Selasa, 05 Desember 2017

BAB V MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP ISTIMEWA LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KELAS I TANGERANG



BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di SMP Istimewa Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Tangerang mengenai model pembelajaran pendidikan agama Islam di SMP tersebut,  maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;
1.    Model pembelajaran pendidikan agama Islam adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur dan sistem dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dapat juga diartikan sebagai suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar berupa usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar tercapai tujuan pendidikan agama Islam yaitu meningkatkan  keimanan,  pemahaman, penghayatan dan pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. serta berakhlak mulia dalam kehidupan  pribadi,  bermasyarakat,  berbangsa  dan bernegara.
2.    LPKA merupakan sebuah institusi yang berfungsi untuk melaksanakan pembinaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum,  Di dalam LPKA anak yang berstatus narapidana tersebut bersekolah seperti anak di sekolah umum lainnya. Mata pelajaran yang disampaikan berpedoman pada kurikulum 2013. Akan tetapi dalam praktiknya harus mengikuti situasi dan kondisi yang ada karena SMP tersebut berstatus istimewa dengan siswa berkarakteristik istimewa dengan latar belakang tindak kejahatan yang pernah mereka lakukan.
3.    Pembelajaran pendidikan agama Islam di SMP Istimewa LPKA Kelas I Tangerang selain didapat dari mata pelajaran sekolah juga didapat melalui kegiatan pesantren yang sudah terjadwal, kegiatan ESQ (Emotional Spiritual Quotients), dan kegiatan perayaan hari besar Islam dan penerapannya berdasarkan teori belajar rumusan Joyce dan Well yaitu model interaksi sosial, model personal, model modifikasi tingkah laku, dan model-model pembelajaran pendidikan agama Islam dalam pembinaan akhlak yang terdapat di dalam al-Qur`an.
4.    Penerapan model-model pembelajaran pendidikan agama Islam tersebut sudah dapat dikategorikan baik mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap siswa yang istiqomah dalam melaksanakan shalat fardhu berjamaah, mengikuti kegiatan pesantren dan partisipasi siswa dalam mengikuti kegiatan pendidikan agama Islam lainnya.  Selain itu, sebagian besar siswa dapat merasakan manfaat yang nyata terhadap peningkatan keimanannya setelah mengikuti pembelajaran pendidikan agama Islam di LPKA.
B.  Saran

Saran dari penulis yakni sebagai berikut;
1.    Mengingat anak yang berada di LPKA adalah anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan juga sedang mengikuti kegiatan belajar tentunya mereka membutuhkan gizi yang baik. Maka hendaknya pihak pemerintah melalui Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia meningkatkan sarana dan prasarana serta menambah alokasi anggaran agar terpenuhi gizi yang baik bagi tumbuh kembang anak-anak tersebut.
2.    Bagi pihak LPKA hendaknya tetap mengawasi keterlibatan siswa dalam mengikuti kegiatan pendidikan agama Islam, juga agar tetap dijaga kelangsungan kegiatan yang telah dijadwalkan, dan kalau perlu lebih ditingkatkan lagi.



DAFTAR PUSTAKA


Abdillah Subarkah, Milana, Pendidikan Islam Dalam Persperktif Kemuhammadiyahan,  Tangerang: UMT Press, 2015

Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

Ahmad, Muhammd Abdul Qadir, Metodologi Pengajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: IAIN, 1985

Amri Syafri, Ulil, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur`an, Jakarta: Rajawali Pers, 2012

Armai, Arief, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, Cet. Ke-2, 2002

Asy-Syafi`i, Imam, Surat Az-Zumar, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, Penerbit: Pustaka

Daradjat, Zakiah dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT. BumiAksara

Daud Ali, Muhammad, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2016

Departemen  Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995

Direktorat Bimkemas Dan Pengentasan Anak, Pedoman Perlakuan Anak Dalam Proses Pemasyarakatan Lembaga Pembinaan Khusus Anak,  Direktorat  Jendral Pemasyarakatan, Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI

-------, Ensiklopedia Bebas, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bagian Sejarah

Fathurrohman, Muhammad dan Sulistyorini, Belajar Dan Pembelajaran, Yogyakarta: Sukses Offset, 2012

Fauzi, Achmad, Urgensi Pengetahuan Ilmu Pengetahuan Agama Dalam Kehidupan Manusia, Tangerang: Jurnal Rausyan Fikr. FAI Univ. Muhammadiyah Tangerang: Vol. XII, 2016

Huda, Miftahul, Mode-Model Pengajaran Dan Pembelajaran, Isu-Isu Metodis Dan Paradigmatis, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2014

Kartono, Kartini, Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, Jakarta: RajawaliPers, 1992

Katsir Ibnu, Tafsir Surat Az-Zumar, Penerbit: Pustaka Imam Asy-Syafi`i, Jilid 7

Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, Kurikulum 2013 Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)

Kurniyati, E, Pendekatan Humanisme Dalam Perspektif Pendidikan Islam, Tangerang: Rausyan Fikr, FAI UMT, 2016

Kurniasih, Imas & Berlin Sani, Ragam Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Professional Guru, Kata Pena, cet. I, 2015

-------, Lapas Anak Berubah Jadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Bandung: Sindonews.com, posted: Selasa, 4 Agustus 2015, 19:27 WIB.

