Jumat, 20 November 2015

QAWAID FIQHIYYAH

.   al-Qawaid al-Khamsah)

  1- Kaidah yang berkaitan dengan niat
a.       Teks kaidahnya
الأُ مُورُ بِمِقَا صِدَ هَا
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”
b.      Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-Bayyinah ayat 5 dan Hadits Nabi SAW.

2.      Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan
a.       Teks kaidahnya
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian”.
b.      Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu Hadits Nabi

3.      Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan
a.       Teks kaidahnya
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
b.      Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 185 dan Hadits Nabi SAW.


4.      Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan
a.       Teks kaidahnya
الضَرَرُيُزَالُ
“Kemudaratan harus dihilangkan”.
b.      Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-A’raf ayat 55 dan Hadits Nabi SAW.

5.      Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan
a.       Teks kaidahnya
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hokum”.
b.      Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah an-Nisa ayat 19 dan Hadits Nabi SAW

Pengertian Ibadah Dalam Islam

A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya
melalui lisan para Rasul-Nya.

2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah).
Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah)

B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).

Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ

“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]

Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4].
Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”

C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b.   Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.” 

Sebagaimana Allah berfirman:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]

Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[7]

Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya adalah sebagai berikut:

1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]

2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.

3. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).

4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.

D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela. 
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.

Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.

Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.

Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.

Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]

Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.

Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.

eutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.
[2]. lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang
berdosa besar adalah kafir.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).
[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.
[9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.


Kamis, 29 Oktober 2015

AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Permasalahan umat Islam di dunia ini setiap hari makin berkembang dan kompleks. Keberadaan nash al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai referensi utama semua hukum hanya mencakup permasalahan-permasalahan yang sangat global, sedangkan permasalahan manusia sangat beragam bentuknya. Para ulama menggunakan berbagai metode ijtihad yang digunakan untuk menggali hukum-hukum yang ada dalam literatur nash.
Metode ijtihad yang beragam itu ada yang disepakati oleh semua ulama tentang kehujjahannya, namun ada pula yang masih diperselisihkan para ulama dalam hal kehujjahannya. Salah satu metode ijtihad yang masih diperselisihkan adalah al-Mashlahah al-Mursalah. Berikut ini beberapa rumusan masalah sekaligus pembahasannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian al-Mashlahah al-Mursalah?
2.      Apa pembagian/macam-macam al-Mashlahah al-Mursalah?
3.      Apa syarat-syarat penggunaan al-Mashlahah al-Mursalah sebagai metode ijtihad?
4.      Bagaimanakah kehujjahan al-Mashlahah al-Mursalah?
5.      Apa contoh al-Mashlahah al-Mursalah?



BAB II
PEMBAHASAN
AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH


A.    PENGERTIAN

Al-Mashlahah al-Mursalah terdiri dari dua kata yaitu mashlahah dan mursalah. Kata mashlahah menurut bahasa artinya “manfa`at” dan kata mursalah berarti “lepas”. Seperti dikemukakan Abdul Wahab Kallaf berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya.[1]
Berdasarkan Istiqra` (penelitian emperis) dan nash-nash al-Qur`an maupun Hadis diketahui bahwa hukum-hukum syari`at Islam mencakup diantaranya pertimbangan kemaslahatan manusia. Allah Swt, berfirman:

وَمَا أَرْ‌سَلْنَاكَ إِلَّا رَ‌حْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS al-Anbiya [21]: 107)

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّ‌بِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ‌ وَهُدًى وَرَ‌حْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Yunus [10]: 57)

Maslahat ini dapat ditangkap jelas bagi orang yang mempunyai kemauan berfikir (intelektual), meskipun bagi sebagian orang masih dirasakan samar atau mereka berbeda pendapat mengenai hakekat maslahat tersebut. Perbedaan persepsi tentang maslahat itu sebenarnya bermula dari perbedaan kemampuan intelektualitas orang-perorang sehingga tidak diketemukan hakekat maslahat yang esensial (mendasar-pen.) yang terdapat dalam hukum Islam atau terpengaruh pada keadaan yang bersifat temporal, atau diambil berdasarkan pandangan yang bersifat lokalistik atau personal, sebagai contoh:
a.       Sebagian orang menganggap adanya maslahat tentang diperbolehkannya mengambil “bunga” (tambahan atas pinjaman). Akibatnya kebolehan mengambil bunga itu dilakukan secara berlebihan (melampaui batas) dan menjadi gejala fenomenal di tengah masyarakat. Mereka berpendapat bahwa bunga tidak termasuk di dalam pengertian umum tentang riba yang diharamkan berdasarkan nash al-Qur`an.
b.      Sebagian orang yang terbius oleh hawa nafsunya berani menyatakan bahwa tidak ada kemaslahatan sama sekali mengenai ditetapkannya saksi hukuman jilid (dera) bagi pelaku zina laki-laki dan perempuan.
c.       Anggapan bahwa kemaslahatan dalam meminum arak (khamar) itu melebihi kemudharatannya.
Pandangan-pandangan semacam itu adalah karena dipengaruhi oleh pemikiran sekelompok orang yang berusaha melepaskan diri dari ikatan ajaran keagamaan yang dianggap sempit, dan jadilah pemikiran mereka itu diperbudak oleh kenyataan yang relatif.[2]

B.     MACAM-MACAM  AL-MASHLAHAT

Al-Mashlahat ditinjau dari kesesuaiannya dengan kesaksian syariat Islam, dengan tujuan dari syariat Islam itu sendiri, terbagi menjadi 3 yaitu:[3]

1.      Al-Mashlahah al-Mu’tabarah (المصلحة المعتبرة),
yaitu mashlahat yang diperhitungkan oleh syara’. Maksudnya adalah mashlahat yang didukung oleh dalil syara’ untuk memeliharanya. Dalil syara’ tersebut bisa langsung maupun tidak langsung dalam memberikan petunjuk. Dalam hal tersebut, mashlahat terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
a)      Al-Munaasib al-muatstsir (المناسب المؤثر),
yaitu mashlahat yang ada petunjuk langsung dari Syari’, baik berupa nash, ijma’ maupun qiyas. Contohnya seperti mashlahat yang terdapat dalam larangan mendekati perempuan yang sedang dalam keadaan menstruasi dengan alasan menstruasi itu adalah penyakit. Kemaslahatan dari larangan tersebut adalah menjauhkan diri dari kerusakan atau penyakit. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an.

يَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ
b)      Al-Munaasib al-mulaaim (المناسب الملائم),
yaitu mashlahat yang tidak ada dalil syara’ secara langsung yang menunjukkannya, baik berupa nash, ijma’ atau qiyas. Namun ada dalil yang secara tidak langsung menunjukkan kepadanya. Contohnya seperti diperbolehkannya jama’ shalat bagi orang yang muqim (penduduk setempat) karena hujan. Keadaan hujan ini memang tidak pernah dijadikan alasan untuk hukum jama’ shalat, namun syara’ melalui ijma’ menetapkan keadaan yang sejenis dengan hujan, yaitu “dalam perjalanan” menjadi alasan untuk bolehnya jama’ shalat.

Mashlahat yang mu`tabarah (dapat diterima) merupakan mashlahat yang bersifat hakiki, yaitu meliputi 5 jaminan dasar:
1)      Keyakinan Agama (al-Muhafazhah al ad-Din), yaitu dengan menghindarkan timbulnya fitnah dan keselamatan dalam agama serta mengantisipasi dorongan hawa nafsu dan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada kerusakan secara penuh. Karenanya Allah Swt. berfirman:
لَا إِكْرَ‌اهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّ‌شْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”
(QS Al-Baqarah [2]: 256)
2)      Keselamatan Jiwa (al-Muhafazhah ala an-Nafs), ialah jaminan keselamatan atas hak hidup yang terhormat dan mulia. Termasuk dalam cakupan pengertian umum dari jaminan ini ialah: jaminan keselamat nyawa, anggota badan dan terjaminnya kehormatan kemanusiaan. Mengenai yang terakhir ini meliputi:
§  kebebasan memilih profesi,
§  kebebasan berfikir/mengeluarkan pendapat,
§  kebebasan berbicara,
§  kebebasan memilih tempat tinggal,
§  dan lain sebagainya.
3)      Keselamatan akal (al-Muhafazhah alal `Aql), ialah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat, sumber kejahatan atau bahkan menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat preventif (mencegah-pen.) yang dilakukan syari`at Islam sesungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal fikiran dan menjaganya dari berbagai hal yang membahayakan. Diharamkannya minuman arak dan segala yang memabukkan/menghilangkan daya ingatan adalah dimaksudkan untuk menjamin keselamatan akal.
4)      Keselamatan keluarga dan keturunan (al-Muhafazhah alan-Nasl), ialah jaminan kesejateraan populasi umat manusia agar tetap hidup dan berkembang sehat dan kokoh, baik pekerti serta agamanya. Hal ini dapat dilakukan melalui penataan kehidupan rumah tangga dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anak agar memiliki kehalusan budi pekerti dan tingkat kecerdasan yang memadai.
5)      Keselamatan harta benda (al-Muhafazhah alal-Mal), yaitu dengan meningkatkan kekayaan secara proporsional melalui cara-cara halal, bukan mendominasi kehidupan perekonomian dengan cara yang lalim dan curang.
Kelima jaminan dasar tersebut di atas merupakan tiang penyangga kehidupan dunia agar umat manusia dapat hidup aman dan sejahtera.[4]

2.      Al-Mashlahah al-Mulghah (المصلحة الملغاة),
yaitu mashlahat yang diabaikan. Maksudnya adalah mashlahat yang dianggap baik oleh akal namun tidak ada dalil syara’ yang memperhatikannya bahkan ada dalil yang menolaknya. Contohnya pada masa kini masyarakat telah mengakui adanya emansipasi wanita untuk menyamakan kedudukan derajatnya dengan laki-laki. Akal menganggap adanya mashlahat dengan menyamakan hak wanita dengan hak laki-laki dalam hal warisan. Hal inipun dianggap sejalan dengan tujuan ditetapkannya hukum waris oleh Allah. Padahal hukum Allah telah jelas yaitu hak waris anak laki-laki itu sama dengan dua kali lipatnya hak waris anak perempuan, dan hal ini ternyata berbeda dengan apa yang dianggap oleh akal tersebut. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an:

 يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِيْ أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ  
“Allah mensyariatkan pada kalian semua (tentang bagian warisan) untuk anak-anak kalian, yaitu untuk laki-laki dua kali bagian perempuan.”
(QS. An-Nisa [4]: 11)

3.      Al-Mashlahah al-Maskuut ‘anha (المصلحة المسكوت عنها),
yaitu mashlahat yang dianggap baik oleh akal serta tidak didukung maupun tidak ditentang oleh dalil syara’ yang khusus, akan tetapi kemaslahan tersebut sejalan dengan dalil ‘aam kulliy. Sehingga mashlahat tersebut tidak didasarkan pada dalil khas tertentu tapi didasarkan pada maqaashid asy-syarii’ah (tujuan-tujuan syari`). Mashlahat ini disebut dengan al-Mashlahah al-Mursalah.

C.     SYARAT AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH
Imam Malik adalah Imam Madzhab yang menggunakan dalil Mashlahah Mursalah. Untuk menerapkan dalil ini, beliau mengajukan tiga syarat yaitu:
1.      Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari`at (maqashid as-syari`ah). Dengan adanya persyaratan ini, berarti maslahat tidak boleh menegaskan sumber dalil yang lain, atau bertentangan dengan dalil yang qat`iy (pasti/ tetap/mutlak-pen). Akan tetapi harus sesuai dengan maslahat-maslahat yang memang ingin diwujudkan oleh Syar`i. Misalnya, jenis maslahat itu tidak asing, meskipun tidak diperkuat dengan adanya dalil khas.
2.      Maslahat itu harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, di mana seandainya diajukan kepada kelompok rasionalis akan dapat diterima.

3.      Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang masih terjadi (rafu haraj lazim). Dalam pengertian, seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan. Allah Swt. berfirman,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَ‌جٍ
‘…..dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan….” (QS. al-Hajj [22]: 78)
Syarat-syarat di atas adalah syarat-syarat yang masuk akal yang dapat mencegah penggunaan sumber dalil ini (maslahat mursalah) tercabut dari akarnya (menyimpang dari esensinya) serta mencegah dari terjadinya nash-nash tunduk kepada hukum-hukum yang dipengaruhi hawa nafsu dan syahwat dengan Mashlahah Mursalah.[5]

D.    KEHUJJAHAN AL-MARSHLAHAH AL-MURSALAH.

Mencegah kerusakan dan menarik kemanfaatan merupakan dasar dari tujuan syariat Islam yang disepakati oleh para ulama. Tetapi para ulama berbeda pendapat dalam penggunaan al-Mashlahah al-Mursalah sebagai hujjah[6]. Para ulama yang berpendapat bahwa al-Mashlahah al-Mursalah merupakan bagian dari pencegahan kerusakan dan penarikan kemanfaatan maka menganggapnya sebagai dalil dan bisa dijadikan hujjah. Sedangkan para ulama yang tidak berpendapat demikian bahkan berpendapat bahwa al-Mashlahah al-Mursalah termasuk membuat syariat berdasarkan pada nalar dan pembuatan hukum berdasarkan akal dan hawa nafsu menganggapnya bukan termasuk dalil syara’ dan tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
Imam Malik beserta para pengikutnya adalah kelompok yang secara jelas menggunakan al-Mashlahah al-Mursalah sebagaimana telah disebutkan, mengemukakan tiga alasan sebagai berikut:
1.      Praktek para sahabat yang telah menggunakan Mashlahah Mursalah, diantaranya:
§  Sahabat mengumpulkan al-Qur`an ke dalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah Saw. Alasan yang mendorong mereka melakukan pengumpulan itu tidak lain kecuali semata-mata karena maslahat, yaitu menjaga al-Qur`an  dari kepunahan atas kehilangan kemutawatirannya karena meninggalnya sejumlah besar hafidh dari generasi sahabat. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ‌ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya’(QS. Al-Hijr [15]: 9)
2.      Adanya Maslahat sesuai dengan muqasid as-Syari` (tujuan-tujuan syari`), artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan muqasid as-Syari`. Sebaliknya mengesampingkan maslahat berarti mengesampingkan muqasid as-Syari`. Sedang mengesampingkan muqasid as-Syari`. Adalah batal. Oleh karena itu, adalah wajib menggunakan dalil maslahat atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak keluar dari ushul (sumber-sumber pokok), bahkan terjadi sinkronisasi antara maslahat dan muqasid as-Syari`
3.      Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat selama berada dalam konteks maslahat-maslahat syari`iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.. Allah Swt.berfirman:
يُرِ‌يدُ اللَّـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ‌ وَلَا يُرِ‌يدُ بِكُمُ الْعُسْرَ‌
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Sedangkan pandangan para ulama dari golongan Hanafi terhadap al-Mashlahah al-Mursalah ini terdapat penukilan yang berbeda. Menurut al-Amidi banyak ulama yang beranggapan bahwa ulama Hanafiyyah tidak mengamalkannya. Namun menurut Ibnu Quddamah sebagian ulama Hanafiyyah menggunakan al-Mashlahah al-Mursalah. Tampaknya ulama yang berpendapat bahwa sebagian ulama Hanafiyyah menggunakan metode ini lebih tepat, karena kedekatan metode ini dengan al-Istihsan yang populer di kalangan ulama Hanafiyyah.[7]
Ulama Syafi’i tampaknya tidak menggunakan al-Mashlahah al-Mursalah dalam berijtihad. Pendapat ini didukung oleh al-Amidi dan Ibn al-Hajib. Menurut Ibn al-Hajib, sesuatu yang tidak ada dalilnya itu disebut mursal. Akan tetapi kalau gharib atau ada pembatalnya maka dalil itu ditolak secara sepakat. Adapun bila dalilnya sesuai, maka Imam al-Ghazali memakainya, dia menerimanya dari Asy-Syafi`i dan Malik.Namun yang lebih utama adalah menolaknya.[8]
Ulama Hanabilah menurut pendapat yang shahih mengatakan bahwasanya al-Mashlahah al-Mursalah tidak memiliki kekuatan hujjah dan tidak boleh melakukan ijtihad dengan menggunakan metode ini.[9]

E.     TAMBAHAN CONTOH AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH

Beberapa tambahan contoh al-Mashlahah al-Mursalah di antaranya:
1.      Di dalam al-Qur`an dan Hadis tidak terdapat dalil yang menyuruh dan melarang “pengumpulan al-Qur`an”. Tetapi karena dalam hal tersebut terdapat satu makna yang mengandung kemaslahatan menurut pertimbangan akal, maka hal yang demikian dilakukan.
2.      Larangan “minum racun” tidak terdapat dalam al-Qur`an dan Hadis dengan tegas, tetapi dalam hal ini akal menetapkan akan makna kerusakan yang dikandungnya, Oleh karena itu ditetapkanlah bahwa terlarang meminumnya.[10]


BAB III
PENUTUP

Simpulan,
Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
§  Al-Mashlahah al-Mursalah adalah maslahat atau manfa’at yang tidak disyariatkan oleh Syari’ dalam wujud hukum dalam rangka menciptakan kemaslahatan, bersamaan dengan tidak adanya dalil khusus yang membenarkan ataupun menyalahkannya.
§  Untuk menerapkan Mashlahah Mursalah, Imam Malik yang merupakan Imam Madzhab yang menggunakan dalil ini, mengajukan tiga syarat yaitu:
1.      Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari`at (maqashid as-syari`ah).
2.      Maslahat itu harus masuk akal (rationable),
3.      Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang masih terjadi (rafu haraj lazim).
§  Para ulama yang berpendapat bahwa al-Mashlahah al-Mursalah merupakan bagian dari pencegahan kerusakan dan penarikan kemanfaatan maka menganggapnya sebagai dalil dan bisa dijadikan hujjah. Sedangkan para ulama yang tidak berpendapat demikian bahkan berpendapat bahwa al-Mashlahah al-Mursalah termasuk membuat syariat berdasarkan pada nalar dan pembuatan hukum berdasarkan akal dan hawa nafsu menganggapnya bukan termasuk dalil syara’ dan tidak bisa digunakan sebagai hujjah.


DAFTAR PUSTAKA

Zahrah, Abu, Muhamad, Prof., Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 vol. II,
Efendi, Satria, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2005
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1998
Djalil, Basiq, A., S.H., M.A., Drs., H., Ilmu Ushul Fiqh (satu & dua), Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2010.




[1] Satria Efendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), H. 148-149
[2] Prof. Muhamad Abu Zahrah, , Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), H. 450-451
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), vol. II, H. 329.
[4] Prof. Muhamad Abu Zahrah, H. 451-452
[5] Prof. Muhamad Abu Zahrah, H. 454
[6] Hujjah atau Hujjat (bahasa Arab: الحجة) adalah istilah yang banyak digunakan di dalam              Al-Qur'an dan literatur Islam yang bermakna tanda, bukti, dalil, alasan atau argumentasi. Sehingga kata kerja "berhujjah" diartikan sebagai "memberikan alasan-alasan". Kadangkala kata hujjah disinonimkan dengan kata burhan, yaitu argumentasi yang valid, sehingga dihasilkan kesimpulan yang dapat diyakini dan dipertanggungjawabkan akan kebenarannya.
[7] Amir Syarifuddin, H. 336.
[8] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), H. 122
[9] Amir Syarifuddin, H. 337
[10] Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., Ilmu Ushul Fiqh (satu & dua), (Jakarta: Kencana  Prenadamedia. 2010), H. 64