BAB
II
LANDASAN TEORI
A.
Model Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam
1.
Pengertian Model
Pembelajaran
Model
pembelajaran merupakan sebuah prosedur yang sistimatis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Selain itu, dapat juga
diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Pendekatan dapat diartikan sebagai titik
tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Istilah pendekatan
merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih
sangat umum. Dalam rumusan Roy Kellen terdapat dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu: pendekatan
yang berpusat pada guru (teacher centered approaches), dan pendekatan
yang berpusat pada siswa (student centered approaches).
Dikutip
dari buku Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual,
Sukamto dkk., menyatakan bahwa, “Model pembelajaran adalah kerangka konseptual
yang melukiskan prosedur dan sistem dalam mengorganisasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para
perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar
mengajar.”
Adapun kecendrungan pemikiran tentang belajar berupa kerangka konseptual
sebagai berikut;
a)
Proses
belajar,
b)
Transfer
belajar,
c)
Siswa
sebagai pembelajar, dan
Dalam rumusan Joyce & Well, model-model pembelajaran
berdasarkan teori belajar dikelompokkan menjadi empat model pembelajaran. Model-model
tersebut, merupakan pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang diharapkan. Joyce & Well berpendapat bahwa, “Model pembelajaran
adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum
(rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan
membimbing pembelajaran di kelas atau yang lainnya. Model pembelajaran dapat
dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang
sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya”
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah, bentuk pembelajaran yang tergambar
dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh seorang guru di dalam
kelas.
2.
Dasar Pertimbangan Pemilihan Model Pembelajaran
Sebelum menentukan model pembelajaran yang ingin digunakan dalam
kegiatan belajar mengajar di kelas, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan
seorang guru dalam menentukan pilihannya terhadap penggunaan model pembalajaran
yang akan digunakan nantinya, di antaranya adalah:
a) Pertimbangan terhadap tujuan
yang hendak ingin dicapai. Pertanyaan- pertanyaan yang dapat diajukan adalah:
1)
Apakah tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai berkenan dengan kompetensi akademik, kepribadian, sosial atau yang dulu
diistilahkan domain kognitif, afektif
dan psikomotorik?
2)
Bagaimana kompleksitas tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai?
3)
Apakah tujuan yang hendak dicapai itu
memerlukan keterampilan akademik?
b)
Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan
atau materi pembelajaran:
1)
Apakah materi pelajaran itu berupa fakta,
konsep, hukum atau teori tertentu?
2)
Apakah untuk mempelajari materi
pembelajaran itu memerlukan prasyarat atau tidak?
3)
Apakah bahan atau sumber pendukung sudah
ada dan relevan untuk materi?
c) Pertimbangan dari sudut peserta
didik atau siswa:
1)
Apakah model pembelajaran yang dipilih
sesuai dengan bakat, minat, dan kondisi peserta didik?
2)
Apakah model pembelajaran itu sesuai dengan
gaya belajar peserta didik?
3) Apakah model pembelajaran sesuai
dengan tingkat kematangan peserta didik?
d)
Pertimbangan lainnya yang bersifat
nonteknis.
1)
Apakah untuk mencapai tujuan hanya cukup dengan
satu model saja?
2)
Apakah model pembelajaran yang sudah ditetapkan dianggap satu-satunya model yang dapat digunakan?
3)
Apakah model pembelajaran itu memiliki nilai efektifitas atau efisiensi?
3. Ciri-Ciri Model
Pembelajaran
Model pembelajaran
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari
para ahli tertentu. Sebagai contoh, model penelitian kelompok disusun oleh Herbert
Thelen dan berdasarkan teori John Dewey. Model ini dirancang untuk melatih
partisipasi dalam kelompok secara demokratis.
b) Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu,
misalnya model berpikir induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikik induktif.
c) Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan
belajar mengajar di kelas, misalnya model synestic dirancang untuk memperbaiki
kreativitas dalam pelajaran mengarang.
d) Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: (1)
urutan langkah-langkah pembelajaran (syntax); (2) adanya prinsip-prinsip
reaksi; sistem sosial; dan (4) sistem pendukung. Keempat bagian tersebut
merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran.
e) Memiliki dampak sebagai akibat terapan model
pembelajaran. Dampak tersebut meliputi: (1) Dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar
yang dapat diukur; (2) Dampak pengiring, yaitu hasil belajar jangka panjang.
f)
Membuat
persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran
yang dipilihnya.
4.
Model-Model Desain Pembelajaran
Seorang guru sebelum melakukan kegiatan pembelajaran terlebih
dahulu harus membuat desain atau perencanaan pembelajaran. Dalam mengembangkan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), seorang guru harus menggunakan model
desain yang dianggap cocok untuk dikembangkan. Beberapa model
pengembangan pembelajaran antara lain:
a)
Model
Prosedur Pengembangan Sistem Instuksional (PPSI)
PPSI digunakan
sebagai pendekatan penyampaian pada pelaksanaan kurikulum 1975 untuk tingkat
SD, SMP dan SMA, dan kurikulum 1976 untuk sekolah kejuruan. PPSI merupakan
model pembelajaran yang menerapkan suatu sistem untuk mencapai tujuan secara
efektif dan efisien. Adapun langkah-langkahnya yaitu:
1)
Merumuskan Tujuan
Pembelajaran (menggunakan istilah yang oprasional, berbentuk hasil belajar,
terbentuk tingkah laku dan hanya ada satu kemampuan/tujuan)
2)
Mengembangkan Alat
Evaluasi (menentukan jenis tes yang akan digunakan, menyusun item soal untuk
masing -masing tujuan)
3)
Menentukan
Kegiatan Belajar Mengajar (merumuskan semua kemungkinan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan, menerapkan kegiatan pembelajaran yang akan ditentukan)
4)
Merencanakan Program
Kegiatan Belajar Mengajar (merumuskan materi pelajaran, menetapkan metode yang
digunakan, memilih alat, dan sumber yang digunakan dan menyusun program
kegiatan/jadwal)
5)
Pelaksanaan (mengadakan
pratest, menyampaikan materi pelajaran, mengadakan posttest dan
revisi).
b)
Model
R. Glasser
Model Glasser
adalah model yang paling sederhana. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam
mengembangkan desain pembelajaran model Glasser adalah sebagai berikut:
1)
Instructional
Goals (sistem objektif)
Pembelajaran
dilakukan dengan cara langsung melihat atau menggunakan objek sesuai dengan
materi pelajaran dan tujuan pembelajaran. Jadi, seorang siswa diharapkan
langsung bersentuhan dengan objek pelajaran. Dalam hal ini siswa lebih
ditekankan pada praktik.
2)
Entering
Behavior (sistem input)
Pelajaran yang
diberikan pada siswa dapat diperlihatkan dalam bentuk tingkah laku, misalnya
siswa terjun langsung ke lapangan.
3)
Instructional
Procedures (sistem operator)
Membuat prosedur
pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan materi pelajaran yang
akan disampaikan kepada siswa, sehingga pembelajaran sesuai dengan prosedurnya.
4)
Performance
Assessment (output monitor)
Pembelajaran
diharapkan dapat mengubah penampilan atau perilaku siswa secara tetap atau
perilaku siswa yang menetap.
c)
Model
Gerlach dan Ely
Gerlach dan Ely mendesain sebuah model pembelajaran yang cocok
digunakan untuk segala kalangan termasuk untuk pendidikan tingkat tinggi,
karena di dalamnya terdapat penentuan strategi yang cocok digunakan oleh
peserta didik dalam menerima materi yang akan disampaikan.Model ini juga
menerapkan pemakaian produk teknologi pendidikan sebagai media dalam
menyampaikan materi.
Komponen-komponen model pembelajaran Gerlach dan Ely yaitu:
1)
Merumuskan Tujuan
Pembelajaran (Spesification of Objectives)
2)
Menentukan Isi Materi
(Spesification of Content)
3)
Penilaian Kemampuan
Awal Siswa (Assessment of Entering Behaviors)
4)
Menentukan Strategi
(Detemination of Strategy)
5)
Pengelompokan Belajar
(Organization of Groups)
6)
Pembagian Waktu
(Allocation of Time)
7)
Menentukan Ruangan
(Allocation of Space)
8)
Memilih Media (Allocation
of Resources)
9)
Mengevaluasi Hasil
Belajar (Evaluation of Permance)
10)
Menganalisis Umpan
Balik (Analysis of Feedback).
d)
Model
Jerold E. Kemp
Model Kemp memberikan bimbingan
kepada para siswanya untuk berpikir tentang masalah-masalah umum dan
tujuan-tujuan pembelajaran. Model Kemp juga mengarahkan pengembang desain
instruksional untuk melihat karekteristik para siswa serta menentukan
tujuan-tujuan belajar yang tepat. Langkah berikutnya adalah, spesifikasi isi
pelajaran dan mengembangkan pretest dari tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan.
Selanjutnya, menetapkan strategi dan
langkah-langkah dalam kegiatan belajar mengajar serta sumber-sumber belajar
yang akan digunakan. Materi/isi (content) kemudian dievaluasi atas dasar
tujuan-tujuan yang telah dirumuskan, lalu melakukan identifikasi dan revisi
didasarkan atas hasil-hasil evaluasi.
Langkah-langkah pengembangan desian pembelajaran model Jerold E. Kemp terdiri
dari delapan langkah yakni;
1)
Menentukan
tujuan instruksional umun atau kompetensi dasar, yaitu tujuan umum yang ingin
dicapai dalam mengajarkan masing-masing pokok bahasan.
2)
Membuat
analisis tentang karakteristik siswa. Analisa ini diperlukan antara lain untuk
mengetahui latar belakang pendidikan dan sosial budaya siswa memungkinkan untuk
mengikuti program, serta langkah-langkah apa yang perlu diambil.
3)
Menentukan
tujuan intruksional secara spesifik, operasional, dan terukur. Dengan demikian,
siswa akan tau apa yang harus dikerjakannya, bagaimana mengerjakannya, dan apa
ukuranya bahwa ia telah berhasil. Bagi guru, rumusan itu akan berguna dalam menyusun
tes kemampuan/keberhasilan dan pemilihan materi/bahan belajar yang sesuai.
4)
Menentukan
materi pelajaran yang sesuai dengan tujuan intruksional khusus yang telah
ditentukan atau dirumuskan.
5)
Menetapkan
penjajagan atau tes awal. Ini diperlukan untuk mengetaui sejauh mana pengetauan
awal siswa dalam memenuui pesyaratan belajar yang dituntut untuk mengikuti
program pembelajaran yang akan dilaksanakan.