Majid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosada Karya, 2006

Maunah, Binti, Metodologi  Pengajaran  Agama Islam, Yogyakarta:  Teras,  2009

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002

Mukhtarom, Asrori, Akhlak Tasawuf, Tangerang: Avecenna Press, 2015

Mulyasa, E., Manajemen Pendidikan Karakter, Jakarta: Bumi Aksara, 2011
                                                                                                                        
Nawawi, Arief Barda, Kebijakan Hukum Pidana, Semarang: Kencana, 2011

-------, Optimalisasi Pembinaan Napi Anak Melalui LPKA, (http://jpp.go.id/), posted; Jumat, 31/03/2017, 14:02 WIB.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia,Cet. Ke XII, 2015

-------, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2005

Rusman, Model-Model Pembelajaran, Mengembangkan Profesional Guru, Jakarta: PT Rajawali Pers, 2014

RUU Republik Indonesia, Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Sahlani, Hubungan Manusia Dengan Nilai-nilai Pendidikan Agama. Tangerang: Jurnal Rausyan Fikr. FAI. Univ. Muhammadiyah Tangerang, Vol. VII, 2013

Sholeh, Saiman dan Abdul Basyit, Umul Al- Qur`an, Tangerang:  CV. Erries, 2013

Syafe`i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, Konsep, Landasan Dan Implementasinya pada Kurikulum 2013, Jakarta: Kencana, 2014

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional.



.

BAB II MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP ISTIMEWA LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KELAS I TANGERANG



BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
1.      Pengertian Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan sebuah prosedur yang sistimatis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Selain itu, dapat juga diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran.[1]  Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Dalam rumusan Roy Kellen terdapat dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu: pendekatan yang berpusat pada guru (teacher centered approaches), dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student centered approaches).[2]
Dikutip dari buku Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual, Sukamto dkk., menyatakan bahwa, “Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur dan sistem dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.”[3] Adapun kecendrungan pemikiran tentang belajar berupa kerangka konseptual sebagai berikut;
a)      Proses belajar,
b)      Transfer belajar,
c)      Siswa sebagai pembelajar, dan
d)     Lingkungan belajar.[4]
Dalam rumusan Joyce & Well, model-model pembelajaran berdasarkan teori belajar dikelompokkan menjadi empat model pembelajaran. Model-model tersebut, merupakan pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Joyce & Well berpendapat bahwa, “Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lainnya. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya”[5]
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah, bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh seorang guru di dalam kelas.
2.      Dasar Pertimbangan Pemilihan Model Pembelajaran
Sebelum menentukan model pembelajaran yang ingin digunakan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan seorang guru dalam menentukan pilihannya terhadap penggunaan model pembalajaran yang akan digunakan nantinya, di antaranya adalah:
a)      Pertimbangan terhadap tujuan yang hendak ingin dicapai. Pertanyaan- pertanyaan yang dapat diajukan adalah:
1)      Apakah tujuan pembelajaran yang ingin dicapai berkenan dengan kompetensi akademik, kepribadian, sosial atau yang dulu diistilahkan domain kognitif, afektif dan psikomotorik?
2)      Bagaimana kompleksitas tujuan pembelajaran yang ingin dicapai?
3)      Apakah tujuan yang hendak dicapai itu memerlukan keterampilan akademik?
b)      Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran:
1)      Apakah materi pelajaran itu berupa fakta, konsep, hukum atau teori tertentu?
2)      Apakah untuk mempelajari materi pembelajaran itu memerlukan prasyarat atau tidak?
3)      Apakah bahan atau sumber pendukung sudah ada dan relevan untuk materi?
c)      Pertimbangan dari sudut peserta didik atau siswa:
1)      Apakah model pembelajaran yang dipilih sesuai dengan bakat, minat, dan kondisi peserta didik?
2)      Apakah model pembelajaran itu sesuai dengan gaya belajar peserta didik?
3)      Apakah model pembelajaran sesuai dengan tingkat kematangan peserta didik?
d)     Pertimbangan lainnya yang bersifat nonteknis.
1)      Apakah untuk mencapai tujuan hanya cukup dengan satu model saja?
2)      Apakah model pembelajaran yang sudah ditetapkan dianggap satu-satunya model yang dapat digunakan?
3)      Apakah model pembelajaran itu memiliki nilai efektifitas atau efisiensi?[6]

3.      Ciri-Ciri Model Pembelajaran
Model pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a)      Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. Sebagai contoh, model penelitian kelompok disusun oleh Herbert Thelen dan berdasarkan teori John Dewey. Model ini dirancang untuk melatih partisipasi dalam kelompok secara demokratis.
b)      Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu, misalnya model berpikir induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikik induktif.
c)      Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas, misalnya model synestic dirancang untuk memperbaiki kreativitas dalam pelajaran mengarang.
d)     Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: (1) urutan langkah-langkah pembelajaran (syntax); (2) adanya prinsip-prinsip reaksi; sistem sosial; dan (4) sistem pendukung. Keempat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran.
e)      Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak tersebut meliputi: (1) Dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat diukur; (2) Dampak pengiring, yaitu hasil belajar jangka panjang.
f)       Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya.[7]

4.      Model-Model Desain Pembelajaran
Seorang guru sebelum melakukan kegiatan pembelajaran terlebih dahulu harus membuat desain atau perencanaan pembelajaran. Dalam mