A.
Latar Belakang
Mayoritas ulama hadis dan fiqih,
sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadis harus
mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dhabit) serta memiliki integritas
keagamaan yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas sifat adil. Dalam hubungannya
dengan periwayatan hadis maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang
terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya untuk melakukan hal-hal
yang positif atau orang yang selalu konsisten
dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis adalah
persoalan outentik dan reliabilitas otentifikasi metodologi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas
peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya
berkaitan dengan resistansi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada
keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan
originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah,
maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari
kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi
collapse.
Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh umat
Islam terlalu penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan
politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri,
tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memahami wahyu
Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam.. Dalam anatomi hukum
Islam, hadis merupakan salah satu sumber yang penting untuk dikonsultasikan.
Sebelum menjabarkan mengenai hadis lebih jauh, ada beberapa
hal yang sangat penting dan mesti kita ketahui dalam masalah hadis yaitu :
1.
Pada
awalnya Rasulullah SAW melarang para sahabat menuliskan hadis, karena
dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan al-Qur’an.
2.
Perintah
untuk menuliskan hadis yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin
Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadis.
3.
Ulama
yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan Said bin Abi
Arabah, akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak (tercampur antara
yang shahih dengan dha’if dan perkataan para sahabat)
4.
Pada
kurun abad ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di Makkah. Hadis
dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh imam
Al-Auzai, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Bashrah oleh Hammad Bin Salamah.
5. Pada pertengahan abad ke-3 hijriah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan Muslim.
5. Pada pertengahan abad ke-3 hijriah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan Muslim.
Maka dari itu, di dalam makalah ini kami akan mencoba untuk
membahas mengenai syarat seorang perawi dan cara mereka menerima dan
menyampaikan riwayat (transmisi hadis).
B. Rumusan
Masalah
2. Proses transmisi (cara menerima dan
menyampaikan riwayat) hadis
C. Tujuan
Untuk
mengetahui syarat-syarat seorang perawi
hadis dan bagaimana proses menerima dan menyampaikan (transmisi) hadis sebagai sumber
ajaran Islam yang kedua. Dan merupakan tugas yang diberikan oleh dosen mata
kuliah Ulumul Hadis.
BAB II
I.
Perawi Hadis
A.
Definisi
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis[1]
Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan
hadis dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.
Karena hadis Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam sampai kepada kita melalui jalur para perawi, maka
mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui ke-shahih-an atau tidaknya suatu
hadis. Karena itu pula, para ulama hadis amat memperhatikan para perawi. Mereka
telah membuat berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat
para perawi. Ini menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadis, lurusnya
pemikiran mereka, dan kualitas metode yang mereka miliki.
Berbagai persyaratan
yang ditentukan terhadap para perawi dan syarat-syarat lain bagi diterimanya suatu
hadis atau berita, tidak pernah ada dan tidak pernah dijumpai pada agama
apapun, bahkan hingga masa kini.
B.
Syarat-syarat yang harus dimiliki
seorang perawi hadis, diantaranya yaitu:
1) Muslim.
Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah
jelas. Seorang rawi harus meyakini dan mengerti akidah Islam, karena dia
meriwayatkan hadis atau khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban
tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia.
Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadis,
bukan ketika membawa atau menanggungnya.
Ada
sahabat yang mendengar hadis ketika mereka masih belum memeluk Islam. Ketika
mereka sudah masuk Islam, mereka meriwayatkan hadis yang diterima atau
didengarnya ketika masih belum Islam. Contohnya
sebagaimana yang telah berlaku kepada Jubair bin Matam. Beliau telah
meriwayatkan hadis yang didengarnya ketika masih belum memeluk Islam. Hadisnya
ialah berkenaan perbuatan Nabi SAW yang membaca surah al-Thur ketika sholat
maghrib.[2]
2)
Berakal
Menurut
para ahli hadis, berakal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk
membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadis, seseorang
harus telah memasuki usia akil baligh. Sahabat yang paling banyak menerima
riwayat, yang mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik,
Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah
menghukumnya pada waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud
berusia 5 tahun[3]
3)
Al-dhabtu
(dhabit).
Dimaksudkan di
sini adalah teliti dan cermat, baik ketika menerima pelajaran hadis maupun
menyampaikannya. Sudah barang tentu, orang seperti ini mempunyai hafalan yang
kuat, pintar, dan tidak pelupa.
Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadis yang dia riwayatkan ternyata cocok
dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, telilti dan
terpercaya. tetapi itu tidak harus mengenai keseluruhan. Perbedaan yang tidak
sedikit tentang hadis yang mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi jika
perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadis yang mereka riwayatkan,
maka kecermatanya masih diragukan.[4]
Allah akan menghargai orang yang bersikap cermat dalam
periwayatan hadis, merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip
hadis shahih saja. Hadis shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi
juga melalui pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar.[5]
4) Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan
berkomitmen tinggi pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari
hal-hal yang merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi
adil sebagai berikut: ”yang tahu
melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkan kepadanya- dapat
menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan
kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga
perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat
menjaga dan mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap
adil bagi agamanya dan hadisnya diakui kejujurannya”[6]
Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang
saksi. Jika masalah kebersihan, baru dapat diterima dengan penyaksian dua
saksi. Saksi ini baik laki laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau
berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil terhadap dirinya sendiri.
II. Proses Transmisi
Hadis
A.
Definisi.
Metode
transmisi hadis atau dikenal dengan istilah “Jalan Menerima Hadis (thuruq at-tahammul) dan Penyampaiannya” yaitu:
cara-cara menerima hadis mengambilnya dari Syaikh/Guru. Kata transmisi berarti penyampaian atau
peralihan atau penyebaran. Jadi transmisi hadis bisa diartikan dengan proses
peralihan atau perpindahan suatu hadis dari sanad ke sanad sampai ke perawi.
B.
Cara-cara
Rasulullah ketika menyampaikan
hadisnya:
1)
Rasulullah
menyampaikan hadis pada dasarnya dengan cara natural saja. Ketika ada masalah,
lalu beliau memberikan penyelesaian.
1) Dengan lisan dan perbuatan,
dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam dan subuh.
2) Dalam bentuk tulisan. Banyak riwayat
menyatakan bahwa Rasulullah telah berkirim surat kepada kepala Negara dan pembesar
daerah yang non-Islam.
Berbagai
hadis Nabi yang temaktub di kitab-kitab hadis sekarang ini, asal mulanya adalah
hasil kesaksian sahabat nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau
hal-ihwal Nabi. Cara periwayat memperoleh dan menyampaikan hadis pada zaman
nabi tidaklah sama dengan pada zaman sahabat nabi. Demikian juga dengan pada
zaman sahabat nabi tidaklah sama dengan zaman sesudahnya.
C.
Proses
transmisi hadis pada masa Nabi sampai pada
zaman sesudah generasi sahabat.
1.
Periwayatan hadis pada zaman Nabi
Hadis
yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para
sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis nabi kemudian
menyampaikannya kepada orang lain. Mereka (sahabat) secara bergantian menemui
nabi. Seandainya Umar tidak datang maka berita dari nabi akan disampaikan oleh
sahabat lainnya kepadanya.
Proses
transmisi hadis pada masa Nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini terjadi
karena 2 hal yaitu:
a) Cara penyampaian hadis oleh
Rasulullah secara langsung.
b) Minat
yang besar dari para sahabat.
2.
Periwayatan Hadis Pada Zaman Sahabat Nabi
a) Pada Zaman Abu Bakar al-Shiddiq
Abu
bakar merupakan sahabat nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya
dalam periwayatan hadis. Beliau sangat berhati-hati dengan periwayatan hadis.
Ini didasarkan pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk
seorang nenek. Beliau tidak melihat petunjuk al-Qur`an dan praktek nabi yang
memberikan harta warisan kepada nenek. Lalu ia bertanya kepada sahabat-sahabat
yang lain. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi
memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Namun Abu Bakar
tidak langsung percaya terhadap perkataan sahabat tersebut. Dia meminta sahabat
tersebut untuk mendatangkan saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan
kesaksian. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan
seperenam bagian.
Karena
Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi
bila jumlah hadis yang diriwayatkannya relative
tidak banyak.[7]
Data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadis di kalangan umat Islam pada
masa khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini karena pada saat pemerintahan
Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada ancaman dan kekacauan yang membahayakan
pemerintahan dan Negara.
b) Pada Zaman Umar bin Khattab
Pada
masa Umar penyebaran hadis kurang berjalan. Karena pada masa Umar lebih
memfokuskan pada membaca dan mendalami al-Qur`an. Akan tetapi lebih banyak dari
masa Abu Bakar. Namun pada masa Umar para perawi terkekang karena Umar sangat
tegas. Beliau sangat berhati-hati. Karena Umar ingin ummat lebih konsentrasi
dengan al-Qur`an dan lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis.
c) Pada Masa Utsman bin Affan
Secara
umum, kebijakan Utsman tentang periwayatan sama seperti khalifah sebelumnya.
Namun langkah yang dijalani Utsman tidaklah setangkas Umar bin Khattab. Utsman
meminta kepada para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis yang tak pernah
didengar pada masa Abu Bakar dan Umar. Penyebaran hadis pada masa
Utsman lebih banyak dibanding dengan khalifah Umar bin Khattab. Karena wilayah
Islam pada saat itu mulai meluas dan perawipun jumlahnya bertambah dan meluas.
d) Pada Masa Ali bin Abi Thalib
Khalifah
Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para pendahulunya
dalam periwayatan hadis. Secara umum Ali bersedia menerima riwayat hadis Nabi
setelah periwayat hadis mengucapkan sumpah, bahwa hadis itu benar-benar berasal dari Nabi.
Hanya dengan periwayat yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta untuk
bersumpah.
Transmisi
hadis pada masa Ali juga sangat hati-hati seperti para pendahulunya. Akan
tetapi pada masa Ali, kondisi politik sudah makin menajam. Hal ini menjadi
dampak negatif dalam penyebaran hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihak-
pihak tertentu melakukan pemalsuan hadis.[8]
Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadis dapat dipercaya riwayatnya.
3.
Periwayatan Hadits Pada Zaman Sesudah Generasi
Sahabat
Pada
zaman sesudah generasi sahabat Nabi, khususnya pada saat hadis Nabi dihimpunkan
dalam kitab-kitab hadis, telah dibakukan tata cara penyampaian dan penerimaan
riwayat hadis Nabi. Pembakuan periwayatan ini sangat erat kaitannya dengan
upaya ulama dari hadis-hadis palsu.
Pada
masa ini konsentrasi kepada hadis sangat meningkat. Yang mereka kaji bukan
hanya matan saja, namun juga sanad-nya. Periwayatan hadis Nabi pada zaman ini
tidak memperoleh hadis secara langsung dari Nabi, karena mereka memang tidak se
zaman dengan Nabi.
Periwayatan
hadis pada zaman sesudah sahabat Nabi telah makin meluas, rangkaian periwayat
hadis yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan pada zaman
sahabat Nabi.
D. 3 (tiga) Unsur yang harus dipenuhi di
dalam periwayatan hadis, yaitu:
1)
At-tahammul (Kegiatan menerima hadis dari
periwayat hadis)
2)
al-ada’ (Kegiatan menyampaikan hadis kepada orang lain)
1)
Kelayakan
Tahammul
Para ulama cenderung membolehkan
kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai
usia taklif. Sedang sebagian mereka
tidak memperbolehkannya. Sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima
riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn az-Zubair, Anas ibn Malik,
Abdullah ibn Abbas, Abu Sa’id al-Khudriy, Mahmud ibn ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah
antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh. Dalam
perbedaan pendapat para ulama tersebut, dapat di simpulkan bahwa pokok kecakapan
dan keahlian menerima hadis menurut jumhur adalah tamyiz yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat
memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya.
Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadis yang
dilakukan oleh anak kecil, berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal
itu tergantung pada masalah tamyiz dari anak kecil itu. Tamyiz ini jelas
berbeda-beda antar masing-masing anak kecil. Namun demikian mereka memberikan
keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak di antara mereka yang telah
berusaha keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa meringkas penjelasan itu ke
dalam tiga pendapat:
·
Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima
tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari
dalam Shahihnya dari hadis Muhammad ibn ar-Rabi’ ra, katanya : “Aku masih ingat siraman Nabi SAW dari timba
ke mukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima tahun.”
· Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun
al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai
absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan keledai. Saya merasa
yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian
tamyiz dengan kehidupan di sekitar.
·
Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam
mendengar hadis didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak telah memahami
pembicaraan dan mampu memberikan jawaban,
maka ia sudah mumayyiz dan absah
pendengarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak
memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya mendengar
hadis tidak absah, meski usianya di atas lima tahun.
2)
Kelayakan Ada’
1) Islam,
2) Baligh
3) Sifat Adil
4) Dhabit
E. Metode
Penerimaan Hadis
Seiring
meluasnya dunia Muslim waktu itu, maka dalam pnyebaran hadis yang lebih
intensif dan bisa dipertanggungjawabkan menuntut metode baru dalam belajar
mengajar hadis. Dalam konteks ini, pada umumnya, ulama membagi metode
periwayatan hadis kepada delapan macam:[10]
yaitu :
1. As
As-sama’
Yaitu mendengar langsung dari sang
guru. Sima’ mencakup imlak (pendiktean), dan tahdits (narasi atau memberi
informasi).. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada pada peringkat
tertinggi.
Di dalam meriwayatkannya menggunakan kata-kata :
·
حَدَّثَنَا (seorang telah
menceritakan kepada kami)
· أَخْبَرَنَا (seorang telah
mengabarkan kepada kami)
· أَنْبَأَنَا (seorang telah memberitakan kepada
kami)
§ سَمِعْتُ فُلاَنًا (saya telah
mendengan seseorang)
§ قَالَ لَنَا فُلاَنٌ (seseorang
telah berkata kepada kami)
§ ذَكَرَ لَنَا فُلاَنٌ (seseorang
telah menuturkan kepada kami).
Termasuk
dalam kategori as-sama’ juga seseorang yang mendengarkan hadis dari
Syeikh dari balik sattar (semacam kain pembatas/penghalang). Jumhur
ulama membolehkannya dengan berdasarkan para sahabat yang juga pernah melakukan
hal demikian ketika meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah melalui ummahat
al-mu’minin (para istri Nabi).
2. Al-Qira’ah
Yaitu
periwayat/murid menghadapkan riwayat hadis
kepada guru hadis dengan cara periwayatan itu sendiri membacanya atau
orang lain yang membacakannya dan dia mendengarkan.[11]
Riwayat hadis yang dibacakan itu bisa saja berasal dari catatannya atau bisa
juga dari hafalannya. Sedangkan guru (syaikh) hadis yang disodori bacaan
tadi aktif menyimak melalui hafalannya sendiri atau melalui catatan yang ada
padanya. Cara ini hampir mirip dengan pemeriksaan hafalan dalam menghafal
al-Qur’an.
Mengenai
kedudukan penerimaan hadis dengan cara al-qira’ah ini, ulama berbeda
pendapat, menurut az-Zuhriy dan al-Bukhariy, cara al-qira’ah sama
kedudukannya dengan cara as-sama’. As-Suyuty, Ahmad bin Hambal dan Ibn as-Salah menilai kedudukan as-sama’
lebih tinggi daripada al-qira’ah. Sedang Abu Hanifah menilai al-qira’ah
lebih tinggi daripada as-sama’.
Apabila dilihat
dari proses pemeriksaan terhadap riwayat hadis, maka cara al-qira’ah lebih berpeluang
dapat terhindar dari kesalahan atau lebih korektif dibandingkan dengan cara as-sama’.
Karena dalam cara al-qira’ah, pemeriksaan riwayat hadis dilakukan oleh
guru hadis selaku penyampai riwayat dan murid selaku penerima riwayat. Guru
hadis menyimak hadis yang dibacakan muridnya. Jadi dalam hal ini guru berfungsi
sebagai penguat dan pemeriksa terakhir terhadap hadis yang telah diperiksa oleh
murid.
Kata-kata atau
istilah yang dipakai untuk periwayatan cara al-qira’ah ada yang
disepakati oleh ulama, antara lain adalah:
a) قرأت على فلان (aku telah membaca kepada fulan ) kata-kata ini dipakai bila
periwayat membaca sendiri di hadapan guru hadis yang menyimaknya.
b) قرأت على فلان وأنا اسمع فأقربه ( aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya) kata-kata ini
dipakai bila periwayat tidak membaca sendiri, melainkan dia mendengarkan bacaan
orang lain, sedang guru hadis menyimaknya[12]
Adapun
kata-kata yang tidak disepakati pemakaiannya oleh ulama antara lain adalah kata
haddatsana dan akhbarana yang tanpa diikuti kata-kata lain.
3. Al-Ijazah
Yaitu guru
hadis memberikan ijin kepada seseorang baik secara lisan maupun tulisan untuk
meriwayatkan hadis yang ada padanya.
Jenis ijazah ini ada dua macam:
a. Al-ijazah
disertai al-munawalah, yang mempunyai dua bentuk:
1) Seorang
guru hadis yang menyodorkan kepada murid hadis yang ada padanya lalu guru tadi
berkata, “Anda saya beri ijazah untuk
meriwayatkan hadis yang saya peroleh ini.”
2) Seorang
murid menyodorkan hadis kepada guru, lalu guru memeriksanya, selanjutnya ia
mengatakan: “Hadis ini saya terima dari
guru saya dan anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis ini dari saya.”
b. Al-Ijazah
al-mujarradah (ijazah murni)
Diantaranya
ialah ijazah diberikan kepada guru hadis kepada:
1) Orang
tertentu untuk hadis tertentu, misalnya untuk hadis yang termuat dalam kitab
Shahih- al-Bukhariy.
2) Orang
tertentu untuk semua hadis yang telah didengarnya (diriwayatkannya), atau
3) Orang
yang tidak tertentu, misalnya umat Islam, untuk hadis tertentu atau hadis tidak
tertentu.
Ijazah murni
yang disebutkan pertama oleh mayoritas ulama hadis dan fiqih disepakati
kebolehannya, sedang ijazah murni lainnya masih diperselisihkan.
Adapun
kata-akata yang biasa dipakai oleh mayoritas ulama diantaranya ialah haddatsana
ijazatan, haddatsana idznan, ajaza lii, anba’ani ijazatan, dan lain-lain.[13]
4. Al-Munaawalah (menyerahkan)
Al-Munawalah
ada dua macam:
a) Al-Munawalah yang disertai dengan
ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara
muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid,
lalu mengatakan kepadannya,
هَذَا سَمَا عِي
أَوْرِوَايَتِي عَنْ فُلاَنٍ فَارْوِه (Ini riwayatku/kudengar dari si fulan,
maka riwayatkanlah).
Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki
atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti
ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama' dan al-qira'ah.
b) Al-Munawalah yang tidak diiringi
ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid
dengan hanya mengatakan :
هَذَا سَمَا عِي أَوْ مِنْ رِوَايَتِي (Inilah hasil pendengaranku atau berasal
dari periwayatanku)
Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
5. Al-Mukatabah
Yaitu
: Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis
riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Al-Mukatabah ada 2 macam :
a) Al-Mukatabah
yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,"Aku
ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu", atau yang semisal
dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama
kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
b) Al-Mukatabah
yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian
hadis untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak
diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum
meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain
memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu
sendiri.
Kata-kata yang dipakai untuk periwayatan
cara al-mukatabah cukup banyak. Misalnya Kataba ilayya fulan,
Akhbarani bihi Mukatabatan, dan Akhbarani bihi Kitaban.
6. Al-I'lam (memberitahu)
Yakni pemberitahuan seorang guru kepada
muridnya, bahwa kitab atau hadis yang diriwayatkannya diterima dari seorang
guru, dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya.Hadis
dengan cara ini tidak sah, karena adanya kemungkinan bahwa sang guru mengetahui
bahwa dalam hadis tersebut ada cacatnya.[14]
Kata yang dipakai ialah: اَعْلمَنِي فُلانٌ
قال حدثنا(seseorang
telah memberitahukan kepadaku, telah berkata kepada kami)
7. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu
: Seorang syaikh mewasiatkan disaat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan,
sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima
dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar
adalah tidak boleh dipakai.
Ketika
menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin (si fulan telah mewasiatkan kepadaku
sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun
washiyyatan (si fulan telah
bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
8. Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu:
Seorang perawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal
syaikh itu, sedang hadis- hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis
oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadis munqathi', karena si perawi tidak
menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
Dalam
menyampaikan hadis atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi
berkata,"Wajadtu bi kaththi
fulaanin" (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau "qara'tu bi khththi fulaanin"
(aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan
sanad dan matannya.
As-Syafi'e memperbolehkan beramal dengan hadis yang
periwayatannya melalui cara ini. Lafadznya diantaranya:[15]
a)
قَراْتُ بخَطِّ فَلانٍ (saya telah
membaca buku ini dengan tulisan si
fulan)
b)
وَجَدْتُ بخَطِّ فَلانٍ (dan….saya
mendapat buku ini dengan tulisan si fulan).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dan dari jabaran di atas dapatlah
kami simpulkan bahwasanya Proses Transmisi Hadis dari masa Rasulullah hidup dan
setelah wafat tidaklah sama. Semakin lama jarak antara masa hidupnya akan
semakin sulit mengontrol menyebaran dan kebenaran hadis tersebut. Sehingga
memerlukan kehati-hatian yang tinggi dalam penyebaran hadis tersebut sehingga terhindar
dari munculnya hadis palsu.
2. Dalam menerima hadis tidak
disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Namun ketika menyampaikannya,
disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang
baligh dari hadis yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh,
dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum
baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun
yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat
memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah
tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka hadisnya ditolak.
B. Saran
Dikarenakan
Hadis merupakan sumber ajaran
Islam kedua setelah al-Qur’an, maka posisi Hadis berada pada tempat yang
penting untuk memahami Islam.
Dan sebagai seorang Muslim, penting bagi kita mengetahui perkembangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah
Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa Cendekia
Al Shan’ani, Muhammad,. 1998. Taudlih
al Afkar Lima’ani Tanqihil Andhar, vo. 1, Beirut : Dar Ihyaul Turats al
Arabi,
Sohari. Sahrani,. 2010. Ulumul
Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia
Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari
Ilmu Hadits. Malang : UIN-Malang Press
Uwayd ,Salah Muhammad Muhammad.
1989. Taqrib Al-tadrib . Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah
Abdurrahman, mifdol, Pengantar Studi Ilmu Hadist, Jakarta,
Ulumul Hadist, 2005
Aziz Mahmud dan Mahmud Yunus, Ilmu
musthalah al-hadist. Jakarta: Jamamurni 1975
Departemen agama RI, Qur’an
hadis, Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
Jakarta 2000
Ismail,M Syuhudi, Kaedah kesahihan sanad hadits. Jakarta.
Pt Bulan Bintang. 1995
Ehsan. Asmawi, Ilmu Hadith, Dewan Bahasa Dan Pustaka, Kuala Lumpur
Ehsan. Asmawi, Ilmu Hadith, Dewan Bahasa Dan Pustaka, Kuala Lumpur
Al-Baghdadi.
Al-Khatib, Al-kifayah.,
Muhammad
Salah, Uwayd Muhammad., Taqrib Al-tadrib, Beirut : Dar al-Kutub
al-Imliyyah, 1989
Ismail,
M. Syuhudi, Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1991
Ash-Shiddieqy,
Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Dinayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Ibn As-Shalah, Ibn Abdurrahman Asy-Syahrazuwariy, ‘Ulum
al-Hadis, Madinah: Maktabah al-Ilmiyyah, 1996
Zuhri, Muh. Hadis Nabi Telaah Historis dan
Metodologi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003
Thahan, Mahmud, Ilmu Hadits Praktis, Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, 2005
Mudasir, H, Ilmu Hadis (untuk IAIN, STAIN, dan
PTAIS), Bandung: CV Pustaka Setia, 1999
‘Ajaj,
Muhammad al-Khatib, Ushul al-Hadits:
Pokok-pokok Ilmu Hadits , Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Azami, M.M. Memahami Ilmu Hadist, Terj. Meth Kieraha, Jakarta: Lentera, 1993
Ibn, Al Hafidz Katsir, Al Baits al-Hatsits fi Ikhtishari ilm
al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, tt Ismail,
Syahudi, M, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung:
Pustaka Setia, 2005
Suparta, Munzier dan Ranuwijaya, Utang,
Ilmu Hadis, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996
[1] Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits. (Bogor: Ghalia Indonesia,
2010) hal 120
[2] Asmawi Ehsan, Ilmu Hadith, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka), hlm.84-85
[3] Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-kifayah.,
hlm. 54
[4] Salah Muhammad Muhammad Uwayd., Taqrib Al-tadrib . (Beirut
: Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989) hal 110
[5] Al Hakim al Naisaburi, Ma’rifah Ulum al-Hadist.
(Bandung: Nuansa Cendekia, 2006), hal 59
[6] Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah
.hal 80
[7] Al- Suyuthiy telah menghimpun
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dari berbagai mukharrij, sebanyak 695
hadis.
[8] Pemalsuan terjadi karena
kepentingan politik antara Ali dan Muawwiyah.
[9] M. Syuhudi Ismail, Ilmu Hadis,
(Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 17
[10]
Sahrani, Sohari, Ulumul
Hadis, (Bogor : Ghalia
Indonesia, .2010) hlm. 177
[11] M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 61
[12]
Ibn Abdurrahman
Asy-Syahrazuwariy Ibn As-Shalah, ‘Ulum al-Hadis, (Madinah: Maktabah
al-Ilmiyyah, 1996), hlm. 123
[13] Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah
Historis dan Metodologi, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 107
[14] Mahmud Thahan, Ilmu Hadits
Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), hlm. 187.
[15] H. Mudasir, Ilmu Hadis (untuk
IAIN, STAIN, dan PTAIS), (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 188.
ISLAM BLOG
BalasHapusISLAM BLOG
BalasHapus