Senin, 07 April 2014

Makalah, Ulumul Hadis, Syarat-syarat Perawi & Proses Transmisi Hadis



BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Mayoritas ulama hadis dan fiqih, sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadis harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dhabit) serta memiliki integritas keagamaan yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas sifat adil. Dalam hubungannya dengan periwayatan hadis maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang positif atau orang yang selalu  konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis adalah persoalan outentik dan reliabilitas otentifikasi metodologi  hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistansi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi collapse.
Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh umat Islam terlalu penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memahami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam.. Dalam anatomi hukum Islam, hadis merupakan salah satu sumber yang penting untuk dikonsultasikan.
Sebelum menjabarkan mengenai hadis lebih jauh, ada beberapa hal yang sangat penting dan mesti kita ketahui dalam masalah hadis yaitu :
1.     Pada awalnya Rasulullah SAW melarang para sahabat menuliskan hadis, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan al-Qur’an.
2.     Perintah untuk menuliskan hadis yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadis.
3.     Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak (tercampur antara yang shahih dengan dha’if dan perkataan para sahabat)
4.     Pada kurun abad ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di Makkah. Hadis dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh imam Al-Auzai, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Bashrah oleh Hammad Bin Salamah. 
5.     Pada pertengahan abad ke-3 hijriah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan Muslim.

Maka dari itu, di dalam makalah ini kami akan mencoba untuk membahas mengenai syarat seorang perawi dan cara mereka menerima dan menyampaikan riwayat (transmisi hadis).

B.    Rumusan Masalah
1.     Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang perawi hadis
2.     Proses transmisi (cara menerima dan menyampaikan riwayat) hadis

C.    Tujuan
Untuk mengetahui syarat-syarat seorang  perawi hadis dan bagaimana proses menerima dan menyampaikan (transmisi) hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua. Dan merupakan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Ulumul  Hadis.



BAB II
Perawi & Proses Transmisi Hadis

         I.        Perawi Hadis
A.    Definisi
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis[1] Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadis dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.
Karena hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai kepada kita melalui jalur para perawi, maka mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui ke-shahih-an atau tidaknya suatu hadis. Karena itu pula, para ulama hadis amat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadis, lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas metode yang mereka miliki.
Berbagai persyaratan yang ditentukan terhadap para perawi dan syarat-syarat lain bagi diterimanya suatu hadis atau berita, tidak pernah ada dan tidak pernah dijumpai pada agama apapun, bahkan hingga masa kini.
B.    Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang perawi hadis, diantaranya yaitu:
1)     Muslim.
Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadis atau khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadis, bukan ketika membawa atau menanggungnya.
Ada sahabat yang mendengar hadis ketika mereka masih belum memeluk Islam. Ketika mereka sudah masuk Islam, mereka meriwayatkan hadis yang diterima atau didengarnya ketika masih belum Islam. Contohnya sebagaimana yang telah berlaku kepada Jubair bin Matam. Beliau telah meriwayatkan hadis yang didengarnya ketika masih belum memeluk Islam. Hadisnya ialah berkenaan perbuatan Nabi SAW yang membaca surah al-Thur ketika sholat maghrib.[2]
2)     Berakal
Menurut para ahli hadis, berakal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk  membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadis, seseorang harus telah memasuki usia akil baligh. Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang  mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun[3]
3)      Al-dhabtu (dhabit).
Dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat, baik ketika menerima pelajaran hadis maupun menyampaikannya. Sudah barang tentu, orang seperti ini mempunyai hafalan yang kuat, pintar, dan tidak pelupa. Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadis yang dia riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, telilti dan terpercaya. tetapi itu tidak harus mengenai keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadis yang mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadis yang mereka riwayatkan, maka kecermatanya masih diragukan.[4]
Allah akan menghargai orang yang bersikap cermat dalam periwayatan hadis, merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja. Hadis shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar.[5]

4)     Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkan kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadisnya diakui kejujurannya”[6]
Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi. Jika masalah kebersihan, baru dapat diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi ini baik laki laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil terhadap dirinya sendiri.



          II.     Proses Transmisi  Hadis
A.    Definisi.
Metode transmisi hadis atau dikenal dengan istilah “Jalan Menerima Hadis (thuruq at-tahammul) dan Penyampaiannya” yaitu: cara-cara menerima hadis mengambilnya dari Syaikh/Guru.  Kata transmisi berarti penyampaian atau peralihan atau penyebaran. Jadi transmisi hadis bisa diartikan dengan proses peralihan atau perpindahan suatu hadis dari sanad ke sanad sampai ke perawi.
B.    Cara-cara Rasulullah ketika menyampaikan hadisnya:
1)     Rasulullah menyampaikan hadis pada dasarnya dengan cara natural saja. Ketika ada masalah, lalu beliau memberikan penyelesaian.
1)     Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam dan subuh.
2)     Dalam bentuk tulisan. Banyak riwayat menyatakan bahwa Rasulullah telah berkirim surat kepada kepala Negara dan pembesar daerah yang non-Islam.
Berbagai hadis Nabi yang temaktub di kitab-kitab hadis sekarang ini, asal mulanya adalah hasil kesaksian sahabat nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau hal-ihwal Nabi. Cara periwayat memperoleh dan menyampaikan hadis pada zaman nabi tidaklah sama dengan pada zaman sahabat nabi. Demikian juga dengan pada zaman sahabat nabi tidaklah sama dengan zaman sesudahnya.
C.    Proses transmisi hadis pada masa Nabi sampai pada zaman sesudah generasi sahabat.
1.     Periwayatan hadis pada zaman Nabi
Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis nabi kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Mereka (sahabat) secara bergantian menemui nabi. Seandainya Umar tidak datang maka berita dari nabi akan disampaikan oleh sahabat lainnya kepadanya.
Proses transmisi hadis pada masa Nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini terjadi karena 2 hal yaitu:
a)     Cara penyampaian hadis oleh Rasulullah secara langsung.
b)     Minat yang besar dari para sahabat.
2.     Periwayatan Hadis Pada Zaman Sahabat Nabi
a)     Pada Zaman Abu Bakar al-Shiddiq
Abu bakar merupakan sahabat nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Beliau sangat berhati-hati dengan periwayatan hadis. Ini didasarkan pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Beliau tidak melihat petunjuk al-Qur`an dan praktek nabi yang memberikan harta warisan kepada nenek. Lalu ia bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Namun Abu Bakar tidak langsung percaya terhadap perkataan sahabat tersebut. Dia meminta sahabat tersebut untuk mendatangkan saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian.
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadis yang diriwayatkannya relative tidak banyak.[7] Data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadis di kalangan umat Islam pada masa khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini karena pada saat pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintahan dan Negara.
b)     Pada Zaman Umar bin Khattab
Pada masa Umar penyebaran hadis kurang berjalan. Karena pada masa Umar lebih memfokuskan pada membaca dan mendalami al-Qur`an. Akan tetapi lebih banyak dari masa Abu Bakar. Namun pada masa Umar para perawi terkekang karena Umar sangat tegas. Beliau sangat berhati-hati. Karena Umar ingin ummat lebih konsentrasi dengan al-Qur`an dan lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis.

c)     Pada Masa Utsman bin Affan
Secara umum, kebijakan Utsman tentang periwayatan sama seperti khalifah sebelumnya. Namun langkah yang dijalani Utsman tidaklah setangkas Umar bin Khattab. Utsman meminta kepada para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis yang tak pernah didengar pada masa Abu Bakar dan Umar. Penyebaran hadis pada masa Utsman lebih banyak dibanding dengan khalifah Umar bin Khattab. Karena wilayah Islam pada saat itu mulai meluas dan perawipun jumlahnya bertambah dan meluas.
d)     Pada Masa Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para pendahulunya dalam periwayatan hadis. Secara umum Ali bersedia menerima riwayat hadis Nabi setelah periwayat hadis mengucapkan sumpah,  bahwa hadis itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya dengan periwayat yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta untuk bersumpah.
Transmisi hadis pada masa Ali juga sangat hati-hati seperti para pendahulunya. Akan tetapi pada masa Ali, kondisi politik sudah makin menajam. Hal ini menjadi dampak negatif dalam penyebaran hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihak- pihak tertentu melakukan pemalsuan hadis.[8] Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadis dapat dipercaya riwayatnya.
3.     Periwayatan Hadits Pada Zaman Sesudah Generasi Sahabat
Pada zaman sesudah generasi sahabat Nabi, khususnya pada saat hadis Nabi dihimpunkan dalam kitab-kitab hadis, telah dibakukan tata cara penyampaian dan penerimaan riwayat hadis Nabi. Pembakuan periwayatan ini sangat erat kaitannya dengan upaya ulama dari hadis-hadis palsu.
Pada masa ini konsentrasi kepada hadis sangat meningkat. Yang mereka kaji bukan hanya matan saja, namun juga sanad-nya. Periwayatan hadis Nabi pada zaman ini tidak memperoleh hadis secara langsung dari Nabi, karena mereka memang tidak se zaman dengan Nabi.
Periwayatan hadis pada zaman sesudah sahabat Nabi telah makin meluas, rangkaian periwayat hadis yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan pada zaman sahabat Nabi.

D.    3 (tiga) Unsur yang harus dipenuhi di dalam periwayatan hadis, yaitu:
1)     At-tahammul (Kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis)
2)     al-ada’  (Kegiatan menyampaikan hadis kepada orang lain)
3)     Al-isnad (Penyebutan susunan rangkaian periwayatannya ketika menyampaikan  hadis)[9]

1)     Kelayakan Tahammul
Para ulama cenderung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan, Husain,  Abdullah ibn az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Sa’id al-Khudriy, Mahmud ibn    ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh. Dalam perbedaan pendapat para ulama tersebut, dapat di simpulkan bahwa pokok kecakapan dan keahlian menerima hadis menurut jumhur adalah tamyiz yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya.
Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadis yang dilakukan oleh anak kecil, berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah tamyiz dari anak kecil itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antar masing-masing anak kecil. Namun demikian mereka mem­berikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak di antara mereka yang telah berusaha keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa me­ringkas penjelasan itu ke dalam tiga pendapat:
·       Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari hadis Muhammad ibn ar-Rabi’ ra, katanya : “Aku masih ingat siraman Nabi SAW dari timba ke mukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima tahun.”
·       Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan keledai. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan di sekitar.
·       Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadis didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan  jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan absah pende­ngarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya mende­ngar hadis tidak absah, meski usianya di atas lima tahun.

2)     Kelayakan Ada’

