempuan.”
(QS. An-Nisa [4]: 11)
3.
Al-Mashlahah al-Maskuut ‘anha (المصلحة المسكوت عنها),
yaitu mashlahat yang dianggap
baik oleh akal serta tidak didukung maupun tidak ditentang oleh dalil syara’
yang khusus, akan tetapi kemaslahan tersebut sejalan dengan dalil ‘aam
kulliy. Sehingga mashlahat tersebut tidak didasarkan pada dalil khas
tertentu tapi didasarkan pada maqaashid asy-syarii’ah (tujuan-tujuan syari`). Mashlahat ini disebut dengan
al-Mashlahah al-Mursalah.
C.
SYARAT AL-MASHLAHAH
AL-MURSALAH
Imam Malik adalah Imam Madzhab yang menggunakan dalil Mashlahah
Mursalah. Untuk menerapkan dalil ini, beliau mengajukan tiga syarat yaitu:
1.
Adanya persesuaian antara maslahat yang
dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan
syari`at (maqashid as-syari`ah). Dengan adanya persyaratan ini, berarti
maslahat tidak boleh menegaskan sumber dalil yang lain, atau bertentangan
dengan dalil yang qat`iy (pasti/
tetap/mutlak-pen).
Akan tetapi harus sesuai dengan maslahat-maslahat yang memang ingin
diwujudkan oleh Syar`i. Misalnya, jenis maslahat itu tidak asing,
meskipun tidak diperkuat dengan adanya dalil khas.
2. Maslahat itu harus masuk akal (rationable),
mempunyai sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, di mana
seandainya diajukan kepada kelompok rasionalis akan dapat diterima.
3. Penggunaan dalil maslahat ini adalah
dalam rangka menghilangkan kesulitan yang masih terjadi (rafu haraj lazim).
Dalam pengertian, seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu tidak
diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan. Allah Swt. berfirman,
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
‘…..dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan….” (QS. al-Hajj [22]: 78)
Syarat-syarat di atas adalah syarat-syarat yang
masuk akal yang dapat mencegah penggunaan sumber dalil ini (maslahat
mursalah) tercabut dari akarnya (menyimpang dari esensinya) serta mencegah
dari terjadinya nash-nash tunduk kepada hukum-hukum yang dipengaruhi hawa nafsu
dan syahwat dengan Mashlahah Mursalah.[5]
D.
KEHUJJAHAN AL-MARSHLAHAH AL-MURSALAH.
Mencegah kerusakan dan menarik kemanfaatan merupakan dasar
dari tujuan syariat Islam yang disepakati oleh para ulama. Tetapi para ulama
berbeda pendapat dalam penggunaan al-Mashlahah al-Mursalah sebagai hujjah[6].
Para ulama yang berpendapat bahwa al-Mashlahah al-Mursalah merupakan
bagian dari pencegahan kerusakan dan penarikan kemanfaatan maka menganggapnya
sebagai dalil dan bisa dijadikan hujjah. Sedangkan para ulama yang tidak
berpendapat demikian bahkan berpendapat bahwa al-Mashlahah al-Mursalah termasuk
membuat syariat berdasarkan pada nalar dan pembuatan hukum berdasarkan akal dan
hawa nafsu menganggapnya bukan termasuk dalil syara’ dan tidak bisa digunakan
sebagai hujjah.
Imam Malik beserta para pengikutnya
adalah kelompok yang secara jelas menggunakan al-Mashlahah al-Mursalah sebagaimana
telah disebutkan, mengemukakan tiga alasan sebagai berikut:
1.
Praktek para sahabat yang telah menggunakan Mashlahah Mursalah,
diantaranya:
§ Sahabat mengumpulkan al-Qur`an ke
dalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak pernah dilakukan di masa
Rasulullah Saw. Alasan yang mendorong mereka melakukan pengumpulan itu tidak
lain kecuali semata-mata karena maslahat, yaitu menjaga al-Qur`an dari kepunahan atas kehilangan
kemutawatirannya karena meninggalnya sejumlah besar hafidh dari generasi
sahabat. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah:
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya’(QS. Al-Hijr [15]: 9)
2.
Adanya Maslahat sesuai dengan muqasid
as-Syari` (tujuan-tujuan syari`), artinya dengan mengambil maslahat berarti
sama dengan merealisasikan muqasid as-Syari`. Sebaliknya mengesampingkan
maslahat berarti mengesampingkan muqasid as-Syari`. Sedang
mengesampingkan muqasid as-Syari`. Adalah batal. Oleh karena itu, adalah
wajib menggunakan dalil maslahat atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl)
yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak keluar dari ushul (sumber-sumber
pokok), bahkan terjadi sinkronisasi antara maslahat dan muqasid
as-Syari`
3.
Seandainya maslahat tidak diambil
pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat selama berada dalam konteks
maslahat-maslahat syari`iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami
kesulitan dan kesempitan.. Allah Swt.berfirman:
يُرِيدُ
اللَّـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Sedangkan pandangan para ulama dari
golongan Hanafi terhadap al-Mashlahah al-Mursalah ini terdapat penukilan yang berbeda.