6)
Menentukan strategi
belajar mengajar, sumber belajar dan media pembelajaran. Kriteria umum untuk
pemilihan strategi pembelajaran yang sesuai dengan instruksional khusus/indikator
tersebut, adalah efisiensi, keefektifan, ekonomis, kepraktisan melalui suatu
analisis alternatif.
7)
Mengoordinasikan
sarana penunjang yang diperlukan meliputi biaya, fasilitas, peralatan, waktu
dan tenaga.
8)
Mengadakan
evaluasi. Evaluasi ini sangat perlu untuk mengotrol dan mengkaji keberasilan
program secara keseluruan yaitu, siswa, program pembelajaran, alat evaluasi (tes),
dan metode/strategi yang digunakan.
5.
Macam-Macam Model Pembelajaran
Joyce dan Well mengidentifikasi sedikitnya 23 macam model-model pembelajaran yang
diklasifikasikan ke dalam empat kelompok yang didasarkan pada sifat-sifatnya,
karekteristik-karekteristiknya, dan pengaruh-pengaruhnya.[15]
Berikut ini penjelasan empat kelompok tersebut secara singkat;
a)
Model Interaksi Sosial
Model ini didasari oleh teori belajar Gestalt (field-theory). Model interaksi sosial
menitik beratkan pada hubungan yang harmonis antara
individu dengan masyarakat (learning to
life together). Pokok pandangan Gestalt adalah objek atau
peristiwa tertentu akan dipandang sebagai suatu keseluruhan yang
terorganisasikan. Makna suatu objek/peristiwa adalah terletak pada keseluruhan
bentuk dan bukan bagian-bagiannya. Pembelajaran akan lebih bermakna bila materi
diberikan secara utuh bukan bagian-bagian. Sasaran
utamanya adalah untuk membantu siswa belajar bekerja sama, mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah, baik yang sifatnya akademik maupun sosial.
Tujuan-tujuan utamanya adalah:
1)
Membantu
siswa bekerja sama untuk mengidentifikasikan
dan menyelesaikan masalah.
2)
Mengembangkan
skill hubungan masyarakat
3)
Meningkatkan
kesadaran akan nilai-nilai personal dan sosial.
Model-model yang temasuk dalam kategori ini adalah;
1)
Model
Kooperatif,
2)
Model
Bermain Peran,
3)
Model
Penelitian Yuridis.
b) Model Pemrosesan Informasi
Model
ini berfokus pada kapasitas intelektual, berdasarkan pada kemampuan siswa untuk
mengobservasi, mengolah data, memahami informasi, membentuk konsep-konsep,
menerapkan simbol-simbol verbal dan non-verbal, dan memecahkan masalah. Tujuan
utamanya antara lain:
1)
Penguasaan
metode-metode inkuiri
2)
Penguasaan
konsep-konsep dan fakta-fakta akademis
3)
Pengembangan
skill-skill intelektual umum, seperti kemampuan bernalar dan berpikir lebih logis.
Model-model yang temasuk dalam kategori ini adalah;
1)
Model
berpikir induktif,
2)
Model
pencapaian konsep,
3)
Model
induktif kata bergambar,
4)
Model
penelitian ilmiah,
5)
Model
latihan penelitian,
6)
Model
menghafal,
7)
Model
sinestik, dan
8)
Model
advance organizer.
c) Model Personal (Personal Model)
Model ini bertitik tolak dari teori
humanistik, yaitu berorientasi terhadap perkembangan diri individu. Perhatian
utamanya pada emosional siswa untuk mengembangkan hubungan yang produktif
dengan lingkungannya. Menjadikan pribadi siswa mampu membentuk hubungan yang
harmonis serta mampu memproses informasi secara efektif. Model ini juga
berorientasi pada individu dan perkembangan keakuan. Tujuan-tujuan utama kategori model ini adalah:
1)
Meningkatkan harga
diri siswa
2)
Membantu siswa
memahami dirinya secara utuh
3)
Membantu siswa
mengenali emosinya dan menjadi lebih sadar bagaimana emosi tersebut bisa
berpengaruh terhadap aspek-aspek lain dalam perilaku mereka.
4)
Membantu mereka
mengembangkan tujuan-tujuan belajar.
5)
Membantu
siswa
mengembangkan rencana meningkatkan kompetensinya.
6)
Meningkatkan
kreativitas dan gaya permainan siswa
7)
Meningkatkan
keterbukaan siswa pada pengalaman-pengalaman baru.
Model-model yang temasuk dalam kategori ini adalah;
1)
Model
Pengajaran Tak Terarah, dan
2)
Model
Class Room Meeting.
d) Model Modifikasi Tingkah Laku
Model ini bertitik tolak dari teori belajar behavioristik, yaitu bertujuan
mengembangkan sistem yang efisien untuk mengurutkan tugas belajar dan membentuk
tingkah laku dengan cara memanipulasi penguatan (reinforcement). Lebih menekankan pada aspek perubahan perilaku
psikologis dan perilaku yang tidak dapat diamati. Karakteristiknya adalah dalam hal penjabaran
tugas-tugas yang harus dipelajari siswa lebih efisien dan berurutan. Terdapat
4 fase dalam model modifikasi tingkah laku, yaitu:
1)
Fase mesin pembelajaran,
2)
Penggunaan media,
3)
Pengajaran berprogram (linear dan branching),
4) Operant conditioning dan operant
rainforcement.
Implementasi dari model modifikasi tingkah laku ini
adalah meningkatkan ketelitian pengucapan pada anak, guru selalu perhatian
terhadap tingkah laku belajar siswa, modifikasi tingkah laku anak yang
kemampuan belajarnya rendah dengan memberikan reward, sebagai reinforcement
pendukung, dan penerapan prinsip pembelajaran individual (individual learning) terhadap pembelajaran
klasikal.
Beberapa model yang termasuk dalam kategori ini yaitu:
1)
Model
instruksi langsung, dan
6.
Pengertian Pendidikan Agama Islam
Istilah
pendidikan dalam bahasa Indonesia adalah,
Berasal dari kata `didik` dengan
memberikan awalan `an` mengandung arti `perbuatan`. (hal, cara dan sebagainya).
Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogos”
yang berarti pergaulan anak-anak. Dalam paedagogos adanya seorang
pelayan atau bujang pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengantar dan
menjemput anak-anak ke dan dari sekolah. Paedagogos berasal dari kata paedos
(anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin). Perkataan yang mulanya
berarti “rendah” (pelayan, bujang), sekarang dipakai untuk pekerjaan mulia. Paedagog
(pendidik atau ahli didik) ialah seorang yang tugasnya membimbing anak.
Sedangkan pekerjaan membimbing disebut paedagogis. Istilah ini kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau
bimbingan.
Beberapa pengertian pendidikan menurut para ahli yaiu:
a)
Dikutip
dari tulisan Sahlani dinyatakan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor
2 tahun 1989 tentang Sisdiknas, dinyatakan bahwa, “Pendidikan adalah usaha
sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.”
b)
Di
dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, dinyatakan bahwa, “Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.”
c)
Menurut
Ahmad D. Marimba dikutip dari buku Ramayulis yang berjudul, Ilmu Pendidikan
Islam, pendidikan adalah, “Bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.”
d)
Menurut
Milana, “Pendidikan juga dapat diartikan secara sempit maupun luas. Pendidikan
secara sempit maksudnya adalah bimbingan yang diberikan kepada anak-anak sampai
dewasa. Sedangkan pendidikan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang
menyangkut proses perkembangan dan pengembangan manusia, yaitu upaya menanamkan
nilai-nilai bagi anak didik, sehingga nilai-nilai pendidikan itu menjadi bagian
dari kepribadian anak yang pada gilirannya ia menjadi orang pandai, berbudi
pekerti, mampu hidup dan berguna bagi masyarakat.”
Adapun pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari
kata A dan Gama. A artinya tidak dan Gama artinya kacau atau kocar-kacir. Kata
agama dalam bahasa Indonesia umumnya dianggap selaras dengan kata asing,
religi atau religere yang berarti mengikat. Kemudian dimaknai
sebagai ikatan manusia dengan energi selain manusia. Dengan kata lain, agama
merupakan tuntunan hidup yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan.
Istilah lain bagi agama berasal dari bahasa Arab yaitu addin yang
berarti; hukum, perhitungan, kerajaan, kekuasaan, tuntunan,
keputusan, dan pembalasan. Kesemuanya memberikan gambaran bahwa addin
merupakan pengabdian dan penyerahan, mutlak dari seorang hamba kepada Tuhan
penciptanya dengan upacara dan tingkah laku tertentu sebagai manifestasi
ketaatan tersebut.
Menurut Muhammad Daud Ali, bahwa definisi agama adalah,
“Kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan Dia
melalui upacara penyembahan dan permohonan dan membentuk sikap hidup manusia
menurut atau berdasarkan ajaran agama itu.”
Menurut M. Natsir dikutip dari tulisan Sahlani, agama adalah merupakan suatu
kepercayaan dan cara hidup yang mengandung faktor-faktor antara lain:
a)
Percaya kepada
Tuhan sebagai sumber dari segala hukum dan nilai-nilai hidup.
b)
Percaya kepada
wahyu Tuhan yang disampaikan kepada Rasul-Nya.
c)
Percaya dengan
adanya hubungan antara Tuhan dengan manusia.
d)
Percaya dengan
hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya sehari-hari.
e)
Percaya bahwa
matinya seseorang, hidup rohnya tidak berakhir.
f)
Percaya dengan
ibadat sebagai cara mengadakan hubungan dengan Tuhan.
g)
Percaya kepada
keridhoan Tuhan sebagai tujuan hidup di dunia ini.
Selanjutnya Muhammad Daud Ali mengatakan makna dari kata Islam
adalah,
Turunan
(jadian) yang berarti ketundukan, ketaatan, kepatuhan (kepada kehendak Allah). Berasal dari kata salama artinya, patuh
atau menerima. Kata dasarnya adalah salima
yang berarti: sejahtera, tidak tercela, bercacat. Dari kata itu terbentuk
kata masdar salamat (yang dalam bahasa Indonesia menjadi selamat). Dari
kata itu juga terbentuk kata salm, silm yang berarti kedamaian,
kepatuhan, penyerahan (diri). Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa
arti yang dikandung perkataan Islam adalah kedamaian, kesejahteraan,
keselamatan, penyerahan (diri), ketaatan dan kepatuhan.
Setelah memahami pengertian Pendidikan, Agama, dan Islam, selanjutnya pengertian
pendidikan agama Islam yaitu, pengertian
pendidikan agama Islam pada umumnya mengacu kepada term al-tarbīyah,
al-ta'dīb, dan al-ta'līm. Dari
ketiganya term yang popular digunakan dalam praktik pendidikan agama Islam
ialah; term al-tarbīyah, sedangkan
term al-ta'dīb dan al-ta'līm jarang sekali digunakan.
Terlepas dari perbedaan penggunaan term yang tiga tersebut, para
ahli pendidikan agama Islam telah mencoba merumuskan pengertian pendidikan agama Islam,
di antaranya adalah:
a)
Upaya
sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami,
menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam
dari sumber utamanya kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman.
b)
Menurut Zakiah
Darajat mengutip tulisan E. Kurniyati, pendidikan agama
Islam adalah, “Usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak
didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan
ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life) yang dilaksanakan berdasarkan ajaran agama Islam. Dan menjadikan
ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan hidup
di dunia maupun di akhirat kelak.”
c)
Ahmad
Tafsir mendefinisikan pendidikan Islam sebagai, “Bimbingan yang
diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal
sesuai dengan ajaran Islam. Bila disingkat, pendidikan Islam ialah, bimbingan
terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin.”
Dari beberapa pendapat tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa, pendidikan
agama Islam adalah usaha untuk menjadi Muslim
yang beriman dan bertakwa mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta
perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran agama Islam ke
arah pertumbuhan dan perkembangannya yang lebih baik.
7.
Dasar Pendidikan Agama Islam
Dasar pendidikan Islam dapat dibagi kepada tiga kategori yaitu: a) Dasar Pokok, b) Dasar Tambahan, dan c) Dasar
Oprasional.
Berikut ini penjelasannya;
a)
Dasar
Pokok
1) Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah kitab suci agama
Islam dan umat Islam percaya bahwa al-Qur`an merupakan puncak dan penutup wahyu
Allah yang diperuntukkan bagi manusia yang disampaikan kepada nabi Muhammad
SAW. dengan perantara malaikat Jibril AS.
Sebagian besar ulama mendefinisikan
al-Qur`an sebagai:
كَلَامُ اللهِ تَعَا لَى اَلْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ
صَلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّفْظِ الْعَرَبِيِّ اَلْمَنْقُوْلُ اِلَيْنَا
بِالتَّوَاتُرِاَلْمَكْتُوبُ بِالْمَصَاحِفِ اَلْمُتَعَبَّدُ
بِتِلَاوَتِهاَلْمَبْدُوْءُ بِالْفَاتِحَةِ وَالْمَخْتُومُ بِسُورَةِ النَّا سِ
Kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dalam bahasa Arab yang
dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir terhimpun dalam sebuah
mushaf, diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas.
2)
As-Sunnah
Setelah
al-Qur’an, pendidikan agama Islam menjadikan as-sunnah Rasulullah SAW. sebagai dasar pokok kedua dan sumber
kurikulumnya. Arti as-sunnah dari segi bahasa adalah, jalan yang biasa
dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan. Arti tersebut bisa ditemukan
dalam sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:
مَن
سَنَّ فِي الْاِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهُ وَ اَجْرُ مَن عَمِلَ بِهَا مِن بَعْدِهِ
Barang
siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima pahalanya
dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya. (HR. Muslim) (Al-Khatib: 17).
As-Sunnah
sebagai dasar atau sumber pendidikan agama Islam dapat dipahami dari analisa
sebagai berikut:
a.
Sabda
Rasulullah SAW.: “Tuhan telah mengutus aku sebagai guru (ba`atsani rabbi
mu`alliman)”
b.
Nabi
Muhammad SAW. tidak hanya memiliki kompetensi professional (kemampuan yang
mendalam dan luas dalam ilmu agama dan ilmu lainnya) seperti psikologi, sosial,
politik, hukum dan budaya, melainkan
juga memiliki kompetensi kepribadian berupa sifat terpuji, kompetensi
paedogogik (teaching skill) kemampuan dalam mendidik yang prima serta
kompetensi sosial berupa interaksi dan komunikasi dengan segala unsur
masyarakat. Nabi Muhammad SAW. adalah seorang pendidik yang profesional.
c.
Sewaktu berada di Mekah, Nabi Muhammad SAW. pernah
menyelenggarakan pendidikan di Dar al-Arqam dan di tempat-tempat lain
secara tertutup. Di Madinah pernah menyelenggarakan pendidikan di sebuah tempat
khusus pada bagian mesjid yang dikenal dengan nama Saffah. Usaha-usaha
tersebut menggambarkan bahwa beliau memiliki perhatian yang besar terhadap
penyelenggaraan pendidikan.
d.
Sejarah
mencatat, bahwa Nabi Muhammad SAW. sebagai Nabi
yang paling berhasil mengemban risalah Ilahi, yakni mengubah manusia dari
jahiliyah menjadi beradab,
dari tersesat menjadi lurus, dari kegelapan menuju terang menderang, dari kehancuran
moral menjadi berakhlak mulia, dan dari musyrik menjadi bertauhid. Keberhasilan
ini terkait erat dengan keberhasilan beliau dalam bidang pendidikan.
e.
Di
dalam teks atau matan hadis Nabi Muhammad
SAW. dapat dijumpai isyarat yang berkaitan dengan pendidikan dan pembelajaran.
b)
Dasar
Tambahan
1) Perkataan, Perbuatan dan Sikap para Sahabat
Pada masa
Khulafa’ al-Rasyidin, sumber pendidikan dalam Islam sudah mengalami
perkembangan. Selain al-Qur’an dan Sunnah juga perkataan, sikap, dan perbuatan
para sahabat. Perkataan mereka dapat dipegangi karena Allah sendiri dalam
al-Qur’an memberi pernyataan dalam surat al-Taubah [9] ayat 100;
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ
اللَّـهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْر تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ
ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُِ
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai- sungai di dalamnya selama-lamanya; mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
2)
Ijtihad.
Adalah penggunaan akal pikiran oleh fuqaha`
Islam untuk menetapkan suatu hukum yang belum ada ketetapannya dalam al-Qur`an
dan Hadist dengan syarat-syarat tertentu, Ijtihad dapat dilakukan dengan
Ijma`, qiyas, istihsan, mashalih-murshalah dan lain-lain. Penggunaan Ijtihad dapat dilaksanakan dalam seluruh aspek
ajaran Islam termasuk aspek pendidikan.
3) Mashlahah Murshalah (Kemaslahatan Umat).
Yaitu
menetapkan peraturan atau ketetapan undang-undang yang tidak disebutkan dalam
al-Qur`an dan as-Sunnah atas pertimbangan penarikan kebaikan dan menghindarkan
kerusakan. Masyarakat yang berada di sekitar lembaga pendidikan Islam
berpengaruh terhadap berlanggsungnya pendidikan, maka dalam setiap pengambilan
kebijakan hendaknya mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat supaya jangan
terjadi hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran.
4) Urf` (Nilai-nilai dan Adat Istiadat Masyarakat)
Adalah suatu
perbuatan dan perkataan yang menjadikan jiwa merasa tenang mengerjakan suatu
perbuatan, karena sejalan dengan akal sehat yang diterima oleh tabiat yang
sejahtera. Namun tidak semua tradisi dapat dijadikan dasar pendidikan Islam
melainkan setelah melalui seleksi terlebih dahulu. Masud Zahdi mengemukakan
bahwa, Urf` yang dijadikan dasar Pendidikan Islam itu haruslah:
a.
Tidak
bertentang dengan ketentuan nash baik al-Qur`an maupun Sunnah.
b.
Tradisi
yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera,
serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan dan kemudaratan.
c)
Dasar
Operasional
Adalah dasar
yang terbentuk sebagai aktualisasi dan dasar ideal. Hasan Langgulung menyatakan
bahwa, dasar operasional pendidikan agama Islam ada enam macam yaitu:
1)
Dasar Historis,
adalah dasar yang memberikan andil kepada pendidikan dari hasil pengalaman masa
lalu berupa peraturan dan budaya masyarakat.
2)
Dasar Sosial, yaitu
dasar yang memberikan kerangka budaya di mana pendidikan itu berkembang,
seperti memindahkan, memilih dan mengembangkan kebudayaan. Dimana pendidikan
bertolak atau bergerak dari kerangka kebudayaan yang ada baik memindahkan, memilih
dan mengembangkan kebudayaan itu sendiri.
3)
Dasar Ekonomi, adalah
dasar yang memberi perspektif terhadap potensi manusia berupa materi dan
persiapan yang mengatur sumber-sumbernya yang bertanggungjawab terhadap anggaran
pembelajaannya.
4)
Dasar Politik, yaitu
dasar yang memberikan bingkai dan ideologi dasar yang digunakan sebagai tempat
bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan rencana yang telah
dibuat.
Dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah direncanakan harus bertitik tolak
dari ideologi yang dianut, karena hal ini merupakan dasar operasional
pendidikan.
5)
Dasar
Psikologi, yaitu dasar yang memberi informasi tentang watak pelajar-pelajar,
guru-guru, cara-cara terbaik dalam praktek, pencapaian dan penilaian dan
pengukuran serta bimbingan
6)
Dasar
Fisikologi, yaitu dasar yang memberikan kemampuan memilih yang terbaik, memberi
arah suatu sistem, mengotrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar
operasional lainnya.
8.
Tujuan Pendidikan Agama Islam
Di dalam Kurikulum 2013 dinyatakan bahwa, penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang dinyatakan
dalam peraturan pemerintah nomor 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan, bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang;
a)
Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur;
b)
Berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;
c)
Sehat, mandiri, dan percaya diri; dan
d) Toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.
Pengertian tujuan itu sendiri
menurut Ramayulis ialah, “Sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.”
Sedangkan menurut H.M. Arifin, “Tujuan itu
bisa jadi menunjukkan kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak
tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu”. Meskipun banyak pendapat para ahli mengenai pengertian tujuan tetapi pada
umumnya pengertian itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan
untuk suatu maksud tertentu.
Dari pengertian pendidikan agama Islam sebenarnya
sudah dapat dipahami tujuan pendidikan agama Islam itu sendiri yaitu, menjadikan
manusia sebagai Abdullah dan Khalifatullah sejati. Meskipun begitu, penulis dalam hal ini akan berusaha menambah untuk
memperkaya khazanah keilmuan dengan mengemukakan beberapa pendapat ahli dalam
bidang pendidikan agama Islam.
Ramayulis menerangkan bahwa, “Pendidikan agama Islam bertujuan meningkatkan keimanan,
pemahaman, penghayatan dan pengalaman peserta didik tentang agama Islam,
sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
serta berakhlak mulia dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.”
