BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Sebagaimana
kita ketahui bahwa sejak dahulu bangsa Arab telah mempunyai keahlian dalam
membawakan syair-syair untuk menyampaikan sesuatu maksud. Bangsa Arab dikenal
sebagai masyarakat yang mempunyai perhatian cukup besar terhadap sastra,
khususnya syair. Tidak heran apabila pasar, khususnya pada masa pra turunnya
wahyu, berfungsi ganda, disamping sebagai tempat transaksi perdagangan, juga
berfungsi sebagai pusat kegiatan para pujangga untuk menunjukkan kehebatan
mereka dalam merangkai kata-kata dalam wujud syair[1]
Al-Qur’an
diturunkan dan pertama kali berinteraksi dengan masyarakat Arab yang mempunyai
keahlian di bidang sastra tersebut, mempunyai gaya bahasa yang tinggi, mengungguli
gaya bahasa para penyair ulung ketika itu, sehingga wajar saja apabila mereka
berdecak kagum ketika mendengar al-Qur’an dibaca dan berkata: “sungguh ini bukanlah perkataan manusia” [2]
Kekaguman
seperti itu lahir karena retorika al-Qur’an yang unik dalam mempergunakan
metode pengajaran dan penyampaian
pesan-pesannya ke dalam lubuk hati manusia. Pesan-pesan tersebut disampaikan
dalam ungkapan singkat, namun sarat dengan kandungan makna. Disamping itu,
dalam berbagai hal, al-Qur’an
menyampaikan pesan-pesan Ilahiah dalam bentuk persuasif[3].
Salah satu metode yang dipergunakan al-Qur’an dalam menyampaikan pesan-pesan,
nasehat, ajaran dan akhlak adalah dengan cara gaya bahasa yang indah baik
melalui perumpamaan, personifikasi yang abstrak sehingga mudah dipahami dan
seakan-akan al-Qur’an berdialog dengan kita secara langsung.
Berkaitan
dengan Amsal Al-Qur`an ini,
Kuntowijoyo memandang bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur`an itu terbagi
menjadi dua bagian
yaitu:
1. Bagian pertama, berisi
konsep-konsep dan
2. Bagian kedua, berisi
kisah-kisah sejarah dan amsal.
Bagian pertama
dimaksudkan untuk membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai
sejarah Islam, sedangkan
bagian kedua dimasudkan sebagai ajakan perenungan untuk memperoleh hikmah (pelajaran). Misalnya, kisah kesabaran
Nabi Ayyub, mengambarkan
tipe sempurna tentang betapa gigihnya kesabaran orang yang beriman ketika
menghadapi cobaan apapun. Kisah kezaliman Fir’aun mengambarkan arche-type (pola dasar) mengenai
kejahatan tirani pada masa paling awal yang pernah dikenal manusia. Adapun
kisah kaum Tsamud yang membunuh unta milik Nabi Saleh lebih mengambarkan arche-type mengenai
penghianatan masal oleh konspirasi-konspirasi kafir[4]
Kenyataan bahwa
ayat al-Qur`an ada yang mengandung amsal merupakan sesuatu yang tidak dapat
dibantah. Karena Allah SWT. mengemukakan dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa Ia
membuat sejumlah amsal[5] antara lain:
·
(Dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami adakan bagi manusia supaya
mereka berfikir) Qs.al-Hashr
[59] : 21
(Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia
dalam al Qur`an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran).
Qs. az Zumar [39] :
27.
Selain al-Qur`an, hadis Nabi juga menegaskan
bahwa di dalam al-Qur`an ada amsal seperti diriwayatkan oleh al-Tirmidzi
dari Ali r.a
· S esungguhnya Allah telah menurunkan
al-Qur`an sebagai perintah, larangan, tradisi yang telah lalu dan perumpaan
yang dibuat.
Pada
makalah ini kami akan mengetengahkan tentang amsal al-Qur’an dalam menyampaikan
pesan-pesan, nasehat, ajaran dan akhlak kepada manusia.
B.