Menurut al-Amidi
banyak ulama yang beranggapan bahwa ulama Hanafiyyah tidak mengamalkannya.
Namun menurut Ibnu Quddamah sebagian ulama Hanafiyyah menggunakan al-Mashlahah
al-Mursalah. Tampaknya ulama yang berpendapat bahwa sebagian ulama
Hanafiyyah menggunakan metode ini lebih tepat, karena kedekatan metode ini
dengan al-Istihsan yang populer di kalangan ulama Hanafiyyah.[7]
Ulama Syafi’i tampaknya tidak menggunakan al-Mashlahah
al-Mursalah dalam berijtihad. Pendapat ini didukung oleh al-Amidi dan Ibn
al-Hajib. Menurut Ibn al-Hajib, sesuatu yang tidak ada dalilnya itu disebut mursal.
Akan tetapi kalau gharib atau ada pembatalnya maka dalil itu ditolak
secara sepakat. Adapun bila dalilnya sesuai, maka Imam al-Ghazali memakainya,
dia menerimanya dari Asy-Syafi`i dan Malik.Namun yang lebih utama adalah
menolaknya.[8]
Ulama Hanabilah menurut pendapat yang shahih mengatakan
bahwasanya al-Mashlahah al-Mursalah tidak memiliki kekuatan hujjah dan
tidak boleh melakukan ijtihad dengan menggunakan metode ini.[9]
E.
TAMBAHAN CONTOH AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH
Beberapa tambahan
contoh al-Mashlahah al-Mursalah di antaranya:
1. Di dalam al-Qur`an dan Hadis tidak
terdapat dalil yang menyuruh dan melarang “pengumpulan al-Qur`an”. Tetapi
karena dalam hal tersebut terdapat satu makna yang mengandung kemaslahatan
menurut pertimbangan akal, maka hal yang demikian dilakukan.
2. Larangan “minum racun” tidak
terdapat dalam al-Qur`an dan Hadis dengan tegas, tetapi dalam hal ini akal
menetapkan akan makna kerusakan yang dikandungnya, Oleh karena itu
ditetapkanlah bahwa terlarang meminumnya.[10]
BAB III
PENUTUP
Simpulan,
Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
§ Al-Mashlahah
al-Mursalah adalah
maslahat atau manfa’at yang tidak disyariatkan oleh Syari’ dalam wujud
hukum dalam rangka menciptakan kemaslahatan, bersamaan dengan tidak adanya
dalil khusus yang membenarkan ataupun menyalahkannya.
§ Untuk menerapkan Mashlahah
Mursalah, Imam Malik yang merupakan Imam Madzhab yang menggunakan dalil
ini, mengajukan tiga syarat yaitu:
1. Adanya
persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri
sendiri dengan tujuan-tujuan syari`at (maqashid as-syari`ah).
2. Maslahat itu harus masuk akal (rationable),
3. Penggunaan dalil maslahat ini adalah
dalam rangka menghilangkan kesulitan yang masih terjadi (rafu haraj lazim).
§ Para ulama yang berpendapat bahwa al-Mashlahah
al-Mursalah merupakan bagian dari pencegahan kerusakan dan penarikan
kemanfaatan maka menganggapnya sebagai dalil dan bisa dijadikan hujjah.
Sedangkan para ulama yang tidak berpendapat demikian bahkan berpendapat bahwa al-Mashlahah
al-Mursalah termasuk membuat syariat berdasarkan pada nalar dan pembuatan
hukum berdasarkan akal dan hawa nafsu menganggapnya bukan termasuk dalil syara’
dan tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
DAFTAR PUSTAKA
Zahrah, Abu,
Muhamad, Prof., Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999 vol. II,
Efendi, Satria, Ushul Fiqih,
Jakarta: Kencana, 2005
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul
Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1998
Djalil, Basiq, A., S.H., M.A., Drs., H., Ilmu Ushul Fiqh (satu
& dua), Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2010.
[2]
Prof. Muhamad
Abu Zahrah, , Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), H. 450-451
[3]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), vol. II, H. 329.
[4] Prof. Muhamad
Abu Zahrah, H. 451-452
[5] Prof. Muhamad
Abu Zahrah, H. 454
[6]
Hujjah atau Hujjat
(bahasa Arab: الحجة)
adalah istilah yang banyak digunakan di dalam Al-Qur'an dan literatur Islam yang
bermakna tanda, bukti, dalil, alasan atau argumentasi.
Sehingga kata kerja "berhujjah" diartikan sebagai "memberikan
alasan-alasan". Kadangkala kata hujjah disinonimkan dengan kata burhan,
yaitu argumentasi yang valid, sehingga dihasilkan kesimpulan yang dapat
diyakini dan dipertanggungjawabkan akan kebenarannya.
[10]
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., Ilmu Ushul Fiqh (satu &
dua), (Jakarta: Kencana
Prenadamedia. 2010), H. 64