Zakiyah Daradjat dalam bukunya Ilmu
Pendidikan Islam mengatakan bahwa,
Sesuatu yang diharapkan terwujud setelah orang
mengalami pendidikan agama Islam secara
keseluruhan yaitu, keperibadian seseorang yang membuatnya menjadi
insan kamil dengan pola takwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan
jasmani, dapat hidup dan berkembang secara
wajar dan normal karena takwanya kepada Allah
SWT. Ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan
manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar
mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah dan
dengan manusia sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari
alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia dan di akhirat nanti.
Selanjutnya Zakiyah Daradjat memaparkan ada beberapa
tujuan pendidikan agama Islam yaitu:
a)Tujuan umum adalah, tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan,
baik dengan pengajaran atau dengan cara lain menuju menjadi insan kamil.
a)Tujuan
akhir adalah, menjadi insan kamil yang mati dan akan menghadap Tuhannya.
b) Tujuan sementara adalah,
tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu
yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.
c) Tujuan opersional adalah, tujuan praktis yang akan
dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.
9.
Aspek-Aspek Tujuan Pendidikan Agama Islam
Aspek-aspek tujuan pendidikan Agama Islam meliputi empat hal,
yaitu;
a)
Tujuan Pendidikan Jasmani
(al-Ahdaf al-Jismiyyah),
Tujuan pendidikan perlu dikaitkan dengan tugas manusia selaku khalifah di
muka bumi yang harus
memiliki kemampuan jasmani yang bagus di samping rohani yang teguh
b)
Tujuan
Pendidikan Rohani (al-Ahdaf al-Ruhaniyyah),
Tujuan ini
dikaitkan dengan kemampuan manusia menerima agama Islam yang inti ajarannya adalah
keimanan dan ketaatan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dengan tunduk dan patuh
kepada nilai-nilai moralitas yang diajarkan-Nya dengan mengikuti keteladanan
Rasulullah SAW. Tujuan pendidikan rohani diarahkan kepada pembentukan akhlak
mulia, yang ini oleh para pendidik modern Barat dikategorikan sebagai tujuan
religius, yang oleh kebanyakan pemikir Islam tidak disetujui istilah itu,
karena akan memberikan kesan akan adanya tujuan pendidikan yang non religius
dalam Islam.
c)
Tujuan
Pendidikan Akal (al-Ahdaf al-Aqliyah),
Aspek tujuan
ini betumpu pada pengembangan intelegensia (kecerdasan) yang berada dalam otak.
Sehingga mampu mamahami dan menganalisis fenomena-fenomena ciptaan Allah di
jagad raya ini. Seluruh alam ini bagaikan sebuah bola besar yang harus
dijadikan objek pengamatan dan renungan pikiran manusia sehingga daripadanya
dia mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin berkembang dan makin
mendalam. Firman Allah yang mendorong pendidikan akal banyak terdapat di dalam al-Qur`an
tak kurang dari 300 kali.
d)
Tujuan
Pendidikan Sosial (al-Ahdaf al-Ijtima`iyah),
Adalah pembentukan
kepribadian yang utuh. Dimana identitas individu di sini tercermin sebagai
manusia yang hidup pada masyarakat yang plural (majemuk). Tujuan pendidikan
sosial ini penting artinya karena manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi
seyokyanya mempunyai kepribadian yang utama dan seimbang, yang karenanya tidak
mungkin manusia menjauhi diri dari kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan rumusan di atas, dapat dipahami
bahwa pendidikan agama Islam merupakan proses membimbing dan membina
terciptanya pribadi fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada
terciptanya pribadi peserta didik sebagai muslim
paripurna (al-insān al-kamīl). Dan pada akhirnya tujuan pendidikan agama Islam
itu tidak terlepas dari tujuan nasional yang menciptakan manusia Indonesia
seutuhnya, seimbang kehidupan duniawi dan ukhrawi.
10.
Materi Pendidikan Agama Islam
Materi pendidikan agama Islam secara keseluruhannya dalam lingkup Aqidah-Akhlak, Al-Qur`an-Hadist, Fiqih dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Keempat materi
tersebut sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup pendidikan agama Islam
mencakup perwujudan keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia
dengan Allah SWT., diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun
lingkungannya (hablun minallah wa hablun minannas). Adapun dalam skripsi ini penulis mencoba membatasi bahasan dengan,
materi pendidikan akidah-akhlak. Berikut
ini penjelasannya:
a) Pendidikan
Akidah (Keimanan) menurut para ahli yaitu:
1)
Zuhairini,
dkk.,
Akidah secara teknis berarti iman, kepercayaan
dan keyakinan. Dan dimaksud dengan akidah adalah kepercayaan yang menghujam
atau tersimpul dalam hati. Tiap-tiap pribadi pasti memiliki kepercayaan,
meskipun bentuk dan pengungkapannya berbeda-beda dan pada
dasarnya manusia memang membutuhkan kepercayaan. Kepercayaan itu akan membentuk
sikap dan pandangan hidup seseorang.”[60]
2) Salih Bin Fauzan Bin Abdullah Al-Fauzan,
“Akidah
secara syara’ yaitu, iman kepada Allah SWT., para Malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan kepada hari akhir serta kepada qadar yang
baik mupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.[61]
3) Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari,
Akidah
Islamiyyah adalah akidah tiga generasi pertama yang dimuliakan yaitu generasi
sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka dengan baik. Menurut
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sinonimnya akidah Islamiyyah mempunyai nama lain, di
antaranya, at-Tauhid, as-Sunnah, Ushuluddiin,
al-Fiqbul Akbar, Asy-Syari’iah dan al-Iman. Nama-nama itulah yang
terkenal menurut Ahli Sunnah dalam ilmu akidah.”[62]
4) Sedangkan menurut Ahmadi,
Pengembangan akidah benar-benar
berfungsi sebagai kekuatan pendorong ke arah kebahagiaan hidup yang dihayati
sebagai suatu nikmat Allah SWT.. Iman bagi seorang muslim merupakan nikmat
paling besar yang dianugerahkan Allah SWT. kepada manusia. Iman adalah dasar
dari nilai dan moral manusia yang diperkokoh perkembangannya melalui
pendidikan.[63]
Pendidikan akidah merupakan standar atau
ukuran tingkat keimanan yang diajarkan oleh orang tua kepada anak sejak dalam
kandungan, agar anak dapat mengenal Tuhannya dan bagaimana ia bersikap pada
Tuhannya dan agar ia tahu apa yang mesti diperbuat di dunia ini dan diharapkan
ia kelak akan tumbuh dewasa menjadi insan yang beriman kepada Allah SWT,
melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.
b) Akhlak
Para tokoh pendidikan agama Islam memandang materi akhlak merupakan
suatu hal yang sangat perlu ditekankan dalam diri anak ataupun peserta didik. Di antaranya yaitu:
1)
Dikutip
dari buku Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam;
a.
Marimba
menghendaki tujuan pendidikan Islam adalah, “Terbentuknya orang berkepribadian Muslim”.
b.
Al-Abrasyi
menghendaki tujuan akhir dari pendidikan Islam itu adalah, “Manusia yang
berahklak mulia”.
c.
Munir
Mursyi menyatakan bahwa, “Tujuan akhir pendidikan menurut Islam adalah manusia
sempurna”.
2)
Dikutip
dari buku Ahmadi, Ideologi
Pendidikan Islam, Omar Muhammad Attoumy Asy-Syaebani, mengatakan bahwa,
“Tujuan pendidikan Islam itu memiliki empat ciri pokok, dan beliau
menempatkan sifat yang bercorak agama dan akhlak bagian yang pertama.”
Dari beberapa pendapat para tokoh pendidikan
agama Islam
di atas
menunjukkan bahwa pembelajaran akhlak adalah suatu tujuan daripada pendidikan
agama Islam
yang sebenarnya. Lebih jelas mengenai akhlak yaitu:
1)
Pengertian Akhlak
Dikutip dari buku Asrori Mukhtarom
yang berjudul, Akhlak Tasawuf bahwa, akhlak secara bahasa adalah
bentuk jamak
dari kata khuluq yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat. Sedangkan secara istilah, menurut Imam Ghozali dalam kitab Ihya` Ulum ad Din, “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”
Di kutip dari buku Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur`an,
Muhammad Abdullah Darraz mendefinisikan akhlak sebagai, “Suatu kekuatan dari
dalam diri yang berkombinasi antara kecenderungan pada sisi yang baik (akhlaq al-karimah), dan pada
sisi yang buruk (akhlaq al-madzmumah).”
Akhlak yang baik/terpuji (mahmudah) dan akhlak yang buruk/tercela (mazmumah),
merupakan dua jenis tingkah laku yang berlawanan dan terpancar dari dua
sistem nilai yang berbeda. Kedua-duanya
memberi kesan secara langsung kepada kualitas individu dan masyarakat. Individu
dan masyarakat yang dikuasai dan dianggotai oleh nilai-nilai dan akhlak yang
baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitu pula
sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan
tingkah laku yang buruk, maka akan porak
poranda dan kacau balaulah pribadi individu dan kondisi masyarakat tersebut.
Menurut
Muhammad bahwa;
Akhlak
sifatnya universal dan abadi. Akhlak dalam Islam merupakan refleksi internal
dari dalam jiwa manusia yang dieksternalisasikan secara kongrit dalam bentuk perilaku
dan tindakan nyata. Akhlak seseorang terkait erat dengan perspektif
keimanannya, tentang eksistensi dirinya sebagai khalifah Allah. Akhlak
yang lahir dari kualitas internalisasi nilai-nilai iman sudah barang tentu akan
memancarkan kualitas yang lebih baik. Demikian pula sebaliknya, akhlak yang
buruk merefleksikan kadar keimanan seseorangyang masih labil.
Rasulullah
SAW. bersabda:
إِنَّمَا
بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ
Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.[69]
Jadi, akhlak
menempati kedudukan yang istimewa dan sangat penting, karena akhlak merupakan
salah satu ajaran pokok agama Islam. Aqidah, syari`ah, dan akhlak merupakan
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Aqidah sebagai landasan hidup,
syari`ah sebagai jalan hidup, dan akhlak sebagai sikap hidup seorang muslim
sejati.
2)
Sumber-Sumber Akhlak
Sumber
akhlak adalah al-Qur`an dan as-Sunnah. Maksudnya segala sesuatu perbuatan itu dinilai
baik buruknya bersumber dari al-Qur`an dan
as-Sunnah. Salah satu contohnya adalah, mengapa sifat sabar, syukur, dan pemaaf dinilai baik? Karena
al-Qur`an menilai ketiga sifat tersebut adalah baik. Begitupun sebaliknya,
mengapa pemarah dan kufur nikmat dinilai buruk? Karena
al-Qur`an menyatakan bahwa kedua perbuatan tersebut tergolong
sifat buruk. Kaitannya sumber akhlak Allah SWT. berfirman dalam al-Qur`an surat al-Ahzab [33] ayat 21,
لَّقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّـهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو
اللَّـهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّـهَ
كَثِيرًا
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah
3)
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak
Menurut Abidin
Nata, dikutip dari buku Asrori, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada
khususnya, ada tiga aliran yang sudah sangat populer. Pertama nativisme, kedua
empirisme dan ketiga konvergensi. Berikut ini
penjelasan
dari ketiga aliran tersebut:
a.
Aliran Nativisme
Menurut
aliran nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri
seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa
kecenderungan, bakat akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki
pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik maka dengan sendirinya orang
tersebut menjadi baik.
b.
Aliran
Empirisme
Menurut aliran empirisme bahwa faktor yang sangat berpengaruh
terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan
sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan dan
pendidikan yang diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian
juga sebaliknya. Aliran ini tampak begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh
dunia pendidikan dan pengajaran.
c.
Aliran Konvergensi
Aliran ini berpendapat bahwa
pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak,
dan faktor eksternal, yaitu
pendidikan atau pembentukan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau
melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fitrah atau kecenderungan ke arah
yang baik yang ada di dalam diri manusia dibina secara intensif melalui
berbagai metode.
4)
Ruang
Lingkup Akhlak
Ruang lingkup
akhlak mengupakan konsep hidup yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Allah, manusia dengan alam sekitar dan manusia dengan manusia itu sendiri. Muhammad
Abdullah Darraz di dalam buku Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur`an,
menyatakan bahwa konsep ruang lingkup akhlak adalah sangat luas karena mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari hubungan manusia kepada Allah
maupun hubungan manusia kepada sesamanya. Darraz membagi ruang lingkup akhlak menjadi lima bagian yaitu:
a.
Akhlak Pribadi (akhlaq
al-fardiyah) yaitu, yang mencakup akhlak yang diperintahkan, dilarang
diperbolehkan dan akhlak yang dilakukan dalam keadaan darurat.
b.
Akhlak
Berkeluarga (akhlaq al-usariyah) yaitu, yang mencakup antara kewajiban
orang tua dan anak, kewajiban antara suami istri dan kewajiban terhadap
keluarga dan kerabat.
c.
Akhlak Bermasyarakat
(akhlaq al-ijtima`iyah) yaitu, yang mencakup akhlak yang dilarang
dan dibolehkan dalam bermuamalah serta kaidah-kaidah adab.
d.
Akhlak
Bernegara (akhlaq al-daulah) yaitu, yang mencakup akhlak di
antara pemimpin dan rakyatnya serta akhlak terhadap negara lain.
e.
Akhlak Beragama
(akhlaq ad-diniyah) yaitu, yang mencakup tentang kewajiban
terhadap Allah SWT.
Dari kelima
ruang lingkup di atas, Yunahar Ilyas membaginya lagi menjadi enam, yaitu:
a.
Akhlak
kepada Allah,
b.
Akhlak
kepada Rasulullah Alaihi Wa Sallam,
c.
Akhlak
pribadi,
d.
Akhlak
dalam keluarga,
e.
Akhlak
bermasyarakat, dan
Sedangkan Ulil Amri Syafri membagi
ruang lingkup akhlak menjadi tiga bagian besar yaitu;
a.
Akhlak
kepada Allah dan Rasulullah,
b.
Akhlak
pribadi dan keluarga yang mencakup batasan sikap dan profil Muslim yang mulia.
c.
Akhlak
bermasyarakat dan muamalah yang di dalamnya mencakup hubungan antar
manusia.
11.
Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Dalam Al-Qur`an.
Beberapa
model pendidikan agama Islam untuk pembinaan akhlak terdapat di dalam al-Qur`an
yaitu;
a)
Model
Perintah (Imperatif)
Perintah (al-amr) diartikan
sebagai permintaan untuk menggerakkan suatu pekerjaan dan subjek yang memberi
perintah pada kajian syariah adalah Dzat Yang Maha Agung, sedangkan objeknya
adalah manusia sebagai hamba-Nya. Dalam ajaran Islam, kajian dasar perintah itu
datangnya dari Allah SWT. sebagai sumber syariah. Dalam kaidah fikih pada
asalnya arti perintah itu adalah wajib.[76]
Beberapa bentuk kalimat yang
bermakna kalimat untuk mengamalkan suatu pekerjaan juga terlihat pada ayat-ayat
al-Qur`an, yaitu tidak semua perintah menggunakan fi`il amr (kata kerja
perintah) tapi juga ada dengan bentukan lain yang bermakna perintah seperti kalimat
berita (khabar) bernada perintah. Berikut ini contoh-contoh model
perintah yang terdapat dalam al-Qur`an, antara lain;
1)
Perintah
untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong (QS. al-Baqarah [2]: 153)
2)
Perintah
untuk memakan rezeki yang baik serta bersyukur (QS. al-Baqarah
[2]: 172)
3)
Perintah
untuk melaksanakan puasa (QS. al-Baqarah
[2]: 183)
4)
Perintah
untuk memeluk Islam secara kaffah (QS. al-Baqarah [2]: 208)
Menurut Amri
Syafri bahwa;
Model perintah
ini sangat baik untuk digunakan pada pembinaan atau pendidikan akhlak untuk
membentuk karakter muslim yang taat. Dalam pendidikan akhlak manusia, model ini
bisa diterapkan sehingga kebaikan yang diinginkan terbentuk pada diri seseorang
tidak melalui pengalaman, tapi juga perintah. Sebagai contoh, di saat seseorang
ingin mengajarkan sebuah akhlak keperdulian, atau solidaritas sesama manusia,
maka cara yang efektif di antaranya adalah melatih seseorang itu untuk perduli
kepada orang terdekatnya, tentunya
dengan nada perintah, seperti perintah yang bisa diucapkan; cobalah kamu perhatikan
kesusahan sahabatmu, cobalah beri bantuan atas kesulitannya, carikanlah jalan
keluar dari masalahnya, dan seterusnya. Lalu kebiasaan ini berkembang pada
lingkungan yang lebih luas, baik luas dalam artian teritorial ataupun luas
dalam artian problem yang dihadapi manusia, hal itu terus terjadi secara
kontinu.
b)
Model
Larangan
Model larangan banyak ditemui dalam teks dan nash-nash
keagamaan keagamaan karena ajaran yang berdimensikan larangan merupakan
batasan-batasan pada perkara yang mesti dihindari. Dimensi larangan ini juga sekaligus
menjadi tolak ukur keburukan dan kejahatan. Sesuatu yang buruk dan jahat pasti
telah ditetapkan pelarangannya dalam Islam.[78]
Dalam al-Qur`an, model larangan banyak dijumpai di beberapa surat,
khusunya pada ayat-ayat yang diawali kalimat; “Ya ayyua al-ladzina amanu”
yaitu ayat –ayat yang dikhususkan untuk orang-orang yang beriman. Ayat-ayat
tersebut di antaranya;
1)
Larangan
mengikuti langkah-langkah setan (QS. al-Baqarah [2]: 153)
2)
Larangan
merusak amalan infak dengan riya` dan sikap mencela kepada fakir miskin (QS. al-Baqarah [2]: 264)
3)
Larangan
melakukan riba (QS. Ali-Imran [3]: 130)
4)
Larangan
beribadah dalam kondisi mabuk (QS. an-Nisaa [4]: 43)
Model larangan adalah bentuk pembatasan, artinya dunia pendidikan
Islam harus memiliki pembatasan-pembatasan yang jelas dan tidak memberikan
kebebasan mutlak pada pelaku pendidikan, baik kepada peserta didiknya maupun pada
pada tatanan kurikulumnya.
Pelarangan-pelarangan dalam proses pendidikan bukanlah sebuah aib, tetapi
metode ini penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Implikasi metode
larangan adalah berupa pembatasan-pembatasan dalam proses pendidikan, dan
pembatasan itu dapat dilakukan dengan kalimat melarang atau mencegah yang
diintegrasikan pada kurikulum.
c)
Model
Targhib (Motivasi)
Pada dasarmya model targhib adalah janji-janji Allah yang
pasti akan terealisasi. Wujud janji tersebut ada yang dalam lingkup kehidupan
dunia jangka pendek atau kebutuhan jangka panjang yaitu kehidupan akhirat
nanti. Targhib menjadi model pendidikan yang memberi efek motivasi untuk
beramal dan memercayai sesuatu yang dijanjikan.
Contoh-contoh kalimat targhib dalam al-Qur`an di antaranya;
1)
Sesungguhnya
Allah bersama orang-orang yang sabar (QS. al-Baqarah [2]: 104)
2)
Agar
kamu bertakwa (QS. al-Baqarah [2]: 183)
3)
Supaya
kamu mendapat keberuntungan (QS. Ali-Imran [3]: 130)
4)
Supaya
kamu beruntung (QS. Ali- Imran [3]: 200)
5)
Padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (QS. an-Nisaa [4]: 183)
Pendidikan yang menggunakan model targhib adalah pendidikan
yang melihat manusia tidak saja pada aspek akal dan jasmani, tapi juga melihat
aspek hati atau jiwa. Keberhasilan suatu pendidikan diukur pada orientasi
pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Jadi harus dipastikan pendidikan
pada aspek akal, jasmani serta jiwa atau hati, ketiganya mesti seimbang, tidak
pincang. Model targhib ini juga mengakui eksistensi jiwa dan perasaan di
mana hal ini amat penting dalam dunia pendidikan. Model ini mencoba untuk
memberikan porsi pendidikan kepada jiwa dan hati tersebut dengan
kalimat-kalimat yang membangkitkan manusia untuk bergerak. Tidak saja aspek
jiwa atau hati yang digugah, akalpun diberi ruang untuk berpikir, yaitu
membedakan antara suatu yang positif dan yang membahayakan.
d)
Model
Tarhib (Menakut-nakuti)
Sama halnya dengan targhib, model tarhib yang
dimaksud pada penelitian ini merupakan tarhib yang bersumber dari Allah
SWT. Semua tarhib yang
disampaikan Allah SWT. kepada manusia bersifat ancaman yang disampaikan dalam proses
mendidik manusia.[83]
Namun tarhib bukanlah hukuman itu sendiri, model tarhib berbeda
dengan hukuman. tarhib adalah proses atau metode dalam menyampaikan hukuman,
dan tarhib itu sendiri ada sebelum suatu peristiwa terjadi. Sedangkan hukuman
adalah wujud dari ancaman yang ada setelah peristiwa itu terjadi. Contoh ketika
anak didik dilarang menggunakan narkoba, kemudian diiringi dengan penjelasan
secara detail suatu ancaman yang dapat menakut-nakuti agar peserta didik tidak
menggunakan narkoba. Maka upaya tersebut adalah model tarhib sedangkan
detail wujud dari sesuatu yang berefek menakut-nakuti tadi adalah hukuman,
misalnya dihukum dengan dikeluarkan dari sekolah.
Kalimat-kalimat tarhib yang biasa diungkapkan dalam
al-Qur`an antara lain yaitu;
1)
Orang
yang melampau batas akan mendapat siksa yang amat pedih (QS. al-Baqarah [2]: 178)
2)
Sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya (QS. al-Ma`idah
[5]: 2)
3)
Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (QS. al-Ma`idah [5]: 51)
Model tarhib yang digunakan dalam melakukan pendidikan akhlak
dapat melahirkan rasa takut yang sering disebut dengan istilah al-khauf,
yaitu takut kepada Allah SWT. rasa takut model ini penting bagi setiap pribadi
mukmin karena dengan rasa takut tersebut seorang mukmin berupaya menahan
dirinya untuk tidak melakukan pelanggaran dan maksiat kepada Allah SWT. Dengan
kata lain, ia mampu membenahi akhlak dan sikap perilakunya.
e)
Model Kisah
Model kisah
merupakan sarana yang mudah untuk mendidik manusia. Model ini sangat banyak
dijumpai dalam al-Qur`an. Bahkan kisah-kisah dalam al-Qur`an sudah menjadi
kisah-kisah yang popular dalam dunia pendidikan. al-Qur`an mengiringi berbagai aspek
pendidikan yang dibutuhkan manusia. Di antaranya adalah aspek
akhlak.
Ada target yang ingin dicapai dalam model kisah pada al-Qur`an,
yaitu;
1)
Kisah-kisah ini
dapat membuktikan ke-ummi-an Nabi Muhammad SAW., karena kisah-kisah yang
diceritakan beliau memperlihatkan datang dari Allah SWT.
2)
Bahwa seluruh
agama yang dibawa para Nabi berasal dari Allah SWT., satu risalah yang
diturunkan mulai dari Nabi Adam AS. hingga Nabi Muhammad SAW.
3)
Melalui model
kisah-kisah, maka akan lahir keyakinan, bahwa Allah SWT. akan selalu menolong
Rasul-Nya dan kaum mukmin dari segala kesulitan dan penderitaan. Dengan kata
lain, Allah SWT. tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman jatuh dalam
kesusahan dan keterpurukan.
4)
Dengan model
kisah dapat dilihat bahwa musuh abadi manusia adalah iblis atau setan yang
selalu ingin menjerumuskan manusia. Sekaligus model kisah dapat memupuk iman.
Abdurraman an-Nalawy berpendapat bahwa, “Metode kisah yang terdapat
dalam al-Qur`an mempunyai sisi keistimewaan dalam proses pendidikan dan
pembinaan manusia. Menurutnya, metode kisah dalam al-Qur`an berefek positif pada
perubahan sikap dan perbaikan niat atau motivasi seseorang.”
Menurut Muhammad Abdul Qadir Ahmad:
Model cerita-cerita
al-Qur’an itu mempunyai tujuan pendidikan, yaitu membentuk individu-individu
atau masyarakat manusia dengan nilai keislaman. Ia mendidik manusia untuk
semata-mata beriman kepada Allah SWT dan rela terhadap qadha dan qadar-Nya.
Ia juga menyediakan bagi orang-orang yang membaca dan mendengarnya dengan
sejumlah pengetahuan dan hakikat-hakikat yang mengandung pelajaran dalam
pelajaran hidup mereka dan dalam pergaulan dengan orang lain. Dengan demikian
setiap pribadi akan menjalankan perannya secara baik dalam
masyarakat yang baik.
Model kisah sangat penting digunakan
dalam pelaksanaan pendidikan, sebab dapat mempengaruhi serta menarik pendengar
atau penghayatan untuk bersikap, berpendirian, bahkan berprilaku sebagaimana yang
dikehendaki dalam kisah. Dengan demikian kisah tersebut dapat membentuk keimanan,
moral, spiritual, dan sosial bagi anak, sebagai akhir dari tujuan pendidikan
Islam.
f)
Model
Dialog dan Debat
Pendidikan dan pembinaan melalui model dialog dan debat bisa
ditemui dalam berbagai surat dalam al-Qur`an yang menggunakan berbagai variasi
yang indah, sehingga pembaca menikmati keindahan tersebut, bahkan tidak sedikit
dari para pembaca merasa ikut terlibat langsung.
Contoh model dialog dan debat di dalam al-Qur`an di antaranya yaitu;
1)
Penyampaian
perintah untuk bertakwa kepada Allah SWT.
(QS. Ali-Imran
[3]: 102-105)
2)
Model
dialog yang melahirkan rasa penyesalan seseorang.
{QS. ash-Shaff
[61]: 2-3)
3)
Model
dialog yang berefek lahirnya akhlak rasa syukur.
(QS. al-Waqi`ah
[56]: 63-67, al-Waqi`ah [56]: 68-69, dan
al-Waqi`ah [56]: 71-72)
4)
Dialog
menjelaskan tentang hari kiamat
(QS. An-Naba`
[78]: 1-5)
Model dialog dan debat ini juga banyak digunakan Nabi Muhammad SAW.
saat menjelaskan tentang berbagai hal. Contoh model dialog dan debat di dalam hadist
antara lain yaitu;
1)
Rasululah SAW. bersabda;
“Tahukah kamu apa itu ghibah?” Lalu para sahabat menjawab; “Allah dan
Rasul-Nya tentu lebih mengetahuinya.’ Kemudian Rasulullah menyampaikan
sabda sebagai jawaban dari pertanyaannya, “Engkau menyebut tentang saudaramu
suatu yang ia tidak sukai.” Sahabat bertanya lagi, “Bagaimana bila yang
dibicarakan itu memang kenyataannya?” “Jika kamu menyebut suatu kenyataannya,
maka itu adalah ghibah, dan bila bukan kenyataan yang kamu bicarakan, maka
engkau telah berdusta” (HR. Muslim)
2)
Rasululah SAW. bersabda;
“Bagaimana pendapatmu jika sebuah sungai berada di depan pintu rumahmu, dan ia
mandi di sungai itu lima kali dalam sehari. Apakah masih ada tertinggal
kotorannya? Sahabat menjawab, “Tidak”. Rasulullah kembali bersabda, “Maka
demikianlah perumpaan shalat lima waktu. Allah menghapus dengannya dosa-dosa.”
(HR. Bukhari–Muslim)
Pendidikan al-Qur`an melalui model-model dialog dan debat seperti
ini tentunya akan memberi didikan yang membawa pengaruh pada perasaan yang amat
dalam bagi diri seorang beriman. Betapa besarnya nikmat yang telah Allah SWT.
berikan, yaitu agama dan ajaran-Nya, sehingga dari dialog-dialog yang terjadi
akan melahirkan rasa syukur kepada Allah SWT. atas nikmat tersebut. Kesemuanya
ini akan melahirkan akhlak yang baik, khususnya akhlak terhadap Allah. SWT.
g)
Model
Pembiasaan
Menurut E. Mulyasa, pembiasaan adalah, “Sesuatu yang secara sengaja
dilakukan berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Dalam bidang
psikologi pendidikan, metode pembiasaan dikenal dengan istilah operant
conditioning. Pembiasaan akan membangkitkan internalisasi nilai dengan
cepat. Intenalisasi adalah upaya menghayati dan mendalami nilai, agar tertanam
dalam diri manusia. Karena pendidikan karakter berorientasi pada pendidikan
nilai, perlu adanya proses internalisasi tersebut.”
Syarat- syarat pembiasaan agar dapat berjalan secara efektif dan efisien
sehingga hasil yang diperoleh memuaskan di antaranya:
1)
Mulailah
pembiasaan itu sebelum terlambat. Usia sejak bayi dinilai waktu yang sangat
tepat untuk mengaplikasikan pendekatan ini, karena setiap anak mempunyai
rekaman yang cukup kuat dalam menerima pengaruh lingkungan sekitarnya dan
secara langsung akan dapat membentuk kepribadian seorang anak. Kebiasaan
positif atau negatif itu akan muncul sesuai dengan lingkungan yang akan
membentuknya.
2)
Pembiasaan
hendaknya dilakukan secara kontiniu, teratur dan terprogram, sehingga pada
akhirnya akan terbentuk sebuah kebiasaan yang utuh, permanen dan konsisten.
Oleh karena itu, faktor pengawasan sangat menentukan dalam pencapaian
keberhasilan dari proses ini.
3)
Pembiasaan
hendaknya diawasi secara ketat, konsisten, dan tegas. Jangan memberi kesempatan
yang luas kepada anak didik untuk melanggar kebiasaan yang telah ditanamkan.
4)
Pembiasaan yang
pada mulanya hanya bersifat mekanistis, hendaknya secara berangsur-angsur
dirubah menjadi kebiasaan yang disertai dengan kata hati anak didik itu
sendiri.
Adapun kelebihan dari model pembiasaan, yakni:
1)
Dapat
menghemat waktu dan tenaga dengan baik,
2)
Pembiasaan
tidak hanya berkaitan dengan aspek lahiriah saja, tetapi juga berhubungan
dengan aspek rohaniah,
3)
Pembiasaan
dalam sejarah tercatat sebagai model pembelajaran yang paling berhasil dalam
pembentukan kepribadian anak didik.
Dikutip dari buku Ulil Amri Syafri bahwa:
Untuk mencapai tujuan pendidikan karakter kepada taraf yang baik,
dalam artian terjadi keseimbangan antara ilmu dan amal, maka al-Qur`an juga
memberikan model pembiasaan dan praktik keilmuan. Al-Qur`an sangat banyak
memberikan dorongan agar manusia selalu melakukan kebaikan. Ayat-ayat di dalam
al-Qur`an yang menekankan pentingnya pembiasaan bisa dilihat pada term “amilus
shalihat”. Term ini diungkap dalam al-Qur`an sebanyak 73 kali. Bisa
diterjemahkan dengan kalimat “mereka selalu melakukan amal kebaikan”,
atau “membiasakan beramal shaleh”. Jumlah term “amilus shalihat”.
yang banyak tersebut memperlihatkan pentingnya pembiasaan suatu amal kebaikan
dalam proses pembinaan dan pendidikan karakter dalam Islam.[94]
Contoh model pembiasaan dalam al-Qur`an di antaranya yaitu; QS. al-Baqarah [2]: 25, QS. Ali-Imran
[3]: 57, QS. al-Ma`idah [5]: 9.
Begitu juga dalam hadist-hadist Rasulullah SAW. terdapat model
pembiasaan dalam melakukan pendidikan akhlak harian. Contohnya antara lain;
1)
Rasulullah
bersabda; “Apabila kalian berwudhu` maka mulailah selalu dari anggota yang
kanan.“ (HR. Bukhari, Muslim, Tirmizi)
2)
Sahabat Ibnu
Umar Abi Salamah berkata, Rasulullah bersabda; “Makanlah dengan bismillah,
dan gunakanlah tangan kanan, dan makanlah apa yang dekat kepadamu”. Maka
sejak itu begitulah kebiasaan akhlakku ketika makan. (HR. Abu Dawud, Tirmizi,
Ibnu Majah dan Bukhari).[95]
Adapun proses pendidikan yang terkait dengan perilaku ataupun sikap
tanpa diikuti dan didukung adanya praktik dan pembiasan pada diri, maka
pendidikan itu hanya jadi angan-angan belaka karena pembiasaan dalam proses
pendidikan sangat dibutuhkan. Model pembiasaan ini mendorong dan memberikan
ruang kepada anak didik pada teoru-teori yang membutuhkan aplikasi langsung,
sehingga teori yang berat menjadi ringan bagi anak didik bila kerap kali
dilaksanakan.
h)
Model
Qudwah (Teladan)
Secara Bahasa keteladanan berasal dari kata dasar teladan yaitu: “Perbuatan atau barang dan sebagainya yang patut ditiru dan dicontoh.”
Secara istilah, uswah dan iswah
sebagaimana kata qudwah dan qidwah berarti, “Suatu keadaan ketika seorang
manusia mengikuti mannusia lain. apakah
dalam kebaikan, kejelekan, kejahatan, atau
kemurtadan”
Dari definisi
di atas, maka dapat diketahui bahwa quswah merupakan suatu cara
atau jalan yang ditempuh seseorang dalam proses pendidikan melalui perbuatan
atau tingkah laku yang patut ditiru (modeling).
Dalam al-Qur`an kata teladan diibaratkan dengan kata-kata uswah yang kemudian dilekatkan dengan kata hasanah, sehingga menjadi padanan kata uswatun
hasanah
yang berarti teladan yang baik. Di dalam al-Qur`an kata uswah juga selain dilekatkan kepada Rasulullah
SAW. juga sering kali dilekatkan kepada Nabi Ibrahim
AS. Untuk mempertegas keteladanan Rasulullah
SAW., al-Qur`an selanjutnya menjelaskan akhlak Rasulullah
SAW. yang tersebar di berbagai ayat dalam al-Qur`an.
Pembinaan akhlak melalui
keteladanan memang cukup representatif untuk diterapkan. Menurut Abdullah
Nasih Ulwan dikutip dari Ulil Amri bahwa, “Keteladanan
merupakan kunci dari pendidikan akhlak seorang
anak. Dengan keteladanan yang diperolehnya di
lingkungan rumah dan sekolah, seorang anak akan mendapatkan kesempurnaan dan kedalam akidah,
keluhuran moral, kekuatan fisik, serta kematangan mental dan pengetahuan.”
Implementasi pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur`an teergambar jelas dalam kehidupan Rasullah SAW., dan para
sahabatnya. Berkaca
pada keberhasilan pendidikan dan pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
tampak jelas kekuatan akhlak menjadi kebanggaan karakter kepribadian Rasul yang
dipuji Allah SWT. sekaligus sebagai misi utama yang diemban Rasullah SAW. untuk
seluruh umat manusia, seperti dijelaskan dalam hadistnya, “Sesungguhnya aku
diutus menjadi Rasul hanya untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Bukhari-Muslim).
12.
Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di SMP
Dalam
kajian Islam, Rasulullah SAW. telah menerapkan model-model pembelajaran dalam
mentransfer pelajar ke para sahabat, dan saat ini dikembangkan oleh para Ilmuwan
Barat. Secara tidak langsung Ilmuwan Barat terinspirasi dari model-model pembelajaran
yang diterapkan Rasulullah SAW. Di antaranya adalah model-model pembelajaran yang
telah disampaikan di atas.
Proses
penyampaian materi pelajaran yang dilakukan Rasulullah SAW. dapat menjadi
menarik dengan menggunakan metode yang tepat sesuai dengan materi yang sedang
dibahas. Beliau sering menggunakan metode bermain untuk menghilangkan suasana
tegang. Sehingga setiap pelajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. dapat
diterima dengan baik.
Menurut Bukhari Umar bahwa:
Pada tingkatan SMP yakni rata-rata
usia 12-15 tahun, ini masuk dalam golongan pra-remaja.
Dalam fase ini ditandai dengan semakin meningkatnya sikap sosial pada anak.
Gejala yang dominan pada masa ini adalah kecenderungan untuk bersaing yang
berlangsung antara teman sebaya dan lingkungan jenis kelamin yang sama. Pada
periode ini ada kesempatan yang sangat baik untuk membantu anak, disamping
menguasai ilmu dan teknologi yang sesuai dengan tingkat perkembangan
intelektualnya, juga menumbuhkan sikap tanggung jawab dan menghargai
nilai-nilai, terutama yang bersumber dari agama Islam.[102]
Zakiah
Darajat dkk., menyatakan bahwa:
Untuk tingkat
SMP cara penyampaian model pembelajaran pendidikan agama Islam diperluas dengan
mengemukakan alasan-alasan/dalil-dalil baik naqli maupun aqli,
sehingga anak didik yang telah meningkat remaja itu dapat menyelesaikan
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam pikirannya mengenai segi-segi gaib. Dan selanjutnya
dapat memahami alasan-alasan tersebut dan menjadikan sebuah keyakinan. Anak
didik juga akan memahami bahwa apa yang diajarkan guru agamanya itu bukanlah
pendapat mereka sendiri, melainkan bersumber kepada al-Qur`an dan hadist Nabi SAW.
B.
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
1.
Pengertian Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Lembaga
Pembinaan Khusus Anak merupakan sebuah institusi yang berfungsi untuk melaksanakan
pembinaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Menurut Menkumham,
Yasonna H. Laoly bahwa, “Hingga kini pemerintah sudah membentuk sebanyak 33
LPKA yang tersebar di sejumlah daerah di Indonesia, LPKA diharapkan menjadi
tempat yang lebih ramah bagi pertumbuhan dan tumbuh kembang anak dan terlebih lagi,
kegiatan pendidikan menjadi fokus dalam penyelenggaraan pembinaan.”
Perubahan istilah Lembaga
Pemasyarakatan Anak (Lapas Anak) menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA),
sejalan dengan berubahnya perlakuan hukum terhadap anak-anak dalam sistem
peradilan. Sekjen Kementerian Hukum
dan HAM, Bambang Rantam Sariwanto mengatakan, ”Perubahan ini ditandai juga
dengan berubahnya sistem perlakuan anak, sehingga dalam pembinaan dan bimbingan
anak akan berbasis budi pekerti.”
2.
Siswa SMP Istimewa Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Siswa SMP adalah anak usia remaja yang
perasaan dan emosinya sangat peka sehingga tidak stabil yang apabila tidak
diarahkan atau dibimbing dengan baik akan berdampak terjadinya kenakalan remaja yang berujung
meningkatnya kejahatan pidana. Akibatnya anak harus berhadapan dengan hukum dan
mendapatkan sanksi pidana berupa penahanan di dalam penjara.
Menurut Kartini Kartono bahwa, “Segala gejala
keberandalan dan kejahatan yang terjadi pada anak/remaja itu, merupakan akibat
dari proses perkembangan pribadi anak yang mengandung unsur dan usaha: a)
Kedewasaan seksual, b) Pencarian suatu identitas kedewasaan, c) Adanya ambisi
materiil yang tidak terkendali, d) Kurang atau tidak adanya disiplin diri.
Dikutip dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Bagian Umum, bahwa;
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan oleh Anak, antara lain, disebabkan oleh faktor di luar
diri Anak tersebut. Data Anak yang berhadapan dengan hukum dari Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan menunjukan bahwa tingkat kriminalitas serta pengaruh negatif
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif semakin meningkat.
Prinsip perlindungan hukum terhadap Anak harus
sesuai dengan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
sebagaimana telah diratifikasi (ditandatangani/disahkan) oleh pemerintah
Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang
Hak-Hak Anak). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum
agar Anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi
kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk
menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri,
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai
objek dan perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung
merugikan Anak. Selain itu, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif
memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.
Undang-undang terbaru nomor 11 tahun 2011 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU SPPA) secara yuridis telah merubah paradigma dalam penanganan
anak yang berhadapan dengan hukum. UU SPPA merupakan keseluruhan proses
penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan
sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Di dalam UU SPPA tersebut juga dinyatakan
bahwa, “Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA hanya apabila
keadaan dan perbuatannya akan membahayakan masyarakat dan hanya bagi anak yang telah berumur 12 sampai umurnya 18 tahun.” Ketentuan
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
a)
Anak dijatuhi
pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat.
b)
Pidana penjara
yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
c)
Pembinaan di
LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
d)
Anak yang telah
menjalani ½ (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik
berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
e)
Pidana penjara
terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.
f)
Jika tindak
pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
3.
Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana
Terdapat
beberapa faktor sebagai penyebab anak melakukan kenakalan, baik berupa tindak
pidana maupun melanggar norma-norma (agama, susila, dan sopan santun) yaitu dipengaruhi
oleh faktor intern (dalam diri anak itu sendiri) maupun faktor ekstern (di luar
diri anak);
a)
Faktor
Intern yaitu; mencari identitas/jati diri, masa puber (perubahan hormon
seksual), tidak ada disiplin diri, peniruan.
b)
Faktor
Ekstern yaitu; tekanan ekonomi, lingkungan yang buruk.
Dikutip dalam buku Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, pada
kongres PBB ke-8 tahun 1990 di Havana, Cuba, diidentifikasikan bahwa aspek sosial
sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khusunya dalam masalah Urban Crime), antara
lain disebutkan di
dalam dokumen A/CONF.144/L3
sebagai berikut:
a)
Kemiskinan,
pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan atau kekurangan perumahan
yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak serasi atau tidak
cocok.
b)
Meningkatnya
jumlah penduduk yang tidak mempunyai harapan karena proses integrasi sosial,
juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial.
c)
Mengendurnya
ikatan sosial dan keluarga.
d)
Keadaan-keadaan
atau kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang berimigrasi ke kota-kota
atau negara lain.
e)
Rusaknya atau
hancurnya identitas budaya asli. yang bersamaan
dengan adanya rasisme
dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan di
bidang sosial, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan.
f)
Menurunnya atau
mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan
dan berkurangnya (tidak cukup) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas
lingkungan atau bertetangga.
g)
Kesulitan-kesulitan
bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana
mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarganya, tempat
kerjanya, atau di lingkungan sekolah.
h)
Penyalahgunaan
alkohol, obat bius, dan lain-lain yang pemakaiaannya juga diperluas karena
faktor-faktor yang disebut di atas.
i)
Meluasnya
aktifitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya obat-obatan terlarang dan
barang-barang curian.
j)
Dorongan-dorongan
(khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada
tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap-sikap intoleransi.
4.
Tujuan Pidana Penjara
Pidana penjara
adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan. Pidana penjara
atau hukuman penjara mulai dipergunakan terhadap orang Indonesia sejak tanggal
1 Januari 1918, waktu mulai berlaku KUHP.
Sebelumnya, orang Indonesia biasanya dihukum dengan kerja paksa. Di dalam RUU Republik Indonesia, Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, dikatakan bahwa;
a)
Pemidanaan
bertujuan:
1)
Mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
2)
Memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna;
3)
Menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
4)
Membebaskan
rasa bersalah pada terpidana.
b)
Pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.[114]
5.
Prinsip Perlakuan Anak Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.
Anak
yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana penjara ditempatkan di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Anak sebagaimana dimaksud berhak
memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan
pendampingan serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam melaksanakan hal sebagaimana
dimaksud, petugas di LPKA wajib mengedepankan asas Sistem Peradilan Pidana Anak
yang meliputi:
a)
Perlindungan,
b)
Keadilan
c)
Non
diskriminasi
d)
Kepentingan
terbaik Anak
e)
Penghargaan
terhadap pendapat Anak
f)
Kelangsungan
hidup dan tumbuh kembang Anak
g)
Pembinaan dan
pembimbingan Anak
h)
Proporsional
i)
Perampasan
kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan
j)
Penghindaran
pembalasan.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya petugas LPKA wajib
memperhatikan hak setiap anak dalam proses peradilan pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
yang meliputi:
a)
Diperlakukan
secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya
b)
Dipisahkan dari
orang dewasa.
c)
Memperoleh
bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif
d)
Melakukan
kegiatan rekreasional
e)
Bebas dari
penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta
merendahkan derajat dan martabatnya
f)
Tidak dijatuhi
pidana mati atau pidana seumur hidup
g)
Tidak
ditangkap, ditahan atau dipenjara kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam
waktu yang paling singkat
h)
Memperoleh
keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tindak memihak, dan dalam sidang
yang tertutup untuk umum
i)
Tidak
dipublikasikan identitasnya
j)
Memperoleh
pendampingan orang tua/wali/pengasuh dan orang yang dipercaya oleh Ana
k)
Memperoleh
advokasi sosial
l)
Memperoleh
kehidupan pribadi
m)
Memperoleh
aksesibilitas, terutama bagi Anak cacat
n)
Memperoleh
pendidikan
o)
Memperoleh
pelayanan kesehatan
p)
Memperoleh hak
lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
6.
Gambaran Umum Penyelenggaraan Pendidikan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak
Pembinaan
anak dalam LPKA harus sinergi dengan kebijakan pemerintah terkait dengan
pendidikan layak anak. Prinsip penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia
diatur dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yaitu:
a)
Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa.
b)
Pendidikan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan
multi makna.
c)
Pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat.
d)
Pendidikan
diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
e)
Pendidikan
diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung
bagi segenap warga masyarakat.
f)
Pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran
serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Selanjutnya dalam pasal 5 Undang-Undang Sisdiknas
diatur bahwa:
a) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu.
b) Warga sosial yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Dan pada pasal 6 Undang-Undang Sisdiknas ditegaskan bahwa:
a) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
b) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan
pasal 4, 5, dan 6 Undang-Undang Sisdiknas tersebut dapat disimpulkan bahwa anak
yang ditempatkan dalam LPKA juga berhak mendapatkan pendidikan tanpa dibeda-bedakan
dan pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Pendidikan yang diberikan pada anak dapat berupa pendidikan formal, informal
maupun nonformal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan formal
terdiri atas Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi.
Adapun
pembinaan anak terdiri dari Pembinaan Kepribadian, Pembinaan Ketrampilan dan Pendidikan,
a)
Pembinaan
Kepribadian, terdiri dari kegiatan pembinaan kerohanian, kesadaran hukum,
jasmani, kesadaran berbangsa dan bernegara dan kegiatan lainnya
b)
Pembinaan
Keterampilan, terdiri dari kegiatan pembinaan pertanian, peternakan, pertukangan,
kesenian dan Teknologi Informasi (IT), dan kegiatan lainnya
c)Pendidikan, pendidikan anak yang diselenggarakan di
LPKA terdiri dari Pendidikan Formal dari Non Formal. Pendidikan Formal terdiri
dari pendidikan wajib belajar 9 tahun/ SD, SMP dan SMA, sedangkan Pendidikan
Non Formal mencakup Kejar Paket A untuk tingkat SD, Paket B untuk tingkat SMP
dan Paket C untuk tingkat SMA.
Dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA),
menyebutkan bahwa anak yang ditempatkan di LPKA berhak mendapatkan pembinaan
khusus yaitu yang mengedepankan pendidikan yang layak. Dalam UU SPPA tersebut dinyatakan
bahwa:
a)
Pemerintah
wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi penegak hukum dan pihak
terkait secara terpadu.
b)
Pendidikan dan
pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (a) dilakukan paling singkat 120
(seratus dua puluh) jam.
c)
Pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (a) dikoordinasikan
oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
d)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (c) diatur dengan Peraturan Presiden.
Substansi yang paling mendasar dalam UU SPPA adalah
pengaturan secara
tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang
dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi (ciri negatif) terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan
diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
C. Penelitian Yang Relevan
Penelitian tentang pendidikan
agama Islam, telah banyak dilakukan oleh para ahli, dan telah banyak
menghasilkan teori yang berkaitan dengannya. Di antaranya adalah:
1. Skripsi,
Muhammad Fauzy Emqi dengan judul Model Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam Dalam Pembinaan Mental Narapidana (Studi Multikasus Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Malang Dan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II-A
Malang)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; 1) Materi pendidikan
agama Islam dalam pembinaan mental narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I
dan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II-A Malang. 2) Model pembelajaran
pendidikan agama Islam apa yang diterapkan dalam pembinaan mental narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas I dan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II-A
Malang. 3) Kondisi mental narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I dan Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Klas II-A Malang.
Temuan dari hasil penelitian adalah, materi pendidikan agama Islam
dalam pembinaan mental Warga Binaan di LP Kelas I Malang dan LP Wanita Kelas
II-A Malang, lebih memfokuskan pada materi aqidah dan akhlak. Hal tersebut
mengacu pada pandangan bahwa pendidikan yang utama dan pertama yang harus
dilakukan adalah pembentukan keyakinan kepada Allah SWT. yang diharapkan
melandasi sikap, tingkah laku dan kepribadian.
Dengan materi akidah dan akhlak tersebut, para warga binaan diharapkan
dapat mengintrospeksi diri dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Lebih dari
itu, ketika nantinya mereka bebas dari LP, mereka dapat diterima kembali di
masyarakat dengan bekal pembinaan yang telah mereka dapat di dalam LP. Materi
aqidah dan
akhlak
tersebut, adalah materi utama yang diajarkan kepada warga binaan, sedangkan
sebagai pendukung agar materi tersebut dapat efektif diterima oleh warga binaan,
maka disampaikan pula materi-materi yang mendukung, seperti tuntutan untuk
menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama, berzikir,
berdoa, mampu menjadi imam atau ceramah kepada sesama warga binaan, membaca al-Qur’an,
belajar Iqra’ dan belajar tata cara merawat jenazah.
2. Skripsi,
Mila Nur Arifah dengan judul Metode Pendidikan Agama Islam Bagi Narapidana Di
Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salatiga
Tujuan penelitian ini adalah: 1).
Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam pendidikan agama Islam bagi
narapidana di Rutan Salatiga 2). Untuk mengetahui manfaat pendidikan agama
Islam bagi narapidana di Rutan
Salatiga 3). Untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi pendukung dan
penghambat pendidikan agama Islam bagi narapidana di Rutan Salatiga
Hasil penelitian ini
mengungkapkan temuan-temuan bahwa metode pendidikan agama Islam di Rutan Salatiga
pada kenyataannya sama dengan metode pendidikan agama Islam yang diterapkan di
luar Rutan secara umum. Hanya saja yang membedakan pendidik dan peserta
didiknya. Pendidik disini adalah ustadz dan peserta didik adalah narapidana. Selama
narapidana menjalani masa hukuman di Rutan Salatiga, mereka tidak disiksa
tetapi mereka dibimbing dengan dibekali pendidikan agama Islam dan
keterampilan. Upaya yang dapat dilakukan hanya dengan kegiatan pendidikan agama
Islam, karena agama Islamlah yang akan membawa narapidana menuju kebaikan
sehingga membentuk pribadi yang bisa diterima di masyarakat.
3. Skripsi,
Faizatul Khotimah dengan judul Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di MIN.
Purwokerto
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana inovasi model pembelajaran pendidikan
agama Islam yang diterapkan di MIN. Purwokerto. Temuan dari penelitian ini
adalah MIN Purwokerto berupaya melakukan inovasi dalam berbagai bidang,
terutama dalam model pembelajaran, sehingga MIN Purwokerto menjadi madrasah
tingkat dasar yang unggul, baik dalam akademik maupun non akademik. Setelah
diterapkannya model-model pembelajaran PAI yang inovatif dan model pembelajaran
pesantren khususnya, terjadi lonjakan yang fantastis baik dalam kualitas maupun
kuantitas peserta didik dibandingkan dengan sebelum diterapkannya model pembelajaran
pesantren.
Sedangkan penelitian ini diharapkan akan berbeda dengan
penelitian-penelitian terdahulu karena, penelitian ini akan berfokus pada model
pembelajaran pendidikan agama Islam yang disampaikan kepada siswa SMP Istimewa Lembaga
Pembinaan Khusus Anak Kelas I Tangerang yang berusia remaja dimana SMP tersebut
telah menerapkan kurikulum yang berlaku pada SMP umum lainnya yaitu berpedoman
pada kurikulum 2013. Dan agar siswa di SMP tersebut dapat lebih cepat memahami
ajaran agama Islam, juga diterapkan model
pembelajaran pesantren dan model-model pembelajaran pendidikan agama Islam di
dalam al-Qur`an dalam pembinaan akhlak.
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan
Agama Islam Berbasisi Kompetensi, (Bandung: Remaja Rosada Karya, 2006), h.130
E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 166