Jumat, 13 Mei 2016

Makalah FIQIH MUAMALAT


KATA PENGANTAR


ٱلرَّحِيمِ ٱلرَّحمَـٰنِ ٱللهِ بِسمِ
وَبَرَكَاتُهُ  اللهِ  وَرَحْمَةُ  عَلَيْكُمْ  السلام

          Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, berkat rahmat bimbingan-Nya  makalah  ini dapat kami selesaikan. Selawat dan salam kepada Rasulullah dan seluruh ummatnya yang istiqomah mengikuti jejak beliau hingga akhir zaman.
          Terima kasih kepada orang tua yang telah merawat dan mendidik kami, semoga beliau selalu dalam limpahan rahmat Allah Swt dan juga terima kasih kepada  Bapak H. Zulkifli, M. Pdi. yang telah membimbing kami dalam materi kuliah Fiqih Muamalat di Universitas Muhammadiyah Tangerang. Semoga ilmu yang bapak sampaikan bermanfaat.
          Makalah ini berjudul Wakaf yang mana kami buat untuk memenuhi tanggung  jawab kami selaku mahasiswa dalam hal melaksanakan tugas yang diberikan dosen kepada kami yang tentunya demi peningkatan pemahaman mahasiswa dalam materi Fiqih Muamalat khususnya mengenai Wakaf..
          Demikianlah makalah  ini  kami sampaikan, semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi  pembaca sekalian.

وَبَرَكَاتُهُ  اللهِ  وَرَحْمَةُ  عَلَيْكُمْ مُ سلا وَ

Tangerang. 01 Mei 2016


(Penulis)


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
            Wakaf adalah sebuah fenomena yang menarik untuk diamati, karena merupakan salah satu keunggulan dari sistem syariat Islam dalam pengelolaan harta demi kebaikan umat. Berwakaf bukan hanya seperti sedekah biasa, tetapi lebih besar ganjaran dan manfaatnya terhadap diri yang berwaqaf itu sendiri, karena pahala waqaf itu terus menerus mengalir selama barang waqaf itu masih berguna. Juga terhadap masyarakat, dapat menjadi jalan untuk kemajuan yang seluas-luasnya dan dapat menghambat arus kerusakan.
            Masalah wakaf dalam perspektif sejarah Islam (al-târih al-islâmi), tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan tentang perkembangan hukum Islam dan esensi misi hukum Islam. Untuk mengetahui perkembangan sejarah perkembangan hukum Islam perlu melakukan penelitian dengan cara menelaah teks (wahyu) dan kondisi sosial budaya masyarakat di mana hukum Islam itu berasal. Sebab hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah Swt. dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk mengejawantahkan nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun keadilan ekonomi
            Rasa keadilan adalah suatu nilai yang abstrak, tetapi ia menuntut suatu tindakan dan perbuatan yang konkrit dan positif. Pelaksanaan ibadah wakaf adalah sebuah contoh yang konkrit atas rasa keadilan sosial, sebab wakaf merupakan pemberian sejumlah harta benda yang sangat dicintai diberikan secara cuma-cuma untuk kebajikan umum. Si wakif dituntut dengan keikhlasan yang tinggi agar harta yang diberikan sebagai harta wakaf bisa memberikan manfaat kepada masyarakat banyak, karena keluasan ekonomi yang dimilikinya merupakan karunia Allah yang sangat tinggi.
            Amalan wakaf sangat besar artinya bagi kehidupan sosial ekonomi, kebudayaan dan keagamaan.   Oleh karena itu, kedudukan wakaf dalam Islam sangat mulia. Wakaf dijadikan sebagai amalan utama yang sangat dianjurkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Orang-orang Jahiliyah tidak mengenal wakaf. Wakaf disyariatkan oleh Nabi dan menyerukannya karena kecintaan beliau kepada orang-orang fakir dan yang membutuhkan.
            Di tengah permasalahan sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan ekonomi dewasa ini, eksistensi lembaga wakaf menjadi sangat urgent dan strategis. Di samping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial). Oleh karena itu sangat penting dilakukan pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan.

B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah: 
1.      Apa pengertian Wakaf dan Dasar Hukumnya?
2.      Apa saja, Rukun, Syarat, dan Macam-Macam Wakaf?
3.      Bagaimanakah Menukar dan Menjual Harta Wakaf dan Pengawasan Harta Wakaf?
4.      Apakah Hikmah Wakaf

C.     Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Agar  memahami  Pengertian Wakaf dan Dasar Hukumnya
2.   Agar mengetahui Rukun, Syarat, dan Macam-Macam Wakaf
3.  Agar mengetahui cara Menukar dan Menjual Harta Wakaf dan Pengawasan Harta Wakaf
4.      Agar mengetahui Hikmah Wakaf

BAB II
WAKAF


A.    Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf
1.     Pengertian Wakaf
Secara etimologi, kata wakaf (وقف) berarti al-habs (menahan), al-tahbis (tertahan), dan al-man`u (mencegah)[1]
         Menurut syara’ banyak definisi yang dikemukakan oleh ulama di    antaranya:
1)      Sayyid Sabiq
حبس المال وصرف منافعه في سبيل الله
”Menahan harta dan menggunakan manfaatnya di jalan Allah swt”.[2]
2)       Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaeni
      ممنوع من التصريف في عينه وتصرف منا فعه فى البر تقربا
 الى الله تعالى
Artinya: “Menahan harta yang kekal zatnya untuk diambil manfaatnya tanpa merusak (tindakan) pada zatnya yang dibelanjakan manfaatnya di jalan kebaikan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt”. [3]



Dari dua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang namanya wakaf adalah menahan benda yang tidak mudah rusak (musnah) untuk diambil manfaatnya bagi kepentingan yang            dibenarkan oleh syara` dengan tujuan memperoleh pahala dan mendekatkan diri kepada Allah.
                        Menurut Azhar Basyir ketentuan-ketentuan di dalam wakaf                         yaitu,   sebagai berikut:
1)      Harta wakaf  harus tetap (tidak dapat dipindahkan kepada orang lain) baik dengan dijual-belikan, dihibahkan, ataupun diwariskan.
2)      Harta wakaf terlepas dari pemilikan orang yang mewakafkannya.
3)      Tujuan wakaf  harus jelas (terang).
4)      Harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang memiliki hak ikut serta dalam harta wakaf.
5)      Harta wakaf dapat berupa tanah dan sebagainya yang tahan lama dan tidak musnah sekali digunakan.

2.      Dasar Hukum Wakaf
Dasar hukum yang dapat dijadikan penguat pentingnya wakaf terdapat dalam Al-Qur’an, di antaranya:
1)      Surat al-Hajj ayat 77
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
(Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan)


2)      Surat Ali-Imran ayat 92
                                    لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ
 فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
(Tidaklah kamu memperoleh kebaikan sampai kamu             menafkahkan apa yang kamu sukai)

                                    Dalam hadits Nabi:
                                    إذا مات الإنسان انقطع عملها الا من ثلاثة أشياء صدقة جارية او علم ينفع به أو ولد صالح يدعوله
(رواه مسلم)
(Jika manusia mati maka terputuslah semua amalnya kecuali           tiga: sedekah jariah (yang terus meneruskan), ilmu yang  bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan kepadanya). (HR. Muslim).

Para ulama menafsirkan sedekah jariah dalam hadits di atas dengan wakaf. Jabir berkata tiada seorang dari seorang dari para sahabat Rasulullah yang memiliki simpanan melainkan diwakafkannya.[4]

B.     Rukun Wakaf
Ada empat rukun wakaf atau unsur-unsur wakaf, yaitu:
1.       Ada orang yang berwakaf (wakif), syaratnya orang yang bebas untuk berbuat kebaikan, meskipun bukan Muslim dan dilakukan dengan kehendak sendiri bukan karena dipaksa.
2.       Ada benda yang diwakafkan (maukuf).
§  Syarat pertama, benda itu kekal zatnya dan dapat diambil manfaatnya (tidak musnah karena diambil manfaatnya).
§  Kedua, kepunyaan orang yang mewakafkan, meskipun bercampur (musya’) yang tidak dapat dipisahkan dari orang lain, maka boleh mewakafkan uang yang berupa modal, berupa saham pada perusahaan.
§  Ketiga, harta wakaf harus segera dapat diterima setelah wakaf diikrarkan. Bila wakaf itu diperuntukkan untuk membangun tempat-tempat ibadah umum hendaknya ada badan yang menerimanya yang disebut Nadzir. Dan diperbolehkan bagi orang yang mengurus zakat (Nadzir) untuk mengambil sebagian dari hasil wakaf. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang artinya: “Tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang makruf “.
3.       Tujuan wakaf (maukuf alaihi) disyariatkan tidak bertentangan dengan nilai ibadah. Menurut Sayid Sabiq, tidak sah wakaf untuk maksiat seperti untuk gereja dan biara, dan tempat bar.
4.       Pernyataan wakaf (shighat wakaf) baik dalam bentuk lisan, tulisan, maupun isyarat, bahkan dengan perbuatan. Wakaf dinyatakan sah jika telah ada pernyataan ijab dari wakif dan kabul dari maukuf alaihi. Shigat dengan isyarat hanya diperuntukkan bagi orang yang tidak dapat lisan dan tulisan.
Sayyid Sabiq, menambahkan bahwa pernyataan wakaf dinyatakan sah melalui dua cara:
1.      Perbuatan yang menunjukkan wakaf seperti seorang membangun masjid dan dikumandangkan adzan di dalamnya. Hal ini telah menunjukkan wakaf tanpa harus ada penetapan dari hakim.
2.      Ucapan, baik shahih (jelas), maupun kinayah (tersembunyi).
Contoh yang shahih seorang wakif (orang yang mewakafkan) berkata, “aku wakafkan”, “aku hentikan pemanfaatannya”, “aku jadikan untuk sabilillah”. Adapun ucapan kinayah seperti, “aku sedekahkan” akan tetapi niatnya adalah wakafkannya.

C.    Syarat Wakaf
Adapun syarat-syarat wakaf adalah sebagai berikut:
1.      Untuk selama-lamanya
Wakaf untuk selama-lamanya merupakan syarat sahnya amalan wakaf, tidak sah bila dibatasi dengan waktu tertentu. Hal ini disepakati oleh para ulama, kecuali madzhab Maliki. Hal ini berlaku pula bagi wakaf ahli. Pada wakaf ahli jika pada suatu waktu orang yang ditetapkan mengambil hasil atau manfaat harta wakaf telah tiada, maka harta wakaf itu digunakan untuk kepentingan umum.
2.      Tidak boleh dicabut
Bila terjadi suatu wakaf dan wakaf itu telah sah, maka pernyataan wakaf itu tidak boleh dicabut. Wakaf yang dinyatakan dengan perantara wasiat, maka pelaksanaannya dilakukan setelah waqif meninggal dunia dan wasiat wakaf itu tidak seorangpun yang boleh mencabutnya.
3.      Pemilik wakaf tidak boleh dipindah tangankan
Dengan terjadinya wakaf, maka sejak itu harta wakaf itu telah menjadi milik Allah Swt. pemilikan itu tidak boleh dipindah tangankan kepada siapapun, baik orang, badan hukum atau negara. Negara ikut mengawasi apakah harta wakaf dapat dimanfaatkan dengan baik atau tidak dan negara juga berkewajiban melindungi harta wakaf tersebut.
4.      Setiap wakaf harus sesuai dengan tujuan wakaf pada umumnya
Tidak sah wakaf bila tujuannya tidak sesuai apalagi bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bila waqif telah selesai mengucapkan ikrar wakafnya, maka pada saat itu wakaf telah terlaksana. Agar adanya kepastian hukum adalah baik bila wakaf itu dilengkapi dengan alat-alat bukti, seperti surat-surat dan sebagainya. Pada saat itu pula harta yang diwakafkan itu telah diserahkan kepada pengelolanya (Nazir), dan sejak itu pula pemilik harta tidak berhak lagi atas harta yang telah diwakafkannya itu.

D.    Macam-Macam Wakaf
Menurut jumhur ulama wakaf terbagi menjadi dua:
1.      Wakaf Dzurri (keluarga) disebut juga wakaf khusus dan ahli ialah wakaf yang ditujukan untuk orang-orang tertentu baik keluarga wakif atau orang lain. Wakaf ini sah dan berhak untuk menikmati benda wakaf itu adalah orang-orang tertentu saja. Wakaf ahli ini adalah wakaf yang sah dan telah dilaksanakan oleh kaum muslimin. Yang berhak mengambil manfaat wakaf ahli ialah orang-orang yang tersebut dalam shighat wakaf. Persoalan yang biasa timbul kemudian hari pada wakaf ahli ini, ialah bila orang yang tersebut dalam shighat wakaf itu telah meninggal dunia, atau ia tidak berketurunan jika dinyatakan bahwa keturunannya berhak mengambil manfaat wakaf itu, atau orang tersebut tidak mengelola atau mengambil manfaat harta wakaf itu.
2.      Wakaf Khairi  yaitu wakaf  yang ditujukan untuk kepentingan umum dan tidak dikhususkan kepada orang-orang tertentu. Wakaf Khairi inilah wakaf yang hakiki yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif itu meninggal dengan catatan benda itu masih dapat diambil manfaatnya. Wakaf Khairi ini perlu digalakkan dan dianjurkan kaum muslimin melakukannya, karena ia dapat dijadikan modal, untuk menegakkan agama Allah, membina sarana keagamaan, membangun sekolah, menolong fakir miskin, anak yatim, orang terlantar dan sebagainya. Wakaf Khairi ini adalah wakaf yang pahalanya terus-menerus mengalir dan diperoleh waqif sekalipun ia telah meninggal dunia nantinya.
Di Indonesia, Wakaf Khairi inilah yang terkenal dan banyak dilakukan kaum Muslimin. Hanya saja umat Islam Indonesia belum mampu mengelolanya secara baik sehingga harta wakaf itu dapat diambil manfaatnya secara maksimal.[5]

E.     Menukar dan Menjual Harta Wakaf
Menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq, berkata “Mengganti sesuatu yang diwakafkan dengan yang lebih baik terbagi menjadi dua”:
1.      Menukar atau mengganti karena kebutuhan, misalnya karena macet atau tidak layak lagi untuk difungsikan. Maka benda itu dijual dan harganya digunakan membeli sesuatu yang dapat menggantikannya, seperti kuda yang diwakafkan untuk perang dan sekarang tidak mungkin lagi digunakan, maka dijual dan harganya untuk membeli sesuatu yang dapat menggantikan posisinya. Bangunan masjid yang rusak dan tidak mungkin dimanfaatkan lagi maka dapat dijual dan harganya digunakan untuk membeli tanah dan membagun masjid di tempat lain yang lebih aman. Contoh di atas diperbolehkan karena pada prinsipnya bila sesuatu yang pokok (asal) tidak lagi mencapai maksud yang diinginkan oleh pemberi wakaf maka dapat digantikan dengan yang lainnya dengan cara menjual dan menukar.
2.      Mengganti atau menukar karena kepentingan yang lebih kuat, misalnya di suatu kampung dibangun sebuah masjid sebagai pengganti masjid lama yang telah rusak dan letaknya tidak strategis. Kemudian, masjid lama itu dijual maka hukumnya boleh menurut Imam Ahmad. Atas dasar ini, maka boleh mengubah bangunan wakaf karena ada maslahat yang mendesak. Adapun mengganti benda wakaf dengan sesuatu yang lebih produktif yang hasilnya lebih besar, hal inipun diperbolehkan menurut Abu Tsaur.[6]

Akan tetapi, terdapat sahabat yang melarang menggantikan masjid atau tanah yang diwakafkan. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i dan juga Imam Malik. Mereka beralasan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Umar:
لا يباع ولا يوهب ولا يورث
(Tanah wakaf itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan)[7]
Jumhur ulama menetapkan boleh mengganti benda wakaf berdasarkan semangat nash dan qiyas yang lebih cenderung menghendaki kebolehan menggantikannya karena ada maslahat di dalamnya.

F.     Pengawasan Harta Wakaf
Untuk pengawas wakaf yang sifatnya perorangan diperlukan syarat-syarat sebaga berikut:
1.      Berakal sehat,
2.      Baligh,
3.      Dapat dipercaya, dan
4.      Mampu melaksanakan urusan-urusan wakaf.
                        Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi. Hakim berhak menunjuk orang lain yang mempunyai hubungan kerabat dengan wakif. Bila kerabat juga tidak ada, maka ditunjuk orang lain. Agar pengawasan dapat berjalan dengan baik, pengawas wakaf yang bersifat perorangan boleh diberi imbalan secukupnya sebagai gajinya atau boleh diambil dari hasil harta wakaf.
            Pengawas harta wakaf berwenang melakukan perkara-perkara yang dapat mendatangkan kebaikan harta wakaf dan mewujudkan keuntungan-keuntungan bagi tujuan wakaf, dengan memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan wakaf.
            Jaminan perwakafan di Indonesia dinyatakan dalam Undang-Undang Pokok  Agraria yang menyatakan bahwa “Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.[8]

G.    Hikmah Wakaf
            Wakaf bukan seperti sedekah biasa, tapi lebih besar ganjaran dan manfaatnya terutama bagi diri si pewakaf. Karena pahala wakaf terus mengalir selama masih dapat digunakan. Bukan hanya itu, wakaf bermanfaat bagi masyarakat sebagai jalan kemajuan. Misalnya negeri Islam di zaman dahulu, karena wakaf, umat Islam dapat maju, bahkan sampai sekarang telah beribu-ribu tahun, hasil dari wakaf itu masih kekal.
            Kita masih bisa menikmati hasil wakaf dari zaman dahulu sampai sekarang seperti, Universitas al-Azhar di Mesir, masjid Nabawi di Madinah. Maka, sekiranya umat Islam saat ini seperti orang Islam terdahulu yang mau mengorbankan hartanya untuk wakaf, maka berarti mereka telah membuka jalan untuk kemajuan Islam dan anak cucu kita kelak akan merasakan kelezatan wakaf yang kita berikan sekarang. Jadi, hikmah wakaf dapat kita simpulkan yaitu untuk memfasilitasi secara kekal semua jalan kebaikan untuk mencapai kemajuan umat Islam.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan,
            Wakaf adalah menahan benda yang tidak mudah rusak (musnah) untuk diambil manfaatnya bagi kepentingan yang dibenarkan oleh syara` dengan tujuan memperoleh pahala dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Menurut jumhur ulama boleh menghibahkan apa saja kecuali yang tidak halal seperti anjing tidak boleh dimiliki.
            Rukun dan syarat wakaf meliputi:
1.      Ada orang yang berwakaf (Wakif)
2.      Ada benda yang diwakafkan (Maukuf)
3.      Tujuan wakaf (Maukuf alaihi)
4.      Pernyataan wakaf (Shigat wakaf)
            Wakaf terbagi menjadi dua:
1.      Wakaf Dzurri (keluarga) disebut juga wakaf khusus dan wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan untuk orangorang tertentu baik keluarga wakif atau orang lain.
2.      Wakaf Khairi yaitu wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum dan tidak dikhususkan kepada orang-orang tetentu. Wakaf khairi inilah wakaf yang hakiki yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif itu meninggal dengan catatan benda itu masih dapat diambil manfaatnya.
B.     Saran
            Semoga Allah Swt. melimpahkan kita rezeki yang banyak dan barakah, dan sebelum kita meninggal dunia harta tersebut kita wakafkan untuk kepentingan ummat agar pahalanya terus mengalir yang memberatkan timbangan amalan kita untuk dapat masuk   ke Surga Firdaus Allah Swt. Amiin ya Rabbal`alamin.

DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.
Basyir, Ahmad Azhar , Utang Piutang dan Gadai, Bandung: Al-Maarif, 1983.
Al-Khatib, M. Al-Syarbini, al-Iqna fi al-Hall al-Alfadz Abi Syuza’, Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub, tt.
Ghazaly, Rahman Abdul, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
 Al-Khatib, M. Al-Syarbini, al-Iqna fi al-Hall al-Alfadz Abi Syuza’, Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-fikr, 2006.
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, ter. KH. Anwar, Syarifuddin, Surabaya: Bijna Iman, 2007.



               [1] M. Al-Syarbini al-Khatib, al-Iqna fi al-Hall al-Alfadz Abi Syuza’, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub, tt), hlm. 319.
                [2] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-fikr, 2006), juz  III, hlm. 979.
                [3] Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, ter. KH. Syarifuddin Anwar, 2007, (Surabaya: Bijna Iman, 2007), 719.
                [4] Imam Taqiyuddin, Abu Bakar Bin Muhammad al-Husaini, Op.cit., hlm. 720.
             [5] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 179-180.
                [6] Ibid., hlm. 180-181.
                [7] Sayyid Sabiq, Op.cit., jilid III, 979.
                [8] Undang-Undang Pokok  Agraria No. 5 tahun 1960 pasal 49 ayat 3