1)     Islam,
2)     Baligh
3)     Sifat Adil
4)     Dhabit



E.     Metode Penerimaan Hadis
Seiring meluasnya dunia Muslim waktu itu, maka dalam pnyebaran hadis yang lebih intensif dan bisa dipertanggungjawabkan menuntut metode baru dalam belajar mengajar hadis. Dalam konteks ini, pada umumnya, ulama membagi metode periwayatan hadis kepada delapan macam:[10] yaitu :
1.     As As-sama’
            Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima’ mencakup imlak (pendiktean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi).. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada pada peringkat tertinggi.
Di dalam meriwayatkannya menggunakan kata-kata :
·       حَدَّثَنَا (seorang telah menceritakan kepada kami)
·       أَخْبَرَنَا (seorang telah mengabarkan kepada kami)
·       أَنْبَأَنَا (seorang telah memberitakan kepada kami)
§  سَمِعْتُ فُلاَنًا (saya telah mendengan seseorang)
§  قَالَ لَنَا فُلاَنٌ (seseorang telah berkata kepada kami)
§  ذَكَرَ لَنَا فُلاَنٌ (seseorang telah menuturkan kepada kami).
Termasuk dalam  kategori as-sama’ juga seseorang yang mendengarkan hadis dari Syeikh dari balik sattar (semacam kain pembatas/penghalang). Jumhur ulama membolehkannya dengan berdasarkan para sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah melalui ummahat al-mu’minin (para istri Nabi).
2.     Al-Qira’ah 
Yaitu periwayat/murid menghadapkan riwayat hadis  kepada guru hadis dengan cara periwayatan itu sendiri membacanya atau orang lain yang membacakannya dan dia mendengarkan.[11] Riwayat hadis yang dibacakan itu bisa saja berasal dari catatannya atau bisa juga dari hafalannya. Sedangkan guru (syaikh) hadis yang disodori bacaan tadi aktif menyimak melalui hafalannya sendiri atau melalui catatan yang ada padanya. Cara ini hampir mirip dengan pemeriksaan hafalan dalam menghafal al-Qur’an.
Mengenai kedudukan penerimaan hadis dengan cara al-qira’ah ini, ulama berbeda pendapat, menurut az-Zuhriy dan al-Bukhariy, cara al-qira’ah sama kedudukannya dengan cara as-sama’. As-Suyuty, Ahmad bin Hambal dan Ibn           as-Salah menilai kedudukan as-sama’ lebih tinggi daripada al-qira’ah. Sedang Abu Hanifah menilai al-qira’ah lebih tinggi daripada as-sama’.
Apabila dilihat dari proses pemeriksaan terhadap riwayat hadis, maka cara             al-qira’ah lebih berpeluang dapat terhindar dari kesalahan atau lebih korektif dibandingkan dengan cara as-sama’. Karena dalam cara al-qira’ah, pemeriksaan riwayat hadis dilakukan oleh guru hadis selaku penyampai riwayat dan murid selaku penerima riwayat. Guru hadis menyimak hadis yang dibacakan muridnya. Jadi dalam hal ini guru berfungsi sebagai penguat dan pemeriksa terakhir terhadap hadis yang telah diperiksa oleh murid.
Kata-kata atau istilah yang dipakai untuk periwayatan cara al-qira’ah ada yang disepakati oleh ulama, antara lain adalah:
a)     قرأت على فلان (aku telah membaca kepada fulan ) kata-kata ini dipakai bila periwayat membaca sendiri di hadapan guru hadis yang menyimaknya.
b)     قرأت على فلان وأنا اسمع فأقربه ( aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya) kata-kata ini dipakai bila periwayat tidak membaca sendiri, melainkan dia mendengarkan bacaan orang lain, sedang guru hadis menyimaknya[12]
Adapun kata-kata yang tidak disepakati pemakaiannya oleh ulama antara lain adalah kata haddatsana dan akhbarana yang tanpa diikuti kata-kata lain.
3.     Al-Ijazah
Yaitu guru hadis memberikan ijin kepada seseorang baik secara lisan maupun tulisan untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya.
Jenis ijazah ini ada dua macam:
a.      Al-ijazah disertai al-munawalah, yang mempunyai dua bentuk:
1)     Seorang guru hadis yang menyodorkan kepada murid hadis yang ada padanya lalu guru tadi berkata, “Anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis yang saya peroleh ini.”
2)     Seorang murid menyodorkan hadis kepada guru, lalu guru memeriksanya, selanjutnya ia mengatakan: “Hadis ini saya terima dari guru saya dan anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis ini dari saya.”
b.     Al-Ijazah al-mujarradah (ijazah murni)
Diantaranya ialah ijazah diberikan kepada guru hadis kepada:
1)     Orang tertentu untuk hadis tertentu, misalnya untuk hadis yang termuat dalam kitab Shahih- al-Bukhariy.
2)     Orang tertentu untuk semua hadis yang telah didengarnya (diriwayatkannya), atau
3)     Orang yang tidak tertentu, misalnya umat Islam, untuk hadis tertentu atau hadis tidak tertentu.
Ijazah murni yang disebutkan pertama oleh mayoritas ulama hadis dan fiqih disepakati kebolehannya, sedang ijazah murni lainnya masih diperselisihkan.
Adapun kata-akata yang biasa dipakai oleh mayoritas ulama diantaranya ialah haddatsana ijazatan, haddatsana idznan, ajaza lii, anba’ani ijazatan, dan lain-lain.[13]
4.     Al-Munaawalah (menyerahkan)
Al-Munawalah ada dua macam:
a)     Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,
 هَذَا سَمَا عِي أَوْرِوَايَتِي عَنْ فُلاَنٍ فَارْوِه  (Ini riwayatku/kudengar dari si fulan, maka riwayatkanlah).
Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama' dan al-qira'ah.
b)     Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan :
هَذَا سَمَا عِي أَوْ مِنْ رِوَايَتِي  (Inilah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatanku) Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.

5.     Al-Mukatabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Al-Mukatabah ada 2 macam :
a)     Al-Mukatabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,"Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu", atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
b)     Al-Mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadis untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
Kata-kata yang dipakai untuk periwayatan cara al-mukatabah cukup banyak. Misalnya Kataba ilayya fulan, Akhbarani bihi Mukatabatan, dan Akhbarani bihi Kitaban.
6.     Al-I'lam (memberitahu)
Yakni pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang diriwayatkannya diterima dari seorang guru, dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya.Hadis dengan cara ini tidak sah, karena adanya kemungkinan bahwa sang guru mengetahui bahwa dalam hadis tersebut ada cacatnya.[14]
Kata yang dipakai ialah: اَعْلمَنِي فُلانٌ قال حدثنا(seseorang telah memberitahukan kepadaku, telah berkata kepada kami)
7.     Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan disaat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan  (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
8.     Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu: Seorang perawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadis- hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadis munqathi', karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
Dalam menyampaikan hadis atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,"Wajadtu bi kaththi fulaanin" (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau "qara'tu bi khththi fulaanin" (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
As-Syafi'e memperbolehkan beramal dengan hadis yang periwayatannya melalui cara ini. Lafadznya diantaranya:[15]
a)     قَراْتُ بخَطِّ فَلانٍ (saya telah membaca  buku ini dengan tulisan si fulan)
b)     وَجَدْتُ بخَطِّ فَلانٍ (dan….saya mendapat buku ini dengan tulisan si fulan).


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.     Dan dari jabaran di atas dapatlah kami simpulkan bahwasanya Proses Transmisi Hadis dari masa Rasulullah hidup dan setelah wafat tidaklah sama. Semakin lama jarak antara masa hidupnya akan semakin sulit mengontrol menyebaran dan kebenaran hadis tersebut. Sehingga memerlukan kehati-hatian yang tinggi dalam penyebaran hadis tersebut sehingga terhindar dari munculnya hadis palsu.
2.     Dalam menerima hadis tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadis yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka hadisnya ditolak.
B.    Saran
Dikarenakan Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, maka posisi Hadis berada pada tempat yang penting untuk memahami Islam. Dan sebagai seorang Muslim, penting bagi kita mengetahui perkembangannya.

DAFTAR PUSTAKA
Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa Cendekia
Al Shan’ani, Muhammad,. 1998. Taudlih al Afkar Lima’ani Tanqihil Andhar, vo. 1, Beirut : Dar Ihyaul Turats al Arabi,
Sohari. Sahrani,. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia
Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang : UIN-Malang Press
Uwayd ,Salah Muhammad Muhammad. 1989. Taqrib Al-tadrib . Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah
Abdurrahman, mifdol, Pengantar Studi Ilmu Hadist, Jakarta, Ulumul Hadist, 2005
Aziz Mahmud dan Mahmud Yunus, Ilmu musthalah al-hadist. Jakarta: Jamamurni 1975
Departemen agama RI, Qur’an hadis, Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta 2000
Ismail,M Syuhudi, Kaedah kesahihan sanad hadits. Jakarta. Pt Bulan Bintang. 1995
Ehsan. Asmawi, Ilmu Hadith, Dewan Bahasa Dan Pustaka, Kuala Lumpur
Al-Baghdadi. Al-Khatib, Al-kifayah.,
Muhammad Salah, Uwayd Muhammad., Taqrib Al-tadrib, Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989
Ismail, M. Syuhudi, Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1991
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Dinayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Ibn As-Shalah, Ibn Abdurrahman Asy-Syahrazuwariy, ‘Ulum al-Hadis, Madinah: Maktabah al-Ilmiyyah, 1996
Zuhri, Muh. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003
Thahan, Mahmud, Ilmu Hadits Praktis, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005
Mudasir, H, Ilmu Hadis (untuk IAIN, STAIN, dan PTAIS), Bandung: CV Pustaka Setia, 1999
‘Ajaj, Muhammad al-Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits , Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Azami, M.M. Memahami Ilmu Hadist, Terj. Meth Kieraha, Jakarta: Lentera, 1993
Ibn, Al Hafidz Katsir, Al Baits al-Hatsits fi Ikhtishari ilm al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, tt Ismail,
Syahudi, M, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung: Pustaka Setia, 2005
Suparta, Munzier dan Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996


[1] Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal 120
[2] Asmawi Ehsan, Ilmu Hadith, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka), hlm.84-85
[3] Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-kifayah., hlm.  54
[4] Salah Muhammad  Muhammad Uwayd., Taqrib Al-tadrib . (Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989) hal 110
[5] Al Hakim al  Naisaburi, Ma’rifah Ulum al-Hadist. (Bandung: Nuansa Cendekia, 2006), hal 59
[6] Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah .hal 80
[7] Al- Suyuthiy telah menghimpun hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dari berbagai mukharrij, sebanyak 695 hadis.
[8] Pemalsuan terjadi karena kepentingan politik antara Ali dan Muawwiyah.
[9] M. Syuhudi Ismail, Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 17
[10] Sahrani, Sohari, Ulumul Hadis, (Bogor : Ghalia Indonesia, .2010) hlm. 177
[11] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 61
[12] Ibn Abdurrahman Asy-Syahrazuwariy Ibn As-Shalah, ‘Ulum al-Hadis, (Madinah: Maktabah al-Ilmiyyah, 1996), hlm. 123
[13] Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologi, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 107
[14] Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), hlm. 187.
[15] H. Mudasir, Ilmu Hadis (untuk IAIN, STAIN, dan PTAIS), (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 188.

2 komentar: