Rabu, 16 Desember 2015

CIRI GERAKAN MUHAMMADIYAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma'ruf nahi munkar dan tajdid yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalam gerakannya, Muhammadiyah mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Untuk maksud dan tujuan tersebut Muhammadiyah melaksanakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar melalui segenap usaha. untuk memajukan kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia, yang memberi makna bagi kehidupan umat manusia pada umumnya. dan menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
Dari sejak semula Muhammadiyah menempatkan diri sebagai salah satu organisasi yang berkhitmat menyebarluaskan ajaran Islam sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qu`ran dan As-Sunah. Lewat gerakan dakwah, Muhammadiyah membersihkan berbagai amalan umat yang terang-terangan menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Muhammadiyah sebagai suatu mata rantai dari gerakan tajdid dan tarjid yang diawali oleh ulama besar Ibnu Taimiyah sudah barang tentu ada kesamaan nafas, ruh, dan semangat, yaitu memerangi secara total terhadap berbagai penyimpangan ajaran Islam seperti syirik, khufarat, bid’ah, dan taqlid. Semua itu merupakan benalu beracun yang dapat merusak aqidah dan ibadah seseorang.
Lebih lanjut  pada makalah ini kami akan menyampaikan Ciri-ciri Gerakan
Muhammadiyah.

B.     Rumusan Masalah
1.         Apa yang dimaksud Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam?
2.         Apa yang dimaksud Muhammadiyah Sebagai gerakan dakwah Islam?

3.         Apa yang dimaksud Muhammadiyah Sebagai gerakan tajdid dan tajrid?

BAB II
CIRI GERAKAN MUHAMMADIYAH

     I.            MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN ISLAM
Perserikatan Muhammadiyah dibangun oleh KH. A. Dahlan  sebagai hasil konkret dari telaah dan pendalaman beliau terhadap Al-Qur`anul Karim. Faktor inilah yang sebenarnya menjadi faktor paling utama mendorong berdirinya Muhammadiyah.
Sementara faktor-faktor lainnya dapat dikatakan sebagai faktor penunjang semata.
Dengan ketelitiannya yang sangat memadai setiap mengkaji ayat-ayat              Al-Qur`an, khususnya ketika menelaah surah Ali Imran ayat 104, maka akhirnya melahirkan amalan konkret yaitu lahirnya Perserikatan Muhammadiyah. Kajian serupa ini terus dikembangkan terhadap ayat-ayat lainnya. Hasil kajian ayat-ayat tersebut, yang oleh KHR. Hadjid dinamakan: ”ajaran KH. A. Dahlan”, didalamnya tergambar secara jelas sekali ruh, jiwa, nafas, semangat Muhammadiyah dalam pengabdiannya kepada Allah SWT.
Dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah, jelaslah bahwa sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi dan disemangati oleh ajaran-ajaran Qur`an. Dan apa yang digerakan oleh Muhammadiyah tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam kehidupan yang real dan konkrit. Segala yang dilakukan Muhammadiyah baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran, kemasyarakatan, kerumah tanggaan, perekonomian dan sebagainya tidak dapat dilepaskan dari ajaran-ajaran Islam. Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud  yang real, konkrit, yang dapat dihayati, dirasakan dan dinikmati oleh umat sebagai “rahmatan lil’alamin”[1]
                
  II.            MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN DAKWAH ISLAM
Ciri kedua dari gerakan Muhammadiyah dikenal sebagai Gerakan Dakwah Islam Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Ciri yang kedua ini telah muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tak terpisahkan dari jati diri Muhammadiyah. Hal ini diakui oleh beberapa pihak yang menyatakan bahwa Muhammadiyah terlihat sebagai  pergerakan  dakwah  yang  menekankan  pengajaran  serta pendalaman nilai-nilai Islam.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa faktor utama yang mendorong berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah berasal dari pendalaman K.H. Ahmad Dahlan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an Al-karim, terutama surat Al-Imran ayat 104. Berdasarkan pada ayat inilah Muhammadiyah meletakkan khittah/strategi dasar perjuangannya, yaitu dakwah (menyeru,mengajak) Islam amar makruf nahi munkar dengan masyarakat sebagai medan atau kancah perjuangannya. Muhammadiyah berkiprah di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai amal usaha yang benar-benar dapat menyatuh hajat orang banyak seperti berbagai ragam lembaga pendidikan dari sejak kanak-kanak hingga perguruna tinggi, membangun sekian banyak rumah sakit, panti-panti asuhan, dan sebagainya. Seluruh amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi untuk perwujudan Islamiah, semua amal usaha diadakan dengan niat dan tujuan yang tunggal, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana (kendaraan) dakwah Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah Shahihah.


III.            MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN TAJDID DAN TAJRID
Ciri ketiga yang melekat pada persyarikatan Muhammadiyah  adalah sebagai gerakan tajdid dan tajrid yaitu:
A.    Pengertian
1.    Tajdid
Istilah tajdid berasal dari bahasa Arab yaitu jaddada, yang berarti memperbaharui atau menjadikan baru. Kata ini pula bentukan dari kata jadda, yajiddu,  jiddan/jiddatan, artinya sesuatu yang ternama, yang besar, nasib baik dan baru. Bisa juga berarti membangkitkan, menjadikan, (muda, tangkas, kuat). Dapat pula berarti memperbaharui, memperpanjang izin, dispensasi, kontrak.
Tajdid bermakna,
a.    Proses penggeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup  sesuai dengan tutunan hidup masa  kini.[2]
b.    Menemukan kembali substansi agama untuk pemaknaan baru dalam pengungkapannya dalam suatu konteks baru yang berubah, baik melalui purifikasi maupun dinamisasi.  Purifikasi atau pemurnian ialah mengembalikan ajaran Islam pada yang asli sebagaimana telah ditentukan segala sesuatunya secara baku dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang sahih khususnya yang menyangkut ibadah dan akidah. Sedangkan dinamisasi atau pembaruan ialah memperbarui urusan-urusan keagamaan sesuai pesan substansial (sesungguh-pen) ajaran Islam, lebih khusus di bidang mu’amalat dunyawiyah [3]

Orang yang melakukan pembaruan disebut Mujaddid.
2.    Tajrid
Istilah tajrid berasal dari bahasa Arab berarti pengosongan, pengungsian, pengupasan, Pelepasan atau pengambil alihan.[4]
Sedangkan tajrid dalam bahasa Indonesia berarti pemurnian. Istilah ini, tidak sepopuler ketika menyebut istilah tajdid, sekalipun yang dimaksudkan adalah memurnikan hal-hal yang bersifat khusus.
Dalam ibadah kita tajrid, hanya ikut Nabi saw. dan tidak  ada pembaruan. Sedang dalam muamalah kita tajdid, yakni melakukan modernisasi dan pembaruan.

B.  Model-Model Tajrid dan Tajdid Muhammadiyah.
A.  Model-Model Tajrid Muhammadiyah.
     Dalam bidang kepercayaan dan ibadah, Muhammadiyah senantiasa menekankan agar tegaknya Islam yang benar sesuai yang dicontohkan nabi Muhammad SAW, tidak dirusak oleh berbagai macam bid’ah, khurafat, dan tahayul yang dapat mengkikis nilai-nilai Islam itu sendiri.
Khurafat adalah kepercayaan tanpa pedoman yang sah dari  al-Qur’an dan as-Sunnah. Hanya ikut-ikutan orang tua atau nenek moyang. Sedangkan bid’ah biasanya muncul karena ingin memperbanyak ritual tetapi pengetahuan Islamnya kurang luas, sehingga yang dilakukan adalah bukan dari ajaran Islam. Misalnya selamatan dengan kenduri dan tahlil dengan menggunakan lafal Islam, upacara selamatan, dalam berbagai peristiwa, seperti:  
§  kelahiran, khitan,
§  perkawinan, kematian, pindah rumah, panen,
§  ganti nama, dan sejenisnya.

Namun, diantara macam-macam selamatan yang paling menonjol adalah selamatan kematian, yaitu terdiri dari tiga hari, empat puluh hari, seratus hari, dan kahul. Selamatan ini selalu diringi dengan membaca tahlil sebagai cara mengirim do’a kepada si mayit. Bentuk khurafat lain yang biasa dilakukan adalah penghormatan kuburan orang-orang suci, sambil meminta do’a restu, jimat, benda-benda pusaka dianggap mempunyai kekuatan ghaib yang mampu melindungi..
Realitas sosio-agama yang dipraktikkan masyarakat inilah yang mendorong Ahmad Dahlan melakukan pemurnian melalui organisasi Muhammadiyah.

B.  Model-Model Tajdid Dalam Muhammadiyah
a.    Kongkrit dan produktif, yaitu melalui amal usaha yang didirikan, hasilnya kongkrit dapat dirasakan dan dimanfaatkan oleh umat Islam, bangsa Indonesia dan umat manusia di seluruh dunia. Suburnya amal saleh di lingkungan aktivis Muhammadiyah ditujukan kepada komunitas Muhammadiyah, bangsa dan kepada seluruh umat manusia di dunia dalam rangka rahmatan lil alamin.
b.Tajdid Muhammadiyah bersifat terbuka. Maksud dari keterbukaan tersebut, Muhammadiyah mampu mengantisipasi perubahan dan kemajuan di sekitar kita. Dari sekian amal usahanya, rumah sakitnya misalnya, dapat dimasuki dan dimanfaatkan oleh siapapun. Sekolah sampai kampusnya boleh dimasuki dan dimanfaatkan oleh siapa saja. Kalau Muhammadiyah mendirikan lembaga ekonomi dan usaha atau jasa, maka yang menjadi nasabah, partner dan komsumennya pun bisa siapa saja yang membutuhkan.
c.    Tajdid Muhammadiyah sangat fungsional dan selaras dengan cita-cita Muhammadiyah untuk menjadikan Islam itu, sebagai agama yang berkemajuan, juga Islam yang berkebajikan yang senantiasa hadir sebagai pemecah masalah-masalah (problem solv), temasuk masalah kesehatan,pendidikan, dan masalah sosial ekonomi.
Dengan demikian,
·         Tajdid dalam bidang muamalah yaitu berbasis pada upaya dinamisasi, elaborasi, berbasis perubahan menuju capaian prestasi yang berkualitas. Suatu saat nanti apa yang diusahakan Muhammadiyah hendaknya tampil menjadi pusat-pusat keunggulan, seperti sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi, lembaga-lembaga ekonomi.
·         Sedangkan tajdid dalam bidang akidah dan ibadah mahdah bukan dalam makna dinamisasi, tetapi yang tajdid yang berwajah tajrid, yaitu purifikasi atau pemurnian ajaran Islam. Artinya untuk masalah akidah dan ibadah mahdhah, hanya mencukupkan diri dari apa yang dapat dirujuk pada al-Qur’an dan hadis atau apa yang dicontohkan Nabi Muhammad saw.
         Dengan cara itu, manusia memiliki kesempatan untuk melakukan pengayaan makna dan pendalaman hakikat dari fungsi agama Islam itu sendiri di tengah kehidupan. Arah kita menjadi jelas, orientasi kehidupan individu dan masyarakat juga menjadi jelas, basis nilainya menjadi jelas, meskipun kita hidup  di tengah zaman yang rumit, terus berubah dan berhadapan dengan keanekaragaman gejala kehidupan. Spirit rahmatan lil alamin juga menjadi tidak mengawang-awang.
         Fungsi tajdid di bidang ini, adalah untuk membuat aktif dan hidup keimanan kita dalam perilaku, dan tajdid Muhammadiyah tidak untuk membekukan keimanan kita dalam perangkat formalisme istilah atau konsep belaka, sehingga keimanan kita akan memiliki fungsi sosial yang kaya. Dalam konteks inilah, kita dapat memahami kenapa begitu banyak ayat al-Qur’an yang selalu menggandengkan antara iman dan amal saleh. Iman adalah pilihan teologis dan amal shaleh adalah ekpresi teologis yang selaras dengan iman. Iman tanpa amal saleh akan kehilangan pijak sosialnya, dan amal tanpa iman kehilangan arah dan tujuannya.
        
C.  Pengaruh Pergerakan Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Islam.
Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh telah memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya ditampilkan secara otentik dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang asli yakni           Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia dari serba ketertinggalan menuju pada dunia kemajuan.
Fenomena baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran Muhammadiyah ialah, bahwa gerakan Islam yang murni dan berkemajuan itu dihadirkan bukan lewat jalur perorangan, tetapi melalui sebuah sistem organisasi. Menghadirkan gerakan Islam melalui organisasi merupakan terobosan waktu itu, ketika umat Islam masih dibingkai oleh kultur tradisional yang lebih mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti lembaga pesantren dengan peran kyai yang sangat dominan selaku pemimpin informal.

Organisasi jelas merupakan fenomena modern abad ke-20, yang secara cerdas dan adaptif telah diambil oleh Kyai Dahlan sebagai “washilah” (alat, instrumen) untuk mewujudkan cita-cita Islam. Mem-format gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks kelahiran Muhammadiyah, juga bukan semata-mata teknis tetapi juga didasarkan pada rujukan keagamaan yang selama ini melekat dalam alam pikiran para ulama mengenai qaidah “mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bihi fa huwâ wâjib”, bahwa jika suatu urusan tidak akan sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi wajib adanya.
Selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan modern yang telah melakukan perubahan dalam kehidupan keagamaan, sosial, budaya, dan politik. Selain itu, tajdid dalam pandangan Muhammadiyah merupakann salah satu bentuk implementasi nilai ajaran Islam setelah meninggalnya Nabi. Munculnya Gerakan tajdid sebagai jawaban terhadap tantangan kemunduran yang dialami dan atau tantangan terhadap kemajuan oleh kaum muslimin. Juga didasarkan pada landasan teologis yang menyebutkan perlunya pembaruan setiap seratus tahun.[5]

 BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan,
§  Perserikatan Muhammadiyah dibangun oleh KH. A. Dahlan, sebagai gerakan Islam berdasarkan hasil  konkret telaah dan pendalaman beliau terhadap Al-Qur`anul Karim. surah Ali Imran ayat 104,
§  Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah (menyeru,mengajak) Islam amar makruf nahi munkar dengan masyarakat sebagai medan atau kancah perjuangannya. Muhammadiyah berkiprah ditengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai amal usaha yang benar-benar dapat menyatuh hajat orang banyak.
§  Tajdid dan tajrid yang dilakukan Muhammadiyah sangatlah berarti untuk memurnikan serta meluruskan akidah umat Islam yang menyimpang dari ajaran sebenarnya yakni  Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi yang sahih,.
§  Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh telah memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan.

B.     SARAN
Hendaknya pembaruan selalu terjadi dan terus berkembang di dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial. Semuanya yang dilakukan harus dijalankan dengan tindakan nyata.  Insya  Allah.


DAFTAR  PUSTAKA

Anwar. Syamsul. M.  2005. Manhaj Ijtihad/Tajdid dalam Muhammadiyah. dalam Mifedwil Jandra & Safar Nasir. Editor. Tajdid Muhammadiyah untuk Pencerahan Peradaban. Yogyakarta. UAD Press.
Atabik. Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, 1999. Kamus Komtemporer. Yogyakarta: Multi Karya Grapika,
http//Wahyun mawardi. Dosen AIK Stie muhammadiyah mamuju. MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN ISLAM YANG BERWATAK TAJRID DAN TAJDID. Diterbitkan oleh Suparman Irawan.
http//jsnurul.  November 12, 2012  muhammadiyah sebagai gerakan islam
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Mukhtarom, Asrori. S.H., M.A dan Milana Abdillah, S.Pd.I. M.A. 2015. STUDI PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN. editor: Lukmanul Hakim S.Pd.I. M.Pd.I. 



[1] http//jsnurul.  November 12, 2012  muhammadiyah sebagai gerakan islam
[2] Asrori Mukhtarom, S.H., M.A dan Milana Abdillah, S.Pd.I. M.A. 2015. STUDI PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN. editor: Lukmanul Hakim S.Pd.I. M.Pd.I. H. 2
[3] M. Syamsul Anwar. 2005.  Manhaj Ijtihad/Tajdid dalam Muhammadiyah. dalam Mifedwil Jandra & Safar Nasir. Editor. Tajdid Muhammadiyah untuk Pencerahan Peradaban. Yogyakarta. UAD Press. H. 71
[4] Ali Atabik dan A. Zuhdi Muhdlor, 1999. Kamus Komtemporer. Yogyakarta: Multi Karya Grapika, H. 410.
[5] http//Wahyun mawardi. Dosen AIK Stie muhammadiyah mamuju. MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN ISLAM YANG BERWATAK TAJRID DAN TAJDID. Diterbitkan oleh Suparman Irawan,

Jumat, 20 November 2015

QAWAID FIQHIYYAH

.   al-Qawaid al-Khamsah)

  1- Kaidah yang berkaitan dengan niat
a.       Teks kaidahnya
الأُ مُورُ بِمِقَا صِدَ هَا
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”
b.      Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-Bayyinah ayat 5 dan Hadits Nabi SAW.

2.      Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan
a.       Teks kaidahnya
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian”.
b.      Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu Hadits Nabi

3.      Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan
a.       Teks kaidahnya
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
b.      Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 185 dan Hadits Nabi SAW.


4.      Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan
a.       Teks kaidahnya
الضَرَرُيُزَالُ
“Kemudaratan harus dihilangkan”.
b.      Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-A’raf ayat 55 dan Hadits Nabi SAW.

5.      Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan
a.       Teks kaidahnya
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hokum”.
b.      Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah an-Nisa ayat 19 dan Hadits Nabi SAW

Pengertian Ibadah Dalam Islam

A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya
melalui lisan para Rasul-Nya.

2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah).
Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah)

B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).

Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ

“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]

Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4].
Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”

C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b.   Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.” 

Sebagaimana Allah berfirman:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]

Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[7]

Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya adalah sebagai berikut:

1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]

2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.

3. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).

4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.

D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela. 
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.

Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.

Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.

Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.

Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]

Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.

Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.

eutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.
[2]. lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang
berdosa besar adalah kafir.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).
[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.
[9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.