Sabtu, 24 Mei 2014

Khazanah Pemikiran Ulama Islam Sebagai Sumber Pengembangan
Ilmu Pendidikan Islam



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pasang surut perjalanan pemikiran kependidikan Islam diyakini tidak lepas dari interaksi akumulasi dengan peradaban-peradaban di sekitar perkembangan Islam. Perkembangan pemikiran kependidikan lebih dijiwai oleh semangat normatif dan historis. Normatif, dilatarbelakangi perkembangan pemikiran pendidikan yang dijiwai oleh ajaran dasar yang bersumber dari al-Qur`an dan Hadits. Historis, disebabkan wujud respons terhadap berbagai persoalan hidup umat Islam dalam banyak dimensi kehidupan. Pada konteks ini, sejarah pemikiran mengalami pasang surut perkembangan. Sejak masa Nabi Muhammad saw, Khulafaur al-Rasyidhin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, tabiin, tabit al-Attabiin, dan setelahnya.
Dalam catatan sejarah, perkembangan pemikiran kependidikan Islam diawali ketika Dinasti Abbasiyah mengalami renaissance. Saat itu pemikiran kependidikan Islam tampak pada titik kulminasi (puncak tertinggi).Sedangkan titik baliknya terjadi pada masa-masa ketika sebagian besar pemikiran-pemikiran ilmuwan Islam mengalami kemandekan sampai abad ke-14.[1] Kemudian baru pada abad ke 19 sebagai abad kebangkitan Islam, mulai ada respon  terhadap ilmu-ilmu pengetahuan modern.
Sejarah juga mencatat munculnya tokoh-tokoh atau “pahlawan” dari kalangan ulama Islam yang mempunyai andil dalam pengembangan Ilmu Pendidikan Islam melalui pemikiran-pemikiran mereka. Dari sekian banyak di antara mereka, untuk skala dunia tercatat di antaranya, Imam Al Ghazali, Ibnu Khaldun, Hasan Al-Banna dll, dan juga terdapat ulama di Indonesia seperti, K.H. Ahmad Dahlan, H.O.S Tjokroaminoto dll
Hal ini telah terjadi dan akan terus terjadi dari mereka yang memiliki sikap atau prinsip dengan tetap berpegang teguh pada ajaran Islam yang benar dan lurus. Jika boleh dikatakan bahwa mereka mampu mencapai puncak hingga peringkat sebagai pengemban dan pembawa manhaj Ilahi dari generasi pertama umat Islam, dan tugas dari generasi muda Islam adalah mengenang para “pahlawan”nya dan mengapresiasi para syuhada di  jalannya, sehingga kelak mereka menjadi panutan yang dapat memberikan pencerahan dan petunjuk bagi generasi setelahnya.     
Di dalam penyusunan makalah ini, kami akan menyampaikan pemikiran-pemikiran ulama Islam dalam hal upaya mereka untuk pengembangan kaidah Pendidikan Islam dengan pola pemikirannya. Dan sudah selayaknyalah kita menelaah lebih jauh bagaimana sistem pendidikan yang diterapkan oleh tokoh-tokoh tempo dulu yang membawa kemajuan pada Pendidikan Islam dahulu sampai sekarang.
Banyak hal yang berkaitan dengan hal itu yang harus kita bahas lebih jauh untuk mendapatkan pelajaran dan ilmu baru sekaligus mengimplementasikannya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia Pendidikan Islam dan Global (konvensional).
B.     Rumusun masalah
1.      Rumusun masalah yang  diangkat dalam makalah ini antara lain; Pengertian  Pemikiran dan Pengembangan Ilmu Pendidikan  Islam?.
2.      Siapa-siapa tokoh Ilmu Pendidikan Islam?
3.      Apa pemikiran mereka yang menjadi sumber pengembangan Ilmu Pendidikan Islam? 
C.     Tujuan:
1.      Mengenal tokoh-tokoh Pendidikan Islam melalui pemikiran-pemikiran mereka yang menjadi rujukan pengembangan Ilmu Pendidkan Islam.
2.      Sebagai tambahan ilmu khususnya bagi mahasiswa PAI agar dapat berfikir analitis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam menghadapi berbagai praktek di bidang pendidikan untuk mengkaji dan menelaah lebih lanjut mengenai pemikiran dan teori-teori yang dibangun oleh para pendahulunya guna pengembangan Ilmu Pendikan Islam ke depan.


BAB II
Khazanah Pemikiran Ulama Islam Sebagai Sumber Pengembangan
Ilmu Pendidikan Islam

A.    Pengertian
1.      Pemikiran.
Secara etimologi pemikiran dapat diartikan sebagai upaya cerdas (ijtihady) dari proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari penyelesaiannya secara bijaksana.
2.      Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam.
            Istilah pengembangan dapat bermakna kuantitatif dan kualitatf. Secara kuantitatif, bagaimana menjadikan ilmu pendidikan Islam lebih besar, merata dan meluas pengaruhnya dalam konteks pendidikan pada umumnya. Secara kualitatif, bagaimana menjadikan pendidikan Islam lebih baik, bermutu dan lebih maju sejalan dengan dasar atau nilai-nilai Islam yang tetap bisa merespon dan mengantisipasi berbagai tantangan pendidikan. Termasuk dalam pengertian kualitatif adalah bagaimana mengembangkan pendidikan Islam agar bisa menjadi bangunan keilmuan dan kokoh yang memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan masyarakat nasional dan trans-nasional serta pengembangan iptek.
Dengan demikian yang dimaksud dengan pemikiran pengembangan Ilmu Pendidkan Islam adalah proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah peradaban pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna.
Dengan kata lain yang dimaksud dengan pemikiran pengembangan Ilmu Pendidkan Islam adalah bagaimana mengembangkan Pendidikan Islam sehingga memiliki kontribusi yang signifikan bagi pembangunan masyarakat dan pembangunan iptek, bagaimana mengembangkan model-model Pendidikan Islam yang lebih kreatif dan inovatif dengan tetap komitmen terhadap dimensi fondasionalnya, bagaimana menggali masalah-masalah operasional dan actual Pendidikan Islam untuk dibidik dari dimensi fondasional dan strukturalnya, serta bagaimana mengembangkan pemikiran Pendidikan Islam sebagaimana tertuang dan terkandung dalam literatur-literatur Pendidikan Islam.[2]
Pemikiran  pengembangan Ilmu Pendidikan Islam mengajak seseorang untuk berfikir analitis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam menghadapi berbagai praktek di bidang pendidikan untuk dikaji dan ditelaah lebih lanjut mengenai pemikiran dan teori-teori yang dibangun oleh para pendahulunya.
Selanjutnya dapat dilanjutkan dengan memperkaya nuansa pemikiran dan teori yang ada, merevisi dan menyempurnakan pemikiran dan teori yang sudah ada, mengganti pemikiran dan teori lama dengan teori yang baru atau menciptakan pemikiran atau teori yang akan menciptakan perubahan (change), pembaruan atau perbaikan (reform), yang diikuti dengan pertumbuhan (growth), dan ditingkatkan secara berkelanjutan (continouse improvement) untuk dibawa ke arah yang lebih ideal.
Oleh karena itu, pemikiran pengembangan Ilmu Pendidikan Islam perlu membidik wilayah kajian. Yaitu: foundational problems, structural problems, dan operational problems.
Adapun pembahasan tentang perkembangan Ilmu Pendidikan Islam dibagi dalam lima periodisasi, yaitu:
1)      Periode pembinaan Pendidikan Islam pada masa Nabi Muhammad SAW,
2)      Periode pertumbuhan pendidikan Islam yang berlangsung sejak Nabi Muhammad SAW wafat sampai masa akhir Bani Umayyah,
3)      Periode kejayaan (puncak perkembangan) pendidikan Islam yang berlangsung sejak permulaan Daulah Abbasiyah sampai jatuhnya Baghdad,
4)      Periode kemunduran pendidikan Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon yang ditandai dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan ke dunia Barat dan,
5)      Periode pembaharuan pendidikan Islam yang berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon sampai masa kini yang ditandai dengan gejala-gejala kebangkitan kembali umat dan kebudayaan Islam.
B.     Pemikiran  Ulama dalam Pengembangan Pendidikan Islam.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa banyak sekali pemikiran-pemikiran ulama yang dijadikan rujukan dalam pengembangan Pendidikan Islam, diantaranya ialah:
                               I.            Imam Al-Ghazali (Thus/Persia, 450 H /1058 M - 505 H/ 1111 M)
Al-Ghazali adalah seorang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Beliau melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu Al-Ghazali menyimpulkan bahwa, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.[3] Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.
Luasnya ilmu pengetahuan yang dikuasai Al-Ghazali, sangat mempengaruhi sistem pendidikan yang diterapkannya, sehingga Al-Ghazali  dijuluki filosof yang ahli tasawuf (Failasuf al-Mutasawwifin).  Dua corak ilmu yang telah terpadu dalam dirinya itu kemudian turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam sistem pendidikannya. Ciri khas sistem pendidikan Al-Ghazali sebenarnya terletak pada pengajaran moral religious dengan tanpa mengabaikan urusan dunia.[4]
Arahan pendidikan Al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mencapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yang hal ini berlangsung hingga akhir hayatnya.
Aspek-aspek pendidikan menurut Al-Ghazali adalah :
1)      Aspek pendidikan keimanan
Al-Ghazali mengatakan “Iman adalah mengucapkan dengan lidah, mengakui benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota.” 
2)      Aspek pendidikan akhlak
Bidang ilmu pengetahuan yang paling banyak mendapat perhatian, pengkajian dan penelitian Al-Ghazali adalah lapangan ilmu akhlak karena berkaitan dengan prilaku manusia, sehingga hampir setiap kitab-kitabnya yang meliputi berbagai bidang selalu ada hubungannya dengan pelajaran akhlak dan pembentukan budi pekerti manusia.
3)      Aspek pendidikan akliah
Menurut Al-Ghazali, “Akal adalah sebagai sumber ilmu pengetahuan, tempat terbit dan sendi-sendinya. Ilmu pengetahuan itu berlaku dari akal, sebagaimana berlakunya buah-buahan dari pohon, sinar dari matahari dan penglihatan dari mata.”
4)      Aspek  pendidikan social
Dalam ihya Ulumuddin juz 1, Al-Ghazali mengatakan :
“Akan tetapi, manusia itu dijadikan Allah SWT, dalam bentuk yang
tidak dapat hidup sendiri. Karena tidak dapat mengusahakan sendiri
seluruh keperluan hidupnya baik untuk memperoleh makanan dengan
bertani, berladang dan memperoleh roti dan nasi, memperoleh
pakaian dan tempat tinggal serta menyiapkan alat-alat untuk
semuanya. Dengan demikian manusia memerlukan pergaulan dan
saling membantu.”
5)      Aspek pendidikan jasmaniah
Menurut Al-Ghazali keutamaan-keutamaan jasmaniah terdiri dari-dari empat macam: kesehatan jasmani, kekuatan jasmani, keindahan jasmani, dan panjang umur.[5]

                               II.         Ibn Khaldun (Tunisia, 732H/1332M – Kairo, 808H/1406 M)
Buku pengantar yang berjudul al-Muqaddimah menjadikan nama Ibn Khaldun begitu harum. Muqaddimah adalah sebuah karya Ibn Khaldun yang merupakan pengantar dari kitab Al-`Ibar, kini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia menjadi bukti terpenting betapa piawainya Ibn Khaldun dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Keahliannya dalam sosiologi, filasafat, ekonomi, politik dan budaya, tampak jelas dalam buku ini. Pada saat yang sama, Ibn Khaldun juga tampak sangat menguasai ilmu-ilmu keislamannya, ketika menguraikan tentang ilmu hadits, fiqh, ushul fiqh, dan lainya.
Dalam buku Muqaddimah, Ibn Khaldum membahas fungsi dan peran besar ilmu sejarah. Menurut Ibn Khaldun sejarah memiliki fungsi yang besar dan tujuan yang mulia karena melalui sejarah kita mengenal asal keadaan bangsa-bangsa terdahulu dari sudut tamadun, moral, akhlak, budaya, pentadbiran dan tokoh-tokoh yang berjasa. Pembukuan sejarah bukanlah sekedar mengetahui kisah-kisah, dokumentasi mengenai penguasa dan tokoh atau meraih ilmu, tetapi lebih daripada itu, yaitu demi mengenal peristiwa-peristiwa masa lampau dalam rangka memahami dan membina masa depan yang lebih baik.
Pemikiran Ibn Khaldun dalam bidang pendidikan meliputi tentang manusia didik, ilmu, metode pengajaran, dan spesialisasi. Dalam melihat manusia ia tidak terlalu menekankan kepada kepribadiannya akan tetapi kepada hubungannya dan interaksinya terhadap kelompok yang ada dalam masyarakat.
Ibn Khaldun berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir. Oleh karena itu mampu melahirkan ilmu dan teknologi, dan sifat-sifat ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Selanjutnya ia berpendapat bahwa pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban.
Penyelidikan ilmiah yang dilakukan oleh Ibn Khaldun dimulai dengan menggunakan tradisi berfikir ilmiah dengan melakukan kritik atas cara berfikir “model lama” dan karya-karya ilmuwan sebelumnya, dari hasil penyelidikan mengenai karya-karya sebelumnya, telah memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang sahih, pengetahuan ilmiah buat pengetahuan yang otentik.[6]
            Ibn Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga macam yaitu ilmu lisanilmu naqli dan ilmu aqli.
1)      Ilmu lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa yang disusun secara puitis (syair)
2)      Ilmu naqli yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah nabi, ilmu ini berupa membaca kitab suci al-Qur`an dan tafsirnya, sanad dan hadits dan pentasbihannya serta istinbath tentang keadaan-keadaan fiqih. Dari al-Qur`an itulah didapat ilmu-ilmu tafsir, ilmu usul fiqih yang dapat dipakai untuk menganalisa hukum Allah melalui istinbath.
3)      Ilmu aqli yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya fikir atau kecendrungan kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk didalam kategori ilmu ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu tehnik, ilmu hitung, ilmu tingkahlaku (behavior), termasuk juga ilmu sihir dan ilmu nujum (perbintangan). Mengenai ilmu nujum menurutnya adalah ilmu yang fasik karena ilmu dapat meramalkan segala kejadian yang belum terjadi, merupakan hal tercela.
Dalam metode pengajaran Ibn Khaldun menggunakan metode berangsur-angsur, setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit. Dan ia menganjurkan agar seorang itu bersikap sopan dan halus pada muridnya, hal ini juga termasuk sikap orang tua terhadap anaknya, karena orang tua adalah guru utama bagi anaknya.[7] 
Guru harus mampu menarik perhatian muridnya, menjaga mereka hingga pikiran mereka terbuka dan berkembang sendiri. Guru harus membiasakan perilaku yang baik kepada murid-muridnya, memberi contoh, dan tidak mengajari mereka dengan perkataan saja. Seorang guru harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.[8]
Dan, Ibn Khaldun mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi dua macam, yakni; pengetahuan rasional dan pengetahuan tradisional.
1)      Pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang diperoleh dari kebaikan yang berasal dari pemikiran yang alami.
2)      Sedangkan pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang subjeknya, metodenya, dan hasilnya, serta perkembangan sejarahnya dibangun oleh kekuasaan atau seseorang yang berkuasa.

                         III.            Hasan Al-Banna (Mesir, 1906 M - 1949 M)
Adanya pengaruh peradaban Barat modern yang sekuler melanda ke berbagai segi kehidupan, tidak terkecuali di bidang pendidikan. Melihat adanya pengaruh ini para tokoh pemikir Muslim berusaha untuk mencari solusinya dengan memformulasikan system pendidikan yang dapat menghasilkan sosok individu dan masyarakat yang seimbang.
Hadirnya Hasan al-Banna adalah sebagai seorang tokoh pembaharu atau modernis dalam dunia Islam. Beliau dikenal sebagai tokoh pembaharu, tidak hanya dalam bidang pendidikan, tetapi juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kemasyarakatan.
Hasan al-Banna merupakan sosok pribadi muslim yang sangat sederhana, zuhud, taat dan mempunyai pendirian. Menjadi guru adalah cita-cita Hasan al-Banna sejak kecil, karena guru menurut Hasan al-Banna merupakan sumber cahaya terang benderang yang dapat menerangi masyarakat.[9]
Hasan al-Banna memandang bahwa pengembangan akal merupakan kebutuhan pokok bagi setiap Muslim yang dapat menunjang keberhasilan keyakinan. Karena dengan pengetahuan akal akan menjadi paham atas sesuatu yang diyakini.
Menurutnya seorang Muslim harus mempunyai bukti-bukti tentang Tuhannya agar mendapatkan keyakinan yang kuat. Islam tidak membenarkan penganutnya menjadi muqallid.[10] Dalam beriman seseorang dianjurkan untuk berpikir, merenung dan memahami. Hal ini dapat memperkuat keyakinannya.
Hasan al-Banna menempatkan pembentukan akal sebagai prinsip utama pendidikan dengan didasarkan pada pemahaman al-Qur`an yang menempatkan akal (ilmu) lebih dahulu daripada iman dan taat. Seperti yang terdapat dalam QS. Al-Hajj (22) : 54 Yang artinya:
.dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur`an itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.’
Hasan al-Banna menerapkan pengembangan pemikiran ilmiah dalam kurikulum madrasah sebagai dasar pengembangan pada aspek lainnya. Pembinaan akal dan pemikiran yang diaplikasikan dalam madrasah Al-Banna didasari oleh ajaran agama, peradaban Islam, dan warisan kebudayaan Islam untuk membangun kekuatan peradaban yang dapat membentengi pengaruh peradaban Barat.
Memorandum yang dibuat oleh Al-Banna di bidang pendidikan untuk memberantas kebodohan, merupakan keprihatinan yang mendalam atas kondisi masyarakat yang dijajah yang mayoritas beragama Islam. Karena kebodohan merupakan factor  yang mengakibatkan umat Islam terjajah.
Sebagai pahlawan atas patriotisme dan nasionalisme Islam dalam pendidikan, beliau memperhatikan pelayanan pada masyarakat dengan perjuangannya melawan kebodohan dan kemiskinan, membebaskan keterbelakangan dalam setiap aspek kehidupan, serta membangun jasmani maupun ruhani sehingga muncul kepribadian yang utuh sebagai Muslim yang beriman dan berakhlak, dengan semangat sosial yang tinggi khususnya bagi sesama umat Islam.
Pemikiran Hasan al-Banna tentang pendidikan memiliki ciri khusus, yaitu adanya keseimbangan dan keserasian baik di antara akal dan perasaan, antara teori dan praktek, antara kebutuhan pribadi dan kebutuhan masyarakat umum. Dan keseluruhan kegiatan pendidikannya terlihat didasarkan pada ajaran yang terdapat dalam al-Qur`an dan praktek kehidupan Rasulullah. Saw yang selalu merujuk kepada kemurnian ajaran Islam.

                         IV.            K.H. Ahmad Dahlan (Yogyakarta, 1868 M – 1923 M)
K.H. Ahmad Dahlan mengatakan bahwa, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari berpikir statis menuju pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Umat Islam dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam membaca dinamika kehidupan yang akan datang. Adapun kunci bagi kemajuan umat Islam adalah kembali pada al-Qur`an dan Hadits, mengarahkan umat Islam pada pemahaman ajaran Islam yang komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Pendidikan Islam hendaknya menjadi media dan mampu mengembangkan al-ruh dan al-akal. Hal ini disebabkan di alam ini ada dua dimensi yaitu dimensi fisika dan metafisika. Manusia adalah integrasi dari dua dimensi yaitu dimensi ruh dan jasad. Maka aktivitas pendidikan harus mampu mengembangkan dimensi tersebut. Dan perlunya pengkajian ilmu pengetahuan secara langsung sesuai prinsip-prinsip al-Qur`an dan Hadits.
Bagi K.H. Ahmad Dahlan, Islam hendaknya didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci al Qur'an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan al-Qur'an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan al-Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati.
Di bidang pendidikan, K.H. Ahmad Dahlan mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka beliau mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur'an. Sebaliknya, beliaupun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum.
Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan untuk membentuk manusia Muslim yang berbudi pakerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang demi kemajuan masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan ini, pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk mempertajam intelektualitas dan memperkokoh spiritualitas peserta didik. Upaya ini akan terwujud jika proses pendidikan bersifat integral dan epistemologi Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.
Menurut K.H. Ahmad Dahlan, materi pendidikan adalah pengajaran al-Qur’an dan Hadits, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dan menggambar. Sistem pendidikan yang dipakai beliau adalah klasikal, beliau ingin menggabungkan sistem pendidkan Belanda dengan sistem pendidikan tradisional secara integral.
Komitmen Ahmad Dahlan terhadap pendidikan agama adalah sangat kuat, untuk itu beliau masuk orgnasisasi Budi Oetomo pada tahun 1909, untuk mendapatkan peluang mengajarkan pendidikan agama kepada para anggotanya. Komitmen terhadap pendidikan selanjutnya menjadi salah satu ciri khas organisasi yang didirikannya pada tahun 1912 yaitu Muhammadiyah. Pandangan Ahmad Dahlan dalam pendidikan juga dapat dilihat dalam kegiatan pendidikan yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah. Dengan organisasi Muhammadiyah beliau berhasil mengembangkan lembaga pendidikan yang lebih bervariasi dan manajemen yang modern.[11]
Dalam kegiatan dakwah beliau meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau berusaha meluruskan syariat Islam pada umat Islam yang melenceng ke arah sesat, Syirik dan Bid'ah. Beliau mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme, dan Kejawen.
Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu, sekarang dikenal dengan nama Pramuka, dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.
Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman.
Melihat metode pembaruan K.H Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama Islam pertama atau mungkin satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan um’mat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab karangan, melainkan dengan organisasi. Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok pesantren seperti halnya ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga konon belum pernah mengarang sesuatu kitab atau buku agama.[12]
Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
1)      K.H. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
2)      Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3)      Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
4)      Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Pada tahun 2010, kisah hidup dan perjuangan K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadyah diangkat ke layar lebar berdurasi 112 menit dengan judul “Sang Pencerah”. Tidak hanya menceritakan tentang sejarah kisah K.H. Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita tentang perjuangan dan semangat patriotisme anak muda dalam merepresentasikan pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemahaman agama dan budaya pada masa itu.[13]
                            V.            H.O.S. Tjokroaminoto (Ponorogo, 1882 M - Yogyakarta, 1934 M)
Tjokroaminoto adalah tokoh nasional yang memiliki kemampuan yang pada hakikatnya sulit dilakukan, yaitu aktivitas intelektual sebagai pemikir kenegaraan dan kemasyarakatan dan aktivitas lapangan sebagai tokoh dalam pergerakan bangsanya. Kegiatan intelektualnya berawal dari tulisan-tulisan yang dimuat dalam surat kabar dan percakapan-percakapan akademis yang diadakan di rumahnya.
Tulisan-tulisan Tjokroaminoto di berbagai surat kabar dibaca oleh tokoh SDI dan mengantarkannya menjadi ketua cabang SI Jawa Timur. Sarekat Islam (SI) pada awalnya adalah perkumpulan bagi para pedagang Muslim yang didirikan pada akhir tahun 1911 di Solo oleh H. Samanhudi. Nama semula adalah Sarekat Dagang Islam (SDI). Kemudian tanggal 10 Nopember 1912 berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI). H. Umar Said Tjokroaminoto diangkat sebagai ketua, sedangkan H. Samanhudi sebagai ketua kehormatan.
            Latar belakang didirikannya organisasi ini pada awalnya untuk menghimpun dan memajukan para pedagang Islam dalam rangka bersaing dengan para pedagang asing, dan juga membentengi kaum muslimin dari gerakan penyebaran agama Kristen yang semakin merajalela. Dengan nama Sarekat Islam dibawah pimpinan H.O.S.Tjokroaminoto organisasi ini semakin berkembang karena mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Daya tarik utamanya adalah asas keislamannya. Dengan SI mereka (umat Islam) yakin akan dibela kepentingannya.
Begitu nampak dalam perjalanan hidupnya bahwa Islam dipeluknya sebagai pedoman utama dalam berucap dan bertindak. Hal inipun diajarkannya pada anak dan pengikutnya bahwa hanya Islamlah yang dapat membawa kebahagiaan umat dan umat untuk menjadi seorang muslim yang seutuhnya maka harus dididik secara islami.
Tempo (2011:28) menjelaskan bahwa pada tahun 1930-an banyak berdiri sekolah Tjokroaminoto yang dibangun cabang-cabang PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) di semua wilayah. Silabus dan kurikulumnya didasari oleh buku Tjokro yakni Moeslim Nationaal Onderwijs. Sekolah ini mengajarkan soal arti kemerdekaan, budi pekerti, ilmu umum, dan ilmu keislaman. Menurutnya asas-asas Islam sejalan dengan sosialisme dan demokrasi maka kaum muslimin harus dididik menjadi muslim sejati untuk mencapai cita-cita kemerdekaan umat.
Melalui buku Moeslim Nationaal Onderwijs. H.O.S. Tjokroaminoto menerangkan bahwa Pendidikan dan Pengajaran bagi kaum muslimin di Indonesia, selain mengajarkan kepandaian akal, harus pula menanamkan asas asas Islam, antara lain:
1)      Menanamkan benih kemerdekaan dan benih demokrasi yang telah menjadi tanda kebesaran dan tanda perbedaan Umat Islam besar pada zaman dahulu.
2)      Menanamkan benih keberanian yang luhur, benih keikhlasan hati, kesetiaan dan kecintaan kepada yang benar (haq), yang telah menjadi tiap tiap orang dan tabiat masyarakat Islam pada zaman dahulu;
3)      Menanamkan benih peri kebathinan yang halus, keutamaan budi pekerti dan kebaikan perangai, yang dulu telah menyebabkan orang Arab penduduk laut pasir itu menjadi bangsa tuan yang halus adat lembaganya dan menjadi penanam dan penyebar keadaban dan kesopanan;
4)      Menanam benih kehidupan yang shaleh sebagai yang dulu telah menjadi sebab masyhur nama Umat Islam. Lebih lanjut lihat karya beliau yang berjudul “Reglement Umum bagi Umat Islam”
5)      Menanamkan rasa kecintaan terhadap tanah tumpah darah dengan jalan mempelajari culture dan adat istiadat bangsa sendiri.



Amanat Alm. H.O.S Tjokroaminoto kepada murid-murid sekolah Jogjakarta,  24 Agustus 1925:
“…..Anak-anakku semuanya, kalau kamu sudah dapat pendidikan Islam dan kalau kamu sudah sama dewasa, ditakdirkan Allah SWT yang maha luhur, kamu dijadikan orang tani, tentu kamu bisa mengerjakan pertanian secara Islam; kalau kamu ditakdirkan menjadi saudagar, jadilah saudagar secara Islam; kalau kamu ditakdirkan menjadi prajurit, jadilah prajurit menurut Islam; dan kalau kamu ditakdirkan menjadi senopati, jadilah senopati secara perintah Islam. Hingga dunia diatur sesuai dengan azas-azas Islam………..” [14]


BAB III
PENUTUP
Simpulan:
o   Melalui pemikiran-pemikiran para ulama dalam pengembangan Ilmu  Pendidikan Islam yang kami sampaikan di makalah ini diharapkan akan dapat memberikan pemahaman dan keterampilan analisis kritis dan historis terhadap pengembangan pendidikan Islam melalui aspek epistemologis bangunan pemikirannya dalam kaitannya dengan berbagai aspek yang relevan pada masanya baik social politik dan ideologi maupun gerakan intelektual dan problem kebudayaan pada suatu masa dan masa-masa lainnya, serta mencoba membuat analisis reflektif terhadap kondisi yang berkembang saat ini.
o   Metode pendidikan yang dikembangkan para ulama-ulama sangat menekankan pada pembinaan akhlak, akhlak yang mulia akan mengepresikan amal soleh karena ajaran Islam sangat menghargai amal saleh manusia dan mendorong manusia untuk berkreatifitas positif agar memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan Ilmu pengetahuan, manusia memiliki bekal dalam hidup di dunia dan di akherat.
o   Pemikiran pendidikan Islam bersumber pada al-Qur’an dan Hadits yang merupakan kunci kebahagiaan dunia dan akherat.

DAFTAR PUSTAKA


Madjid, Nurchalish, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997

Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.
Ibnu Rusn, Abidin, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998.
Ramayulis, H. Dr. Prof., Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia, Quantum Teaching: Ciputat, 2005.
Ihsan, Hamdani dan Ihsan, A fuad, Filsafat pendidikan Islam, Bandung
Jurdi, Syarifudin, Sosiologi Islam Elaborasi Pemikiran Sosial Ibn Khaldun, POKJA: UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,Jakarta: Kencana,2008, cet. 2
Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam,Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995, cet-1
Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2009.
Nata, Abuddin, Drs., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1997.
http://m.21cineplex.com, Sang Pencerah : Kisah Perjuangan Ahmad Dahlan, Posted By: Erfanintya M. P, 19 Mei 2010.
Mukti, Dala, Tjokroaminoto dan Pendidian, Moeslim Nationaal Onderwijs. Published June 27, 2010, http//tjokroaminoto.wordpress.com
Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka firdaus, 2003.
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.


[1] Nurchalish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 48
[2] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 1-3.
[3] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998, hlm. 56
[4] Prof. Dr. H. Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia, (Quantum Teaching: Ciputat, 2005), hlm. 5
[5] Hamdani Ihsan, dan A fuad Ihsan, Filsafat pendidikan Islam, Bandung, hlm. 235-259
[6] Syarifudin Jurdi, Sosiologi Islam Elaborasi Pemikiran Sosial Ibn Khaldun, (POKJA: UIN Sunan Kalijaga, 2008) hlm.17.
[7] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,(Jakarta: Kencana,2008), cet. 2 h. 87
[8] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), cet-1 h. 243-244 
[9] Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009) hlm. 62
[10] Muqallid adalah orang-orang yang karena satu dan lain hal tidak memiliki kemampuan dalam menelaah ilmu-ilmu agama sehingga mereka kurang memahaminya, atau biasa disebut sebagai orang awam.

[11] Drs. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1997), hlm.206-208
[13] http://m.21cineplex.com, Sang Pencerah : Kisah Perjuangan Ahmad Dahlan, Posted By: Erfanintya M. P, 19 Mei 2010.

[14] Dala Mukti, Tjokroaminoto dan Pendidikan: Moeslim Nationaal Onderwijs. Published June 27, 2010, http//tjokroaminoto.wordpress.com