Tujuan
Adapun
tujuan penulisan makalah mengenai Amsal al-Qur’an ini adalah untuk menjelaskan
hal-hal yang berkaitan dengan ilmu amsal sehingga menambah pemahaman terhadap kandungan al-Qur`an bagi kami
khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Harapan setelah
memahami ilmu amsal al-Qur’an, kita mampu memahami, mengambil pelajaran,
berpikir, dan selalu mengingat ayat-ayat al-Qur’an. guna meningkatkan ketaqwaan kita
kepada Allah Subhanahu wa ta`ala. Insyaallah.
C.
Rumusan Masalah
Pada
makalah ini kami membahas mengenai antara lain:
1. Definisi Amsal al-Qur’an
2. Unsur-unsur
Amsal al-Qur’an
3. Macam
dan Sighat Amsal al-Qur’an
4. Manfaat
Amsal al-Qur’an
BAB
II
Amsal
al-Qur`an
A.
Definisi
Secara etimologis, kata amsal adalah
bentuk jamak dari kata اَلْمِثْلُ atau اَلْمَثَلُ yang berarti
serupa atau sama[6]. Amsal
juga berarti العبر ة (Al ‘ibratun) artinya
contoh atau teladan, Amsal juga bermakna الشبهة (Al-syibhatu) yang berarti kesamaan atau
penyempurnaan.
Amsal dalam wacana kesusastraan Arab, didefinisikan
sebagai “Suatu ungkapan perkataan yang dihikayatkan dan sudah populer dengan
maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam perkataan itu dengan keadaan
sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan. Adapun definisi Amsal adalah menonjolkan suatu
makna yang abstrak dalam bentuk indrawi agar menjadi indah dan menarik. Kata Amsal digunakan pula untuk menunjukan
arti “Keadaan” dan “Kisah yang menakjubkan”[7]
Pengertian
tersebut memberikan indikasi bahwa amsal
dalam konteks kesusastraan Arab, pada awalnya adalah suatu ungkapan
yang lahir dari suatu peristiwa tertentu, kemudian ungkapan tersebut
dipergunakan pada suatu kondisi yang tidak ada korelasinya dengan peristiwa
sebelumnya, namun mempunyai kemiripan.
Amsal dalam konteks tersebut di atas,
mengalami induksi makna, sebagaimana layaknya pergeseran arti yang terjadi pada
berbagai bahasa, sehingga amsal tidak hanya terbatas pada
ungkapan yang berlatar belakang suatu peristiwa, tetapi amsal
selanjutnya cenderung berkonotasi kiasan atau yang dikenal
dengan “idiomatic exspression”.
Ada beberapa rumusan amsal menurut para ulama diantaranya
adalah:
1. Menurut Ibn al-Qayyim, amsal adalah menyerupakan sesuatu
dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya, dan mendekatkan
sesuatu yang abstrak (ma`qul) dengan yang indrawi (konkret,mahsus) atau
mendekatkan salah satu dari dua mahsus dengan yang lain dan menganggap salah
satunya itu sebagai yang lain.
2.
Menurut Muhammad al-Khadr Husain[8] mengemukakan dalam bukunya “Balaghah al-Qur’an” bahwa amsal al-Qur’an adalah
perkataan-perkataan yang dibuat oleh Allah untuk manusia yang mengandung
keanehan-keanehan, baik dalam bentuk tasybih, isti’arah atau
kisah, termasuk dalam hal ini segala ungkapan yang mengandung penyerupaan
sesuatu dengan sesuatu yang lain.
3.
Menurut As-Suyuthi, seperti yang dikutip
oleh Muhammad al-Khadr Husain, memberikan batasan
lebih sempit tentang amsal al-Qur’an.
Beliau lebih cenderung membatasi amsal al-Qur’an pada perumpamaan-perumpamaan yang komparatif
antara dua hal atau keadaan, baik perumpamaan tersebut dalam bentuk isti’arah
maupun dalam bentuk tasybih.
4.
Menurut Dr. Ahmad Jamal al-Umary,[9] amsal al-Qur’an yaitu
menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dari segi hukumnya, menggambarkan
sesuatu yang abstrak dalam bentuk konkret atau membandingkan dua hal yang
konkret dengan melebihkan salah satu di antara
keduanya. Selanjutnya beliau berkata amsal adalah merangkai suatu
makna dalam ungkapan indah dan simpel, serta mempunyai pengaruh dalam
jiwa, baik dalam bentuk tasybih maupun ungkapan yang tidak ditegaskan
lafaz tasybih (mursal).
Berdasarkan
pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud amsal al-Qur’an adalah
ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung perumpamaan-perumpamaan dalam bentuk tasyabih atau istiarah atau
dalam bentuk-bentuk kisah. Bahkan segala yang disebut oleh Allah sebagai amsal
meskipun tidak ada indikasi penyerupaan sesuatu dengan yang lain.
B.
Unsur-unsur Amsal al-Qur`an
Sebagian
ulama mengatakan bahwa Amsal al-Qur`an memiliki 4 unsur, yaitu:.
1. الشبة الوجه / Wajhu Syabah : segi perumpamaan.
2.
التشبية أداءة/Adaatu Tasybih: alat yang
dipergunakan untuk tasybih
3. المشبة/ Musyabbah : yang diperumpamakan.
4.
به المشبة/Musyabbah bih: sesuatu yang
dijadikan perumpamaan.
Sebagai
contoh firman Allah SWT surat Al-Baqarah
; 261
Artinya:
Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang
dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui
Wajhu Syabah pada ayat di atas adalah “pertumbuhan
yang berlipat-lipat”. Ada satu
tasybihnya adalah kata masal. Musyabbahnya adalah infaq atau shadaqah di jalan
Allah. Sedangkan musyabbah bihnya adalah benih.
C.
Macam-macam
Amsal al-Qur’an
Secara garis besar, Amsal al-Qur’an terbagi menjadi dua.
Pertama perumpamaan yang disebutkan secara jelas dan tegas. Imam Jalaluddin
as-Suyuthi dalam al-Itqaan
menyebutnya sebagai masal zhahi musharrah
bih. Sedangkan yang kedua disebutkan secara tersirat masal kaamin.. Namun apabila diamati yhj7npsecara seksama maka
amsal al-Qur’an bisa dibagi menjadi tiga macam. Seperti
pendapat Manna` Khalil al-Qattan, bahwasanya Amsal al-Qur’an ada tiga macam
yaitu: amsal musarrohah, amsal kaminah, dan amsal mursalah. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.
Amsal
Musarrohah, ialah masal
yang didalamnya dijelaskan dengan lafaz masal (lafal yang
didalamya menunjukkan persamaan atau perumpamaan-pen) atau
sesuatu yang menunjukkan tasybih (penyerupaan), amsal seperti ini
banyak dijumpai dalam al-Qur’an. Contohnya antara lain adalah:
a)
Firman
Allah mengenai orang Munafik dalam surat al-Baqarah [2]:17-20 yang
artinya:
“Perumpamaan
mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, Maka setelah api itu menerangi
sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan
mereka dalam kegelapan, tidak dapat Melihat.Mereka tuli, bisu dan buta, Maka
tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), Atau seperti (orang-orang
yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat;
mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, Karena (mendengar suara)
petir,sebab takut akan mati. dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. setiap kali kilat itu
menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu;, dan bila gelap menimpa
mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia melenyapkan
pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala
sesuatu.”
Di dalam ayat
tersebut, Allah memberikan perumpamaan (masal) bagi orang munafik dengan dua
perumpamaan; yaitu masal yang berkenaan dengan api yang menyala adalah seperti orang yang menyalakan api" dan dengan air atau seperti-orang-orang yang ditimpa
hujan lebat dari langit” yang didalamnya ada unsur kehidupan.
Sebagaimana
diketahui bahwa al-Qur`an diturunkan
untuk menyinari hati dan menghidupkannya. Allah menyebutkan juga kedudukan dan fasilitas orang
munafik dalam dua keadaan. Disatu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan
api untuk penerangan
dan
kemanfaatan;
mengingat
mereka memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk Islam. Namun
disisi yang lain, Islam tidak memberikan pengaruh Nur-nya terhadap hati
mereka, karena Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari)
mereka, dan membiarkan unsur “membakar” yang ada padanya.
Dalam
perumpamaan kedua, yang berkenaan dengan air,
Allah menyerupakan mereka dengan keadaan
orang yang seperti ditimpa hujan lebat yang juga disertai dengan gelap gulita,
petir dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu dan ia meletakkan
jari-jemari mereka untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata karena takut
disambar petir. Ini merupakan
gambaran mereka yang mengabaikan al-Qur`an dan tidak
menjalankan perintah-perintah Allah yang
mestinya bisa menyelamatkan mereka, tetapi karena mereka tidak memperdulikanya,
justru malah membinasakan mereka.
b) Firman Allah mengenai yang Hak & Bathil dalam surat Ar
Ra`d [13] : 17 yang artinya:
“Allah telah
menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah
menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa
(logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada
(pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan
(bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu
yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia
tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan”.
Wahyu yang diturunkan Allah dari
langit untuk kehidupan hati diserupakan dengan air hujan yang diturunkan-Nya
untuk kehidupan bumi dengan tumbuh-tumbuhan. Dan hati diserupakan dengan
lembah. Arus air yang mrengalir di lembah, membawa buih dan sampah. Begitu pula
hidayah dan ilmu bila mengalir di hati akan berpengaruh terhadap nafsu syahwat,
dengan menghilangkannya. Ini merupakan masal ma`i.
Mengenai masal nari, dikemukankan dalam firman-Nya: “Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dengan api…”. Logam, baik
emas, perak, tembaga maupun besi, ketika dituangkan ke dalam api, maka api akan
menghilangkan kotoran, karat yang melekat padanya dan memisahkannya dari
substansi yang dapat dimanfaatkan, sehingga hilanglah karat itu dengan sia-sia.
Begitu pula, syahwat akan dilemparkan dan dibuang dengan sia-sia oleh hati
orang mukmin sebagaimana arus air menghanyutkan sampah atau api melemparkan
karat logam.
2.
Amsal
Kaminah, yaitu
yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamsil (pemisalan) tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah,
menarik, dalam kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila
dipindahkan kepada yang serupa dengannya.
Contoh amsal kaminah adalah:
A.
Ayat-ayat
yang senada dengan perkataan; “Sebaik-baik
urusan adalah pertengahannya”. Ungkapan ini merupakan hasil perumpamaan
dari beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya adalah:
a)
Surat
al-Baqarah [2] : 68 tentang sapi betina yaitu:
“…bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu…”
b)
Surat
al-Furqan [25] : 67 tentang nafkah yaitu::
“Dan mereka yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir,
dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
c) Surat al-Isra’ [17]:110 tentang
shalat: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan
pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
d) Surat al-Isra’ [17] : 29 tentang infak:
“Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya.”
B.
Ayat yang senada dengan perkataan, “Kabar itu
tidak sama dengan menyaksikan sendiri”. Misalnya firman Allah tentang nabi
Ibrahim dalam Qs.al-Baqarah
[2] : 260 yang artinya:
“Allah berfirman:
"Belum yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku telah
meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)”
C.
Ayat yang senada dengan perkataan, “Sebagaimana
kamu telah menghutangkan, maka kamu akan dibayar”. Misalnya firman Allah
dalam Qs. an-Nisa` [4]
: 123 yang artinya:
“Barangsiapa mengerjakan kejahatan,
niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu”
D. Ayat
yang senada dengan perkataan. “Orang
mukmin tidak akan disengat dua kali dari lubang yang sama“. Misalnya firman
melalui lisan Ya`kub dalam Qs. Yusuf
[12] : 64 yang artinya:
"Bagaimana
aku akan mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah
mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?".
3.
Amsal Mursalah yaitu
kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafaz tasybih secara jelas.
Tetapi kalimat-kalimat itu berfungsi sebagai masal. Beberapa contoh diantaranya
adalah:
a) “Sekarang jelaslah kebenaran itu.” (Qs. Yusuf [12] ; 51)
b) “Tidak ada yangmenyatakan hari itu
selainAllah”(Qs.
an-Najm [53] ;58)
c) “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakanya
(kepadaku).” (Qs.
Yusuf [12] ; 41)
d) “Bukankah
subuh itu sudah dekat?” (Qs. Hud [11] ; 81)
e)‘Untuk
tiap-tiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya.” (Qs. al-An`am [6] ; 67)
f)Dan
rencana yamg jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya
sendiri.” ( Qs.
Fatir [35] ; 43)
g) “Katakanlah:
Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing- masing.” (Qs al-Isra’ [17] ; 84)
h) “Boleh
jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu” (Qs. al-Baqarah [2] ; 216)
i) “Tiap-tiap
diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (Qs. al-Muddassir [74] ; 38)
j) “Adakah
balasan kebaikan selain dari kebaikan (pula)?” (Qs. ar-Rahman [55] ; 60)
k)
“Tiap-tiap golongan merasa bangga
dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)”. (Qs. al-Mukminun [23]; 53)
l)
‘Amat lemahlah yang menyembah dan
amat lemah {pulalah) yang disembah.”.(Qs. al-Hajj [22] ; 73)
m)
“Untuk kemenangan seperti ini
hendaklah berusaha orang-oeang yang bekerja!” (Qs. as-Saffat [37] ; 61)
n)
“Tidak sama yang buruk dengan yang
baik.” (Qs.
al-Ma`idah [5] ; 100)
o)
“Berapa banyak terjadi golongan yang
sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.” (Qs. al-Baqarah [2] ; 249)
p)
“Kamu kira mereka itu bersatu sedangkan hati meereka berpecah belah.” (Qs. al-Hasyr [59[ ; 14)
Dari berbagai macam amsal tersebut, amsal jenis pertama sering digunakan dalam al-Qur`an dan termasuk jenis amsal yang sebenarnya. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa tidak semua ayat al-Qur`an dapat dijadikan amsal untuk berbagai ungkapan dan peristiwa. Sedangkan amsal jenis kedua dan ketiga masih memerlukan kajian ulang dan harus ditempatkan secara proporsional. Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat yang mereka namakan amsal mursalah, apa atau bagaimana hukum mempergunakannya sebagai masal?
Sebagian ahli ilmu memandang hal demikian sebagian telah keluar dari adab al-Qur’an. Berkata Ar-razi ketika menafsirkan ayat : لكم دينكم ولي دين (Qs. al-Kafirun (109) : 6). “Sudah menjadi tradisi orang, menjadikan ini sebagai masal (untuk membela, membenarkan perbuatannya)., ketika ia meninggalkan agama, padahal hal demikian tidak dibenarkan. Sebab Allah menurunkan al- Qur’an bukan untuk dijadikan masal, tetapi untuk direnungkan dan kemudian diamalkan isi kandungannya.”[10]
Salah seorang
ulama, Ibn Syihab,
pernah mengatakan bahwa janganlah kamu membuat amsal dengan ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis
Nabi, baik dalam ungkapan maupun dalam perbuatan.[11]
D.
Sighat-sighat
Amsal al-Qur`an
Dari
pemaparan tersebut, dapatlah diketahui bahwa sighat-sighat amsal al-Qur`an adalah sebagai
berikut:
1.
Sighat Tasybih yang jelas (Tasybih
Ash-Sharih), yaitu sighat atau bentuk perumpamaannya jelas, didalamnya
terungkap masal (perumpamaan).
Contoh: Qs.
Yunus [12] ; 24
yang artinya:
“ Sesungguhnya perumpamaan kehidupan
duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dan langit dalam….”
Dalam ayat tersebut jelas tampak adanya lafaz al-masal
yang yang berarti perumpamaan.
2.
Sighat
tasybih yang terselubung (Tasybih adh-dhimni), yaitu sighat/bentuk
perumpamaan yang terselebung/tersembunyi, didalam perumpamaan itu tidak
terdapat kata al-amsal, tetapi perumpamaan itu diketahui dari segi
artinya.
Contoh: Qs. al-Hujurat [49] : 12 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”
Dalam ayat tersebut memang tidak
terdapat kata-kata al-amsal (perumpamaan), tetapi arti itu jelas menerangkan
tentang perumpamaan, yaitu mengumpamakan menggunjing orang lain yang disamakan
dengan makan daging bangkai teman sendiri.
3. Sighat
Majaz Mursal,
yaitu sighat dengan bentuk perumpamaan yang bebas, tidak terikat dengan asal
ceritanya.
Contoh: Qs. Al-Hajj [22] : 73 yang artinya: “ Hai manusia,
Telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat
menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika
lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya
kembali dari lalat itu. amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah)
yang disembah.”
4.
Sighat
Majaz Murakkab, yaitu sighat dengan bentuk perumpamaan ganda yang segi
perumpamaanya diambil dari dua hal yang berkaitan, dimana kaitannya adalah
perserupaan yang telah biasa digunakan dalam ucapan sehari-hari yang berasal
dari isti’arah tamtsiliah. Seperti melihat orang yang ragu-ragu akan
pergi atau tidak, maka diucapkan: “Saya lihat kamu itu maju mundur saja”.
Contoh: Qs. al-Jumu`a [62] : 73
“Perumpamaan orang-orang yang
dipikulkan kepadanya Taurat, Kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti
keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum
yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada
kaum yang zalim.”
Didalam ayat ini, menggambarkan
keledai yang tidak bisa memanfaatkan buku itu dengan baik, padahal dia selalu
membawanya.[12]
E. Manfaat Amsal al-Qur`an
Imam Zarkasyi
mengatakan bahwa tujuan Allah membuat Amsal al-Qur`an itu banyak,
diantaranya adalah: memperingatkan, menasehati, mendorong, melarang, mengambil
pelajaran, memantapkan, menertibkan bantahan-bantahan terhadap akal dan
menggambarkanya dalam bentuk sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indra.[13] Sebagaimana beliau memberikan contoh agar
setiap individu melakukan
amal yang saleh dan dapat dijadikan perumpamaan yang menarik dalam al-Qur`an, yang
digambarkan dalam surah al-Baqarah :
261 yang telah dijelaskan
sebelumnya.Lebih rinci manfaat Amsal al-Qur`an ialah:
- Menonjolkan sesuatu yang hanya dapat dijangkau dengan akal menjadi bentuk konkret yang dapat dirasakan atau difahami oleh indera manusia.
- Menyingkapkan hakikat dari mengemukakan sesuatu yang tidak tampak menjadi sesuatu yang seakan-akan tampak.
- Mengumpulkan makna yang menarik dan indah dalam ungkapan yang padat, seperti dalam amsal kaminah dan amsal mursalah dalam ayat- ayat di atas.
- Memotivasi orang untuk mengikuti atau mencontoh perbuatan baik seperti apa yang digambarkan dalam amsal.
- Menghindarkan diri dari perbuatan negatif.
- Amsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan dan lebih dapat memuaskan hati. Dalam al-Qur’an Allah SWT. banyak menyebut amsal untuk peringatan dan supaya dapat diambil ibrahnya.
- Memberikan kesempatan kepada setiap budaya dan juga bagi nalar para cendekiawan untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya.[14]
BAB III
Kesimpulan
1. Kajian kritis dan mendalam tentang amsal
al-Qur’an, akan menyingkap tabir misteri aspek-aspek kemujizatan al-Qur’an,
baik bahasa, kandungan makna, maupun pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
2. Amsal merupakan salah satu metode
al-Qur’an dalam menyampaikan pesan-pesan Ilahiyah yang berfungsi untuk memberikan
pemahaman kepada manusia terutama dalam hal-hal yang tidak dapat terjangkau
oleh akal manusia dengan jalan konkretisasi sesuatu yang bersifat abstrak.
3. Tujuan amsal al-Qur’an antara lain; konkretisasi yang abstrak,
motivasi untuk melakukan sesuatu, menjadi peringatan bagi manusia agar
menghindari perbuatan buruk, memberikan pujian kepada orang yang berbuat baik,
untuk tujuan argumentatif dalam mempertahankan suatu kebenaran mutlak agar
manusia tidak dilingkupi perasaan ragu dan untuk dijadikan sebagai bahan
renungan dan pelajaran. Wallahu A'lam
Bishawab
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Al-Baqy, Muhmmad Fuad, al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim,
Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
Abu, Sa’ad, Ahmad, Mu’jam
al-Tarakib wa-Ibarat al-Istilahiyah al-Arabiyah al-Qadimu minhu wa al-Muwallad,
Cet. I; Beirut: Dar al-Ilmu li
al-Malayin, 1987.
Khalil al-Qattan,
Manna`, Study Ilmu-Ilmu Qur`an,
Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa , Cet. III,
Anis, Ibrahim, al-Mu’jam
al-Wasit, Juz II, Cet. II; Istambul, 1972.
Badawy, Ahmad, Min Balaghah
Al-Qur’an, Kairo: Dar Nahdlah Mishr Li
al-Tibaati Wa al-Nasyr.t.th.
Dahlan, Abd. Rahman, Kaedah-Kaedah
Penafsiran al-Qur’an, Cet. I; Bandung: Mizan, 1997.
Al-Hasyimi, Ahmad, Jawahir
al-Balaghah, Cet. XII; Indonesia: Dar Ihyaa al-Kutub al-Arabiyah, 1960.
Husain, Muhammad al-Khadr, Balagah
al-Qur’an, t.p., 1971.
Ash Shiddieqy, Hasby, Ilmu-Ilmu
al-Qur’an: Media-Media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an, Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang, 1972.
Syekh, Amin, Bakri, al-Ta’biir
al-Fanny Fi al-Qur’an al-Karim, Cet. I: Beirut: Dar al-‘Ilmi Li
al-Malaayin, 1994.
Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, al-Itqan
fii Uluum al-Qur’an, al-Fujalah: Maktabah Misr, t.th.
Shihab, M. Quraish, Mukjizat
Al-Qur’an, Cet. V; Bandung: Mizan, 1999.
Suyuthi, Muhammad, Kajian Puisi
Arab Pra Islam, Cet. I; Jakarta: PT. Al-Quswa, 1990.
Umary Ahmad Jamal, Dirasat Fi
al-Qur’an Wa al-Sunnah, Cet. I; Cairo: Dar al-Maarif, 1982.
al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad
Ibn Abdullah, al-Burhan Fi ‘Ulum
al-Qur’an, Juz I, Cet. I; Beirut: Daar al-Fikr, 1988.
[1] Jalaluddin Abdurrahman Suyuthi, al-Itqan
fii Uluum al-Qur’an ,(al-Fujalah:
Maktabah Misr, 1990) hlm. 4
[2] M. Quraish Shihab, Mukjizat
Al-Qur’an, ( Bandung: Mizan, 1999, Cet.
V). hlm. 158.
[3] Abd. Rahman Dahlan, Kaedah-Kaedah
Penafsiran al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997, Cet. I;) Hlm. 271
[5] Manna` Khalil al-Qattan, Study Ilmu-Ilmu Qur`an, (Jakarta: Pustaka
Litera AntarNusa , Cet. III,) hlm. 401
[6] Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasit, (Istambul: 1972. Cet. II, Juz
II)
[8] Husain, Muhammad al-Khadr, Balagah
al-Qur’an, t.p., 1979, 31-32.
[9] Ahmad Jamal al-Umary, Dirasat
Fi al-Qur’an Wa al-Sunnah, (Cairo:
Dar al-Maarif, 1982, Cet. I) hal.
111-112.
[10] Manna` Khalil al-Qattan, hlm.
404-409
[13] Syaifuddi
Bukhori, Didin., ’’Pedoman
Memahami Kandungan Al-Quran”,
(Granada Sarana Pustaka, 2005), Hal. 167
[14] Kadar M. Yusuf, Study al-Qur`an, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.
88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar