Sabtu, 24 Mei 2014

SEJARAH DINASTI BANI UMAYYAH


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah Peradaban Islam adalah sesuatu yang wajib kita ketahui sebagai umat Islam, karena dari Sejarah Peradaban Islam tersebut kita dapat belajar banyak hal dan banyak nilai-nilai moral, seperti mempelajari hasil kebudayaan pada suatu peradaban dan sistem pemerintahannya. Dari sinilah kita akan memperoleh nilai-nilai sosial, moral, budaya, pendidikan dan politik yang berkembang sejak zaman Rasullulah Saw. pertama kali menyebarkan Islam di muka bumi hingga zaman para sahabat dan setelahnya.
Sejak kelahiran Islam pada awal abad ke-7 di Mekkah, Islam terus mengalami perkembangan yang pesat melewati berbagai tantangan yang sangat berat, sampai akhirnya tersebar ke seluruh dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa kerja-kerja penyebaran Islam yang dilakukan dalam setiap generasi muslim di setiap zaman sangat luar biasa dan cukup menggeliat. Perjuangan dakwah Islamiyah yang dilakukan oleh Rasulullah dan masa setelahnya yaitu Abu Bakar, Islam telah mencapai seluruh Arabia. Pada masa Umar, Islam telah meluas ke wilayah-wilayah Byzantium, Palestina, Mesir dan wilayah-wilayah Sasaniyah Persia dan Irak. Pada masa Ustman dan ‘Ali, upaya perluasan Islam terhenti akibat konflik internal umat Islam pada saat itu yang tidak dapat dihindarkan.[1]
Kemajuan dan perkembangan Islam tersebut tentu saja merupakan prestasi pengembangan Islam yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali. Mereka menjadi garda depan pengembangan dan perluasaan Islam, walaupun di tengah-tengah kekuasaan mereka acapkali muncul berbagai konflik yang tidak menguntungkan, seperti konflik politik yang terjadi pada masa Ustman dan Ali.
Demikian pula halnya dengan masa-masa kekuasaan pasca keempat khalifah tersebut, yaitu Bani Umayyah dan Bani Abbas. Kedua dinasti ini telah menjadi legenda tersendiri dalam sejarah kekuasaan Islam yang telah melakukan perubahan drastis terhadap sistem kekuasaan Islam.
Adapun penjelasan sejarah dinasti Bani Umayyah, dapat ditinjau dari tiga masa yaitu: masa pembentukan, masa kejayaan, dan masa  kemunduran/kehancuran. Selanjutnya akan dipaparkan pada makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.     Masa Pembentukan Dinasti Bani Umayyah
2.     Khalifah- khalifah yang berkuasa pada masa Dinasti Bani Umayyah
3.      Masa Kemajuan Dinasti Bani Umayyah.
4.     Masa Kemunduran Dinasti Bani Umayyah.
C.     Tujuan
1.      Agar mengetahui sejarah terbentuknya Dinasti Bani Umayyah
2.     Mengetahui situasi dunia Islam pada masa  pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
3. Dan mengetahui kontribusi-kontribusi apa saja yang telah dilakukan pemerintahan Bani Umayyah dalam pengembanganan peradaban Islam.


BAB II
SEJARAH DINASTI BANI UMAYYAH
 
A.   Masa Pembentukan Dinasti Bani Umayyah
a.     Latar Belakang
Banyak peristiwa yang melatar belakangi dapat berkuasanya Bani Umayyah. Diantaranya yang paling penting dan paling diingat oleh umat Islam adalah peristiwa tahkim (arbitrase) antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyyah bin Abi Sufyan.
Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus mulai terbentuk sejak terjadinya peristiwa tahkim pada Perang Siffin. Perang yang dimaksudkan untuk menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman bin Affan itu, semula akan dimenangkan oleh pihak Ali, tetapi melihat dari gelagat kekalahan itu, Muawiyyah segera mengajukan usul kepada pihak Ali untuk kembali kepada hukum Allah.[2]
Dalam peristiwa tahkim itu, Ali telah  terperdaya oleh taktik dan siasat Muawiyah yang pada akhirnya ia meninggal mengalami kekalahan secara politis. Sementara itu, Muawiyah mendapat kesempatan untuk mengangkat dirinya sebagai khalifah sekaligus raja[3]
Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak Khawarij[4] membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Karena Hasan sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai[5] dengan kelompok Muawiyah dengan beberapa persyaratan. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.[6]
 Adapun isi persyaratan yang diajukan Hasan adalah ia bersedia menyerahkan kekuasaan ke tangan Muawiyah, apabila Muwiyah menyetujui antara lain:
1.      Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap siapapun dari pendudukan Irak.
2.      Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan mereka
3.      Agar pajak-pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan dalam setiap tahun
4.      Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husein sebesar 2 juta dirham
5.      Pemberian kepada Bani Hashim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams.
6.      Pemilihan atau pengangkatan khalifah selanjutnya harus diserahkan kembali kepada musyawarah kaum muslimin.
Bagi Muawiyah persyaratan-persyaratan itu tidak perlu dipertimbangkan asal Hasan bersedia mengundurkan diri.[7]
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokrasi berubah monarchiheridetis (kekuasaan turun menurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak.[8]
Sukses kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun, dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutkan “khalifah Allah” dalam pengertian ”penguasa’ yang diangkat oleh “Allah”.
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibukota Negara dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya.
b.      Silsilah Keluarga Bani Umayyah
Secara geneologis (garis keturunan) Muawyyah bin Abi Sofyan bertemu dengan silsilah keluarga Nabi Muhammad SAW pada Abdul Manaf. Keluarga Nabi Muhammad SAW dikenal dengan sebutan Bani Hasyim, sedangkan keluarga Umayyah disebut dengan Bani Umayyah.
Pembentukan dinasti Bani Umayyah berkaitan erat dengan percaturan persaingan antara dua klan dari suku Quraisy, yaitu Bani Hasyim dan Bani Umayyah sejak dari masa pra-Islam. Dalam persaingan itu Bani Umayyah lebih berpengaruh di kalangan masyarakat Makkah. Merekalah yang menguasai pemerintahan dan perdagangan yang banyak bergantung pada para pengunjung Ka’bah, sementara Bani Hasyim adalah orang-orang yang berkehidupan ekonomi sederhana, tetapi taat menjalankan agama nenek moyang mereka.
Ketika Islam lahir, dan pada kenyataannya Nabi Muhammad adalah seorang Hasyimi, Bani Umayyah merasa bahwa kekuasaan dan perekonomiannya akan terancam. Oleh karena itu mereka menjadi penentang utama kerasulan Muhammad SAW. tetapi tidak pernah berhasil. Bahkan Abu Sufyan Bin Harb, salah seorang pembesar Bani Umayyah sering sekali menjadi panglima dalam beberapa peperangan melawan Nabi SAW. Sebagaimana yang disebut-sebut dalam sejarah, bahwa Abu Sofyan merupakan pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi Muhammad SAW pada Perang Badar Kubra.
Berikut ini adalah silsilah Bani Umayyah, yang menunjukkan hubungan kekerabatan antara Keluarga Bani Umayah dengan Bani Hasyim (keluarga Nabi Muhammad SAW.

c.       Khalifahan-Khalifah  Dinasti  Bani Umayyah

Ada 14 khalifah dinasti Umayyah. Keempat belas khalifah ini berasal dari dua keluarga, yaitu keluarga Abu Sufyan dan Al-Hakam. Kedua-duanya cucu Umayyah bin Abd Syams. Keluarga Abu Sufyan diwakili oleh Muawiyah I, Yazid I, dan Muawiyah II. Keluarga al-Hakam diwakili oleh Marwan I, Abdul Malik, Walid I, Sulaiman, Umar, Yazid II, Hisyam, Walid II, Yazid III, Ibrahim, dan Marwan II. Beikut ini urutannya:[9]
1.      Muawiyah I bin Abi Sufyan (41-60 H / 661-680 M)
2.      Yazid I bin Muawiyah (60-64 H / 679-683 M)
3.      Muawiyah II bin Yazid (64-65 H / 683-685 M)
4.      Marwan I bin Hakam (64-65 H / 684-685 M)
5.      Abdul Malik bin Marwan (65-86 H / 685-705 M)
6.      Al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H / 705-715 M)
7.      Sulaiman bin Abdul Malik (92-99 H / 715-717 M)
8.      Umar bin  Abdul Aziz  (99-101 H / 717-720 M)
9.      Yazid II bin Abdul Malik (101-105 H / 720-724 M)
10.  Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H / 724-743 M)
11.  Walid bin Yazid II (125-126 H / 734-744 M)
12.  Yazid III bin Walid  (127 H / 744 M)
13.  Ibrahim bin Walid bin Abd Malik (127 H / 744 M)
14.  Marwan II bin Muhammad (127-132 H / 745-750 M)
Di antara 14 orang khalifah Bani Umayah yang berkuasa selama lebih kurang 90 tahun, terdapat beberapa khalifah yang dianggap berhasil dalam menjalankan roda pemerintahan. Adapun nama-nama khalifah Bani Umayah yang menonjol karena prestasinya adalah:
1.   Khalifah Muawiyah bin Abu Sofyan
2.   Khalifah Abdul Malik bin Marwan
3.    Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik
4.   Khalifah Umar bin Abdul Aziz
5.   Khalifah Hisyam bin Abdul Malik
Berukut ini sedikit penjelasan mengenai mereka:
1.      Muawiyah I bin Abi Sufyan (41-60 H / 661-680 M)
Muawiyyah bin Abi Sufyan adalah pendiri Dinasti Bani Umayyah di Damaskus, Syuria yang memerintah dunia Islam selama 90 thn (661-750 M). Nama lengkapnya Abu Abdurrahman Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibunya Hindun ibnt Rubai’ah ibnt Abd Syam.[10]  Dia sebagai khalifah pertama yang berkuasa pada tahun (661-680 M),[11] dia lahir di Makkah pada tahun 607 M. atau lima belas tahun sebelum hijrah, meninggal di Damaskus pada awal bulan rajab tahun 60 H., bertepatan dengan tanggal 7 april 680 M. dan dimakamkan di pemakaman Bab Al-Shagier.
Muawiyah memeluk Islam bersama ayahnya Abu Sufyan pada fathu Makkah. Pada zaman Rasul pernah ikut perang Hunein. Keislamannya terus dibina oleh Rasulullah sehingga menjadi muslim yang baik, dia termasuk salah seorang sekretaris Rasulullah SAW, al-Sayuthi menyebutkan bahwa Mu’awiyah meriwayatkan 163 hadits, baik yang diterima langsung dari Nabi maupun  dari sahabat lain yang terkemuka seperti Binu Abbas, Binu Umar, Binu Zubair dan lain-lain. Serta dari saudara perempuannya Habibah binti Abi Sufyan, Istri Rasulullah SAW.
Dalam diri Mu’awiyah seni berpolitik lebih tinggi daripada khalifah-khalifah lainnya. Menurut para penulis biografinya, nilai utama yang ia miliki adalah al-hilm, kemampuan luar biasa untuk mengunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan, sebagai gantinya, lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan yang sarat dengan kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan membuat kagum musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan.[12]
Pada masa pemerintahnnya, ekspansi wilayah Islam diteruskan meliputi dua wilayah utama, yaitu wilayah Barat dan wilayah Timur. Di wilayah Barat, kepulauan Jarba di Tunisia, kepulauan Rhodesia, kepulauan Kreta, dan kepulauan Ijih dekat Konstantinopel dapat ditaklukan. Bahkan penaklukan sampai ke daerah Maghrib Tengah (Aljazair). Uqbah ibn Nafi adalah panglima perang yang paling terkenal di wilayah ini. Di kawasan Timur, sebagian daerah-daerah di Asia Tengah dan wilayah Sindh dapat ditaklukan di bawah kepemimpinan Abdullah ibn Ziyad.[13]
Kesuksesan Muawiyah ini karena disokong oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya, yaitu Amr ibn Ash (Gubernur Mesir), Al-Mughirah (Gubernur Kufah), dan Ziyad ibn Abihi (Gubernur Basrah). Ketiga orang ini para politisi ulung yang menjadi andalan Muawiyah.[14]
Selain ketiga orang tersebut, Muawiyah juga sangat dibantu oleh orang-orang Suriah. Mereka masyarakat yang sangat patuh dan setia kepadanya. Mereka berhasil dicetak oleh Muawiyah menjadi kekuatan militer yang berdisiplin tinggi dan terorganisir.[15]
Selain perluasan daerah Islam, di antara kebijakan yang dilakukan oleh Muawiyah dalam masa pemerintahannya, adalah :
1)      Pembentukan Diwanul Hijabah, yaitu sebuah lembaga yang bertugas memberikan pengawalan kepada kholifah
2)      Pembentukan departemen pencatatan atau Diwanul Khatam, yaitu lembaga yang bertugas untuk mencatat semua peraturan yang dikeluarkan oleh kholifah di dalam berita acara pemerintahan. (Termasuk pembuatan stempel pertama kali dalam sejarah pemerintahan Islam)
3)      Pembentukan Dinas pos atau Diwanul Barid,yaitu departemen pos dan transportasi, yang bertugas menjaga pos-pos perjalanan dan menyediakan kuda dan keledai sebagai alat transportasi.
4)      Pembentukan Shohibul Kharraj (departeman pemungut pajak) Departemen ini mendorong kesejahteraan dan stabilitas ekonomi masyarakat.[16]
Dunia telah mencatatkan namanya sebagai pemimpin yang paling berpengaruh pada zamannya. Ia telah membangun fondasi kekuasaan yang sangat kokoh. Kelak para penerusnya melanjutkan cita-citanya dengan bertumpu pada fondasi yang sudah dibangunnya
2.      Yazid I bin Muawiyah (60-64 H / 679-683 M)
Namanya Yazid ibn Muawiyah ibn Abu Sufyan. Ia khalifah kedua dinasti Umayyah yang dibait langsung oleh ayahnya untuk menggantikannya. Pembaiatan ini menjadi yang pertama kali terjadi dalam sistem politik Islam dan semakin mempertegas sebuah sistem pemerintahan turun temurun (Monarki) Dinasti Umayyah.
Mayoritas masyarakat membaitnya, namun Ibnu Umar, Ibnu Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan Husen ibn Ali tidak mau membaitnya. Namun karena dipaksa untuk membait, tokoh-tokoh tersebut kecuali ibn Zubair dan Husen akhirnya membait Yazid sebagai pemimpin pemerintahan.[17]
Kecuali sedikit penaklukan di daerah Afrika dan moralitasnya yang sangat buruk, tidak ada yang menonjol dari diri seorang Yazid. Malah pada masa pemerintahnya, terjadi dua tragedi yang sangat mencoreng sejarah Islam.
·         Pertama, tragedi Karbala memerah. Pada waktu itu, seorang panglima Yazid yang sangat bengis, yang bernama Ubaidillah ibn Ziyad dan pasukannya mencegat rombongan Husen beserta pengikutnya di Karbala. Pasukan Ziyad membunuh Husen dan pengikutnya dengan cara yang sangat sadis. Kepala Husen diserahkan kepada pemimpinnya, Yazid ibn Abu Sufyan.
·         Kedua, peristiwa Hurrah dan penghalalan Madinah. Peristiwa ini terjadi karena Abdullah ibn Zubair tidak mau membait Yazid. Ibnu Zubair malah mengumumkan pencopotan Yazid di Madinah dan membait dirinya sendiri sebagai pemimpin pemerintahan. Yazid pun mengirimkan pasukan untuk menumpas kelompok Ibnu Zubair. Ratusan sahabat Ibnu Zubair dan anak-anak meninggal dunia. Yazid menghalalkan pertumpahan darah untuk membasmi pemberontakan.[18]
Yazid meninggal dunia pada tahun 64 H/683 M dengan masa kepemimpinan selama dua tahun. Ia telah menjadi contoh buruknya moralitas seorang pemimpin pemerintahan Islam.
3.      Muawiyah II bin Yazid (64 H/683 M)
Khalifah ketiga Dinasti Umayyah ini tidak banyak diceritakan sejarah. Hal ini dikarenakan pemerintahannya yang sangat pendek. Ia menggantikan ayahnya sebagai raja. Namun ia mengundurkan diri karena sakit. Ia meninggal pada tahun pengangkatannya sebagai raja ketiga Dinasti Umayyah.
4.      Marwan ibn Hakam (64-65 H/683-684 M)
Marwan diangkat menjadi khalifah keempat setelah Muawiyah II ibn Yazid mengundurkan diri. Ia memerintah hampir satu tahun. Pada saat pemerintahannya, posisinya goyah karena mayoritas masyarakat lebih mempercayai Abdullah ibn Zubair sebagai pemimpin yang sah. Sehingga hal ini menyebabkan dualisme kepemimpinan, yaitu kepemimpinannya yang berpusat di Suria, Damaskus dan kepemimpinan Abdullah ibn Zubair yang berpusat di daerah Hijaj (Makkah dan Madinah).
5.      Abdul Malik bin Marwan (65-86 H / 685-705 M)
Setelah Yazid ibn Muawiyah diangkat oleh ayahnya sebagai khalifah, Abdullah ibn Zubair, salah satu tokoh yang menolak membait Yazid, lari ke Makkah dan membaiat dirinya sebagai Raja. Setelah Yazid meninggal dunia maka Ibnu Zubair semakin berkuasa, apalagi raja Muawiyah II yang ditunjuk menggantikan Yazid sakit-sakitan dan mengundurkan diri. Kekuasaa Ibnu Zubair semakin luas. Ia berkuasa dari tahun 64 sampai 73 H.
Di pihak Dinasti Umayyah sendiri, setelah kematian Marwan bin Hakam, putranya yang bernama Abdul Malik dibait menggantikan ayahnya pada tahun 65 H. Namun penggantian ini belum sepenuhnya legal, sebab Ibnu Zubair masih berkuasa. Oleh karena itu, seteleh Ibnu Zubair terbunuh pada tahun 73 H, maka sejak itu Abdul Malik resmi menjadi khalifah kelima Dinasti Umayyah.
Abdul Malik dianggap sebagai pendiri kedua Dinasti Umayyah. Hal ini disebabkan ia mampu membangun kembali kebesaran dinasti Umayyah setelah hampir punah pada jaman raja Muawiyah II sampai menjelang kematian Ibnu Zubair. Ia juga diberi gelar Abdul Muluk, karena empat putranya menjadi penerusnya sebagai raja dinasti Umayyah. Mereka adalah al-Walid II, Sulayman, Yazid II, dan Hisyam.
Beberapa kemajuan pada masa Abdul Malik adalah membangun nasionalisasi Arab dengan membuat mata uang sendiri dan menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa resmi administrasi pemerintahan.Abdul Malik bin Marwan juga memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf) dalam Al-Qur`an di tengah masyarakat. Pada masa itulah disempurnakan penulisan al-Qur’an dengan memberikan baris dan titik pada huruf-hurufnya.  Ia meninggal pada tahun 86 H/705 M dan memerintah secara resmi selama 13 tahun.[19]
6.   Al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H / 705-715 M)
Walid terkenal sebagai seorang arsitektur ulung pertama dalam sejarah Islam. Dia banyak mendirikan bangunan-bangunan yang megah dalam sekala besar, diantaranya membangun Masjid Damaskus, membangun Qubbat al-Shakhrah di Yerusalem dan memperluas Masjid Nabawi.[20]
Selain terkenal dengan membangun infrastruktur yang megah, pada masa pemerintahannya, penaklukan kawasan Islam diperluas. Pasukannya berhasil menaklukan Sisilia dan Merovits, Afrika, dan Andalusia di bagian barat. Pada masa ini hidup seorang panglima besar Islam asal Barbar, yang bernama Thariq ibn Ziyad. Ia berhasil menduduki Andalusia pada tahun 92 H/ 710 M. Di kawasan timur, pasukan Walid berhasil menguasai Asia Tengah dengan panglimanya yang terkenal, yaitu Qutaibah ibn Muslim al-Bahili. Sind dan India pun berhasil ditaklukan di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim Ats-Tsaqafi. Penaklukan ini menjadikan wilayah Islam semakin luas.[21]
Walid berkuasa sampai tahun 96 H/714 M. Ia salah satu negarawan besar dinasti Umayyah. Ia dikenal dengan jasa-jasanya membangun peradaban islam yang ada sampai sekarang. Penerusnya tidak mampu melakukan apa yang telah dilakukannya.
7.      Sulaiman bin Abdul Malik (92-99 H / 715-717 M)
Sulaiman diangkat oleh ayahnya, Abdul Malik untuk menjadipemimpin pemerintahan Islam setelah Walid mangkat. Ia saudara laki-laki Walid. Namun, Walid telah bersekongkol untuk menurunkan Sulaiman dari jabatannya dan menggantikannya dengan anaknya, yaitu Yazid II. Namun Sulaiman ternyata menunjuk anak pamannya, Umar ibn Abdul Aziz untuk menggantikanya.[22] Tidak banyak yang bisa dijadikan sebagai bukti kemajuan pemerintahannya, kecuali keputusannya untuk menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya. Keputusannya itu menjadi karya Sulaiman yang paling hebat. Ia meninggal pada tahun 99 H/717 M.
8.   Umar bin  Abdul Aziz  (99-101 H / 717-720 M)
Umar ibn Abdul Aziz adalah putra saudara Sulaiman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemuliaannya. Sebelum ia diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang sangat sederhana, adil dan jujur.[23] Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada zamannya. Ia juga disebut sebagai pembaharu Islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahunan, namun banyak perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk kaum Syi`ah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh, sehingga pada zamannya tidak ada lagi kemiskinan.[24]
Pada masa pemerintahannya, tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi Islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Oleh karena itu, ia mengirim para mubaligh ke daerah kekuasaan Islam, yang otoritas agamanya bukan Islam.
Umar mangkat dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter kepemimpinannya.
9.   Yazid II bin Abdul Malik (101-105 H / 720-724 M)
Konsepsi pemerintahan yang telah dibangun Umar “dihancurkan” oleh cara kepemimpinan Yazid II. Ia memperkaya diri dan suka menghambur-hambrukan uang untuk memenuhi hasrat duniawinya.
Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul Malik.[25]
Yazid memerintah selama hampir empat tahun. Kepemimpinannya  buruk dan diwarnai oleh adanya konfrontasi dari masyarakat. Tidak ada kemajuan yang layak dicatat dalam sejarah. Ia meninggal dunia pada tahun 105 H/742 M. Selanjutnya kepemimpinan dipegang oleh saudaranya, Hisyam ibn Abdul Malik.
10.     Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H / 724-743 M)
Siapakah khalifah kesepuluh Dinasti Umayyah ini? Badri Yatim memasukan Hisyam sebagai salah satu dari lima khalifah besar Dinasti Umayyah, selain Muawiyah ibn Abu Sufyan, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, dan Umar ibn Abdul Aziz.[26] Hiiti memasukannya sebagai negarawan ketiga dan terakhir Dinasti Umayyah setelah Muawiyah ibn Abu Sufyan dan Abdul Malik.[27] Hal ini karena pada masa pemerintahnnya, terjadi perbaikan-perbaikan administrasi dan menghidupkan tanah-tanah yang mati.
Pendapat dua penulis tersebut. tidak sama dengan  penulis lain yang mengatakan bahwa, selama hampir dua puluh tahun memerintah, negara mengalami kemorosotan dan melemah.[28] Hal ini disebabkan banyaknya rongrongan dari luar dan perpecahan dari dalam pemerintahan. Rongrongan dari luar diantaranya pemberontakan oleh Zaid ibn Ali ibn Husein sebagai refresentasi dari kelompok Syi`ah Zaidiyah dan seruan pembentukan pemerintahan Abbasiyah. Dari dalam karena adanya konflik orang-orang Arab Selatan dan Arab Utara.[29]
11.  Walid bin Yazid II (125-126 H / 734-744 M)
Penerus Hisyam, Walid bin Yazid tidak mampu mengembalikan pemerintahan menjadi lebih baik. Malahan keadaan pemerintahan menjadi lebih buruk. Alasannya, selain musuh semakin kuat, ia juga meniru gaya hidup ayahnya, Yazid ibn Abdul Malik. Dia banyak menciptakan permusuhan. Oleh karena itu, saudara sepupunya, Yazid ibn al-Walid-yang kelak menjadi pengganti Walid-memerintahkan untuk mencopot Walid dari jabatannya. Setelah hampir tiga tahun memerintah, Walid pun dibunuh oleh pasukan Yazid ibn al-Walid dan ia mengantikan kedudukan Walid.
12.  Yazid III bin Walid  (127 H / 744 M)
Pada masa jabatannya, pemerintahan semakin kacau. Pemberontakan di mana-mana. Keluarga khalifah pun sudah terpecah. Akhirnya Yazid III meninggal dunia akibat penyakit tha’un setelah memerintah selama enam bulan.[30]
13.  Ibrahim bin Malik bin Abd Malik (127 H / 744 M)
Dia hanya memerintah selama 70 hari. Oleh karena itu, ada yang tidak memasukannya sebagai salah satu khalifah Dinasti Umayyah. Pada masanya, tanda-tanda kehancuran Dinasti Umayyah semakin jelas. Perpecahan diantara keluarga semakin terbuka. Ia dituntut oleh Marwan ibn Muhammad ibn Marwan untuk mempertanggung jawabkan kematian Walid II yang dibunuh oleh Yazid III, kakak Ibrahim. Ia melarikan diri dari Damaskus. Marwan sampai ke Damaskus dan dibaiat sebagai khalifah terakhir Dinasti Umayyah Jilid I.
14.  Marwan II bin Muhammad (127-132 H / 745-750 M)
Setelah dibait sebagai raja, ia mencoba memperbaiki keadaan pemerintahan yang sudah kacau balau. Ia mencoba menjalankan roda pemerintahan yang sudah lemah. Namun roda pemerintahan sudah sangat rusak, sehingga pemerintahan bukan menjadi baik, malah menjadi hancur.
Pada masa ini kekuatan kaum pemberontak yang diantaranya diwakili oleh kaum khawarij dan keturunan Abbas ibn Abdul Mutholib semakin kuat. Malah kelompok Abbasiyah ini berani memproklamirkan berdirinya Dinasti Abbasiyah pada tahun 129 H/ 446 M, yang dipimpin oleh Ibrahim. Marwan berhasil menagkap dan membunuhnya. Namun pengganti Ibrahim, Abu al-Abbas as-Shaffah lebih kuat dan didukung oleh kaum  Syiah dan Khurasan.
Pada tahun 131 H/748 M, terjadilah pertempuran besar antara pasukan as-Shoffah dan Marwan di sungai Zab. Marwan melarikan diri dan terbunuh pada tahun 132 H. Pada tahun ini pula, tepatnya hari Kamis, tanggal 30 Oktober[31], as-Shaffah dibait menjadi khalifah  pertama Bani Abbasiyah. Ia berhasil merebut kekuasaan pemerintahan dari tangan Dinasti Umayyah.[32]
Dengan terbunuhnya Marwan, maka hancurlah kerajaan dinasti Umayyah jiid I. Namun, ada salah seorang keturunan Dinasti Umayyah jilid I yang berhasil melarikan diri dari kejaran pasukan Abbasiyah dan kelak ia membangun kerajaan besar dinasti Umayyah jilid II di Andalusia.
B.     Masa Kemajuan Dinasti Bani Umayyah.
Kekuasaan dinasti Bani Umayah berlangsung selama hampir 1 abad lamanya dengan 14 khalifah. Dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut, tentu saja sudah banyak yang dilakukan oleh dinasti Umayyah dalam memajukan Islam, di antaranya ialah:
a.      Perluasan Wilayah
Perluasan wilayah yang dilakukan pada masa Bani Umayyah itu meliputi tiga front penting, yaitu daerah-daerah yang telah dapat dicapai dan terhenti disitu gerakan perluasan Islam yang dilakukan sampai masa Khalifah Utsman bin ‘Affan. Ketiga front itu adalah:
·      Pertama, Front pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia Kecil. Di masa Daulah Bani Umayyah, pertempuran di front ini telah meluas, sampai meliputi pengepungan terhadap kota Konstantinopel, dan penyerangan terhadap beberapa pulau di Laut Tengah.
·      Kedua, Front Afrika Utara. Front ini meluas sampai ke pantai Atlantik, kemudian menyebrangi Selat Jabal Tarik dan sampai ke Spanyol.
·      Ketiga, Front Timur. Ini meluas dan terbagi kepada dua cabang yang satu menuju ke Utara, ke daerah-daerah di seberang Sungai Jihun (Amu Dariah). Dan cabang yang kedua menuju ke Selatan, meliputi daerah Sind.[33]
1)   Front melawan bangsa Romawi di Asia Kecil
Front ini sangat penting bagi Daulah Umayyah karena Daulah ini mengambil kota Damaskus sebagai ibu kota Imperium Islam yang luas itu. Dengan demikian ibu kota tersebut dekat sekali letaknya ke tapal batas kerajaan Byzantium. Mu’awiyah sebagai penguasa pertama Daulah ini bermaksud menjatuhkan Imperium Byzantiium ini dengan cara merebut ibu kotanya “Konstantinopel”.
Usaha ini, dilakukan Muawiyah dengan mengadakan persiapan-persiapan dan memperbesar armadanya, hingga terdiri dari 1700 kapal, lengkap dengan perbekalan dan persenjataan. Kemudian melakukan penyerangan hingga ke Laut Tengah dan berhasil menduduki pulau Rhodes pada tahun 53 H, dan pulau Kreta pada tahun 54 H. Diserangnya lagi pulau-pulau Sicilia, dan sebuah pulau yang bernama Arwad, tidak jauh dari kota Konstantinopel. Itu semua disamping pulau Cyprus yang telah ditaklukkan Mu’awiyah pada masa Khalifah Utsman. Penyerangan pulau-pulau tersebut dipimpin oleh Janadah bin Abi Umayyah.
Setelah berhasil menguasai daerah darat dan laut, Mu’awiyah maju menuju tujuan utamanya yaitu mengepung ibu kota Konstaantinopel, yang dipimpin oleh Yazid bin Mu’awiyah anaknya sendiri didampingi oleh pahlawan Islam kenamaan antara lain: Abu Ayyub al-Anshar, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, dan Bin Abbas. Namun kota itu sanggup menghadapi pengepungan yang lama itu, yang berlangsung sekitar tujuh tahun (54 H - 61 H). Dalam pertempuran ini tewas seorang shahabi yang termasyhur yaitu Abu Ayyub al-Anshari. Armada ini mengundurkan diri seiring dengan akhir masa pemerintahan Mu’awiyah.
Penyerangan dilakukan kembali pada masa Khalifah Abdul Malik setelah ia berhasil menumpas kekacauan dalam negeri sehingga berhasil menaklukkan kembali daerah Armenia. Disusunnya rencana untuk musim dingin dan musim panas. Pada tahun 84 H, Abdul Malik mengirim pasukan di bawah pimpinan Abdullah bin Abdul Malik menyerang kekuasaan Romawi dan berhasil menaklukkan Mashaishah.
Penyerangan dilanjutkan kembali oleh Khalifah Al-Walid, hingga dia berhasil melakukan penaklukkan ke daerah-daerah sekitar Konstantinopel sebelum melakukan penyerangan ke sana walaupun kota ini berhasil melepaskan diri dari pengepungan.[34]
2)      Front Afrika Utara.
            Muawiyah melakukan perluasan wilayah ke Afrika Utara yang masih dibawah kekuasaan Romawi, yang dipimpin oleh panglima masyhur -‘Uqbah bin Nafi’ al Fihri- yang telah menetap di Barqah sejak daerah itu ditaklukkan. Dan ‘Uqbah merusaha menarik bangsa Barbar untuk masuk Islam. Ia barhasil menaklukkan daerah Tripoli dan Fazzan, kemudian terus ke Selatan hingga sampai ke negeri Sudan.
Muawiyah mengangkat Mslamah bin Makhlad al-Anshari sebagai gubernur Maghribi dan berhasil menguasai seluruh daerah Maghribi, Mesir, Barqah, Afrika dan Tripoli. Dia memecat panglima ‘Uqbah dari kedudukannya di Afrika dan diangkat kembali oleh Khalifah Yazid, dan berhasil maju hingga ke pantai Atlantik.
Pengiriman satuan besar dilakukan kembali pada masa pemerintahan Abdul Malik dibawah pimpinan Hasan bin Nu’man al-Ghassani. Satuan ini berhasil menumpas satuan-satuan Romawi dan menghalau mereka dari Afrika Utara serta menindas perlawanan bangsa Barbar. Dengan demikian kekuasaan Islam sampai ke Lautan Atlantik.[35]
3)      Front Timur.
Front ke daerah Timur ini dilakukan di daerah seberang Sungai Jihun dan di Sind. Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Walid kaum muslimin telah mendapat kamajuan dan stabilitas di “Daerah Seberang Sungai Jihun”, sehingga penaklukkan itu sempurna pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman bin Abdil Malik, dibawah pimpinan panglima Yazid bin Muhallab.
Front Timur ini sangat erat hubungannya dengan negeri Persia, yang ditaklukkan pada masa Khalifah Umar, dan negeri Khurasan yang telah dicapai oleh Khalifah Umar dan Utsman namun belum stabil. Pada masa Khalifah Al Walid, front ini dibagi dua oleh Al Hajjaj bin Yusuf yang menunjuk dua orang panglima yaitu Al Muhallab bin Abi Shufrah dan Muhammad bin Qasim as Tsaqafi (menantunya sendiri).
Panglima pertama dikirim ke arah Timur Laut menaklukkan negeri-negeri yang berada di daerah Sungai dan panglima kedua dikirim ke arah Tenggara menaklukkan negeri Sind.[36]
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik Timur maupun Barat. Wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan Purkmenia, Ulbek, dan Kilgis di Asia Tengah.

b.      Sistem Sosial
Meskipun sering kali terjadi pergolakan dan pergumulan politik pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, namun terdapat juga usaha positif yang dilakukan daulah ini untuk kesejahteraan rakyatnya.
Diantara usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayyah dalam mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh sstem pemerintahan dan menata administrasi antara lain organisasi keuangan ini bertugas mengurusi masalah keuangan Negara yang dipergunakan untuk:
a)      Gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha Negara.
b)      Pembangunan pertanian, termasuk irigasi.
c)      Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang
d)     Perlengkapan perang
Disamping usaha tersebut Daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga Negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan.
Oleh karena itu Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu

c.       Sistem Militer
Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah adalah kemajuan dalam sistem militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan Arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur kemudian mereka memadukannya dengan sistem dan teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, dengan perpaduan sistem pertahanan ini akhirnya kekuatan pertahanan dan militer.
Dinasti Bani Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan dalam sistem ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Eropa. Secara garis besar formasi kekuatan tentara Bani Umayyah terdiri dari pasukan berkuda, pasukan pejalan kaki dan angkatan laut.

d.      Sistem Ekonomi
Bidang-bidang ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah terbukti berjaya membawa kemajuan kepada rakyatnya yaitu:
1)      Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembangunan sektor pertanian, beliau telah memperkenalkan sistem pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil pertanian.
2)      Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraftangan telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.

e.       Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Sastra-Seni
Pada masa Dinasti Umayah, ilmu pengetahun berkembang dalam tiga bidang, yaitu bidang diniyah, tarikh, dan filsafat. Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan selama pemerintahan dinasti Umayyah, antara lain kota Kairawan, Kordoba, Granda dan lain sebagainya.
Pada masa Umayyah, ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam:
·      Pertama, Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru),  yang meliputi:  Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur’an, Hadits, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-Ulumul Dakhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi ;
·      Kedua, Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu yang telah ada pada zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal.

f.       Gerakan Penerjemahan dan Arabisasi
Gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab (Arabisasi buku), juga dilakukan, terutama pada masa khalifah Marwan. Pada saat itu, ia memerintahkan penerjemahan sebuah buku kedokteran karya Aaron, seorang dokter dari Iskandariyah, ke dalam bahasa Siriani, kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Arab. Demikian pula, Khalifah memerintahkan menerjemahkan buku dongeng dalam bahasa sansakerta yang dikenal dengan Kalilah wa Dimnah, karya Bidpai. Buku ini diterjemahkan oleh Abdullah bin Al-Muqaffa. Ia juga telah banyak menerjemahkan banyak buku lain, seperti filsafat dan logika, termasuk karya Aristoteles: Categoris, Hermeneutica, Analityca Posterior serta karya Porphyrius: Isagoge.[37]
Demikian juga, pada masa Dinasti Umayyah, sudah mulai dirancang tentang undang-undang yang bersumber dari al-Qur’an, sehingga menuntut masyarakat mempelajari tentang tafsir al-Qur’an. Salah seorang ahli tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut adalah Ibn Abbas. Pada waktu itu beliau telah menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat dan isnad, kemudian kesulitan-kesulitan dalam mengartikan al-Qur’an dicari dalam al-hadits, yang pada gilirannya melahirkan ilmu hadits.
Pada saat itulah kitab tentang ilmu hadits sudah mulai dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadits yang terkenal pada masa itu, antara lain: Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibn Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky), Al-Auza’i Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Sya’bi.
Dalam bidang hadits ini, Umar bin Abd Aziz secara khusus memerintahkan Ibn Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadits. Oleh karena itu, Ibn Syihab telah dianggap sangat berjasa dalam menyebarkan hadits hingga menembus berbagai zaman. Sejak saat itulah perkembangan kitab-kitab hadits mulai dilakukan.[38]
Gerakan Arabisasi juga bukan hanya dilakukan pada penerjamahan, tetapi juga dalam konteks kebijakan pemerintahan. Pada masa Abdul Malik (685-705 M) mulai diperkenalkan bahasa Arab untuk tujuan-tujuan administrasi, mata uang gaya baru diperkenalkan, dan hal ini memiliki arti yang sangat penting, karena mata uang merupakan simbol kekuasaan dan identitas.[39] Sebab, mata uang baru inipun dicetak dengan menggunakan kata-kata semata, memproklmasikan dengan bahasa Arab keesaan Tuhan dan kebenaran agama Islam.[40]
Selain itu, kekuasaan ini juga melakukan banyak hal, baik prestasi dalam negeri maupun luar negeri. Prestasi luar negeri misalnya, pada masa Dinasti Umayyah, gerakan pelebaran sayap kekuasaan terus dilakukan, terutama pada Muawiyah. Ia sangat gencar melakukan ekspansi, setelah sempat tertunda pada Usman dan Ali, akibat konflik politik internal. Pada masa Muawiyah bahkan telah mulai mampu menciptakn bebarapa hal yang sangat berarti, terutama menyangkut melindungi keselamatan Muawiyah, antara lain yaitu:
·         Pertama, Muawiyah memerintahkan agar para prajurit mengangkat senjata tembok apabila mereka berada di hadapannya.
·         Kedua, Mu’awiyah merupakan khalifah yang mula-mula menyuruh agar dibuatkan ”anjung” dalam masjid tempat sembahyang. Ia sangat khawatir akan keselamatan dirinya, karena khalifah Umar   dan Ali, terbunuh ketika sedang melaksanakan shalat.[41]
Kemudian, masa-masa kejayaan Daulah Umayah mencapai puncaknya pada masa Al-Walid bin Abdul Malik (705-715M). Masa ini merupakan masa-masa kejayaan kekuasaan Bani Umayah, karena ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam benar-benar mendapatkan kebahagiaan. Pada masa ini, perluasaan wilayah kekuasaan dari Afrika menuju wilayah Barat Daya, benua Eropa, bahkan perluasaan ini juga sampai ke Andalusia (Spanyol) di bawah kepemimpinan panglima Thariq bin Ziyad, yang berhasil menaklukkan Kordova, Granada, dan Toledo.
Selain gerakan luar negeri, dinasti Umayah juga banyak melakukan karya-karya yang sangat berarti, misalnya Muawiyah sudah merancang pola pengiriman surat (post), kemudian dimatangkan lagi pada masa Malik bin Marwan. Proyek al-Barid (pos) ini, semakin ditata dengan baik, sehingga menjadi alat pengiriman yang baik pada waktu itu.[42] Bahkan pada masa, Sulaiman bin Malik, telah dibangun pembangunan mega raksasa yang terkenal dengan Jami’ul Umawi.
Bahkan pada masa Daulah Umayyah, gerakan sastra dan seni juga sempat muncul dan berkembang, yaitu pada masa khalifah Abdul Malik, setelah al-Hajjaj berhasil menundukkan Abdullah bin Zubair di Hijaz. Di negeri itu telah muncul generasi baru yang bergerak di bidang sastra dan seni. Pada masa itu muncul tokoh Umar binu Abi Rabi’ah, seorang penyair yang sangat mashur, dan muncul perkumpulan penyanyi dan ahli musik, seperti Thuwais dan Ibn Suraih serta al-Gharidl.[43]

C.    Masa Kemunduran/Kehancuran Bani Umayyah
Kebesaran yang dibangun oleh Daulah Bani Umayyah ternyata tidak dapat menahan kemunduran dinasti yang berkuasa hampir satu abad ini, hal tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor  yang menyebabkan Bani Umayyah lemah dan kemudian mengantarkannya pada titik kehancuran.
Faktor-faktor tersebut diklasifikasi menjadi dua bagian:
                                  I.      Faktor Internal, yaitu berasal dari dalam istana sendiri antara lain:
1)      Perselisihan antara keluarga khalifah,
                  Di antrara para putra mahkota yang pertama telah memegang maka ia berusaha untuk mengasingkan keluarga yang lain dan ingin menggantikan dengan anaknya sendiri, sehingga menurut Philip K..Hitti sistim pergantian khalifah dari garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi Arab. Yang mengakibatkan terjadinya persaingan  yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.[44]
2)      Perilaku khalifah atau gubernur  jauh dari aturan Islam.
Kekayaan Bani Umayyah disalah gunakan oleh khalifah
                          ataupun gubernur untuk hidup berfoya-foya, bersuka ria dalam
kemewahan,terutama masa khalifah yazid II naik Tahta ia terpikat oleh dua biduanitanya, Sallamah dan Habadah serta suka meminum minuman keras,[45]ditambah lagi para wazir dan panglima bani Umayyah sudah mulai korup dan mengendalikan Negara karena para khalifah pada saat itu sangat lemah.[46]

                            II.            Faktor eksternal, adalah yang berasal dari luar istana
1)      Perlawanan dari kaum Khawarij
     Sejak berdiri dinasti Bani Umayyah para khalifahnya sering menghadapi tantangan dari golongan Khawarij. Golongan ini memandang bahwa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah telah melakukan dosa besar.[47] Perbedaan sudut pandang pro Ali dan Pro Muaiwiyah ini menjadikan Khawarij mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sendiri
2)      Perlawanan dari kalangan Syi`ah
Pada dasarnya kaum Syi`ah tidak pernah mengakui pemerintahan Dinasti Bani Umayyah dan tidak pernah memaafkan kesalahan mereka terhadap Ali dan Husain hingga semakin aktif dan mendapat dukungan public di sisi mereka berkumpul orang-orang yang merasa tidak puas, baik dari sisi politik, ekonomi maupun sosial terhadap pemerintahan Bani Umayyah.[48]
3)      Perlawanan dari golongan Mawali.
      Asal mula kaum Mawali yaitu budak-budak tawanan perang yang telah dimerdekakan kemudian istilah ini berkembang pada orang Islam bukan Arab. Ketika Bani Umayyah berkuasa orang Mawali dipandang sebagai masyarakat bawahan sehingga terbukalah jurang dan sekat sosial yang memisahkan, padahal orang Mawali turut berjuang membelah Islam dari Bani Umayyah, mereka adalah kaum infantri yang berjalan kaki yang bertempur dengan kaki telanjang  diatas terik panasnya padang pasir.mereka ahkirnya bergabung dengn gerakan anti pemerintah yakni pihak Bani Abbasiyah dan Syi`ah.[49]
4)      Pertentangan etnis Arab Utara dengan Arab Selatan.
Masa khilafah Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia utara (Bani Qaisy) dan Arabia Selatan  (Bani Qalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam semakin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah kesulitan menggalang persatuan dan kesatuan.[50]
5)   Perlawanan dari Bani Abbasiyah
Keturunan paman Rasulullah, Al-Abbas ibn Abd Al-Muthalib, mulai bergerak aktif mempelopori munculnya kekuatan baru yang mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan juga dari golongan Mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[51]
Koalisi akbar ketiga kaum Syi`ah, Mawali dan Abbasiyah, menyusun kekuatan dalam melakukan agresi gerakan revolusi pemerintahan dengan menumbangkan Dinasti Bani Umayyah dan bertujuan menciptakan pemeritahan baru.

         Maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah di kota Damaskus yang dirintis Muawiyah ibn Sufyan kurang lebih sembilan puluh tahun lamanya dan ditutup oleh khilafah ke empat belas Marwan ibn Muhammad.


BAB II
PENUTUP

Kesimpulan.
o    Bani Umayyah merupakan salah satu penguasa Islam yang cukup masyhur seperti yang penguasa-penguasa Muslim yang lain. Bahkan pada masa ini, perubahan demi perubahan dilakukan, setidaknya keberanian Bani Umayyah untuk keluar dari tradisi Arab dalam masalah pergantian kepemimpinan serta pemindahan pusat kekuasaan dari Jazirah Arab ke Damaskus (luar Jazirah Arab) menjadi bukti sederhana tentang dinamika yang terjadi pada masa Bani Umayyah berkuasa.
o    Dinasti Umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan Ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).
o     Kemajuan dinasti Umayyah dilakukan dengan ekspansi sehingga menjadi negara Islam yang besar luas serta sangat memperhatikan kemajuan pembangunan. Walid bin Abdul Malik ikut andil dalam memperluas Masjid Nabawi. Pada masa Abdul Malik bin Marwan  disempurnakan penulisan al-Qur’an dengan memberikan baris dan titik pada huruf-hurufnya.
o    Kekuasaan Daulah Bani Umayyah mengalami kemunduran,karena adanya dua faktor yang sangat berpengaruh yaitu faktor internal dan eksternal. 
 
DAFTAR PUSTAKA
Mughni, Syafiq, A., Dinamika Intelektual Islam Pada Abad Kegelapan, LPAM: Surabaya, 2002
Yatim, Badri M.A., Dr., Sejarah Peradaban Islam, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2006
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2004
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, UI-Press: Jakarta, 1999, J.1.
al-Husairy, Ahmad, Sejarah Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Diterjemahkan dari at-Tarikh al-Islam oleh Samson Rahman, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2008, C. 6
Salabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna: Jakarta, Jilid 11, 2003
Hitti, Philip K. The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From The Earliest Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan deDi Slamet Riyadi, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008
http// Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Kekhalifahan Umayyah.
Dahlan, Ihsan Muhammad, Syekh, Sirojuttholibin, Darul Ihya al-Kutubul al-Arabiyyah, Jilid II.
Sou’yb, Joesouf, Sejarah Daulah Umawiyah di Damaskus, I, Bulan Bintang: Jakarta, 1997
Tibrizi, Abdul Aziz, E., Sejarah Kebudayaan Islam; Diklat. II, Tangerang: Ponpes Daarul el-Qalam.
Qadir, C.A., Filsafat Dan ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Obor, 2002
Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadits: Studi Kritis Atas Kajian Hadst Kontempore, Bandung; Rosda, 2004
Hourani, Albert, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, Bandung; Mizan, 2004
Ibrahim, Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2003
Karim, M.Abdul, Sejarah pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, cet 1, 2007
Murodi, Ali, Islam di kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos Cet,1,1999



[1] Syafiq A. Mughni, Dinamika Intelektual Islam Pada Abad Kegelapan (LPAM: Surabaya, 2002), h. 1
[2]Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, (PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2004), h. 34.
[3] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, (UI-Press: Jakarta, 1999, J.1), h. 26
[4] Khawārij (baca Khowaarij, secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah, (sumber: Wikipedia bahasa Indonesia), pada tnggal 29 September 2012, pukul 14.30
[5] Ahmad al-Husairy, Sejarah Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Diterjemahkan dari at-Tarikh al-Islam oleh Samson Rahman, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2008), Cet. Ke-6, h.236
[6] Ibid. h.177
[7] A. Salabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Pustaka Al-Husna: Jakarta, Jilid 11, 2003), h. 29-30
[8] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, (PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2006), h. 42
[9] http// Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Kekhalifahan Umayyah.
[10] Syekh Ihsan Muhammad Dahlan, Sirojuttholibin (Darul Ihya al-Kutubul al-Arabiyyah), Jilid II, h. 70
[11] Joesouf Sou’yb, Sejarah Daulah Umawiyah di Damaskus, I,( Bulan Bintang: Jakarta, 1997), h. 13
[12] Philip K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From The Earliest Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan deDi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. Ke-1, h. 245
[13] Al-Husairy, Ahmad. 2008. Sejarah Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Diterjemahkan dari at-Tarikh al-Islam oleh Samson Rahman. (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.), h. 188-189.
[14] Philip K. Hitti, The History of Arab, hlm. 244.
[15] Ibid, h.242.
[16] E. Abdul Aziz Tibrizi, Sejarah Kebudayaan Islam; D. II (Tangerang: Ponpes Daarul el-Qalam), h. 7.
[17] Al-Husairy, Sejarah Islam, h. 92
[18] Al-Husairy, h. 193.
[19] Ibid, h. 199.
[20] Ibid, h. 200.
[21] Ibid, h. 200-202
[22] Ibid, h., 203.
[23] Ibid., h.. 204
[24] Ibid
[25] Dr. Badri Yatim M.A., Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-3, h..47.
[26] Dr. Badri Yatim M.A., h. 47
[27] Philip K. Hitti, The History of Arabs,  h. 348.
[28] Al-Husairy, Sejarah Islam, h. 209
[29] Ibid.,  h. 208-209
[30] Ibid, h. 210
[31] Philip K. Hitti, h. 355
[32] Al-Husairy, Sejarah Islam, h.  211-212.
[33] A. Salabi, Op. cit., h. 115
[34] A. Salabi, h. 115-121
[35] A. Salabi, hl. 122-126
[36] A. Salabi, h. 133-141
[37] C.A. Qadir, Filsafat Dan ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Pustaka Obor, 2002), h. 37
[38] Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits : Studi Kritis Atas Kajian Hadst Kontempore, (Bandung; Rosda, 2004), h. 39
[39] Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim (Bandung; Mizan, 2004), h. 82
[40] Ibid., h.83
[41] A. Salabi, h. 33
[42] Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), h. 328
[43] A. Salabi, Op. Cit., h. 70
[44] Dr. Badri Yatim, M.A., h. 48
[45] Philip K..Hittih. h. 315
[46] M.Abdul Karim, Sejarah pemikiran dan Peradaban Islam , (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, cet 1, 2007 ), h.131
[47] Harun nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid 1, ( Cet.V; Jakarta ; UI Pres,1985 ), h.64
[48] Philip K. Hitti, op. cit, h. 352
[49] Ali Murodi, Islam di kawasan Kebudayaan  Arab, ( Cet,1; Jakarta: Logos 1999 ), h.343
[50] Dr. Badri Yatim, M.A., h. 48
[51] Dr. Badri Yatim, M.A., h. 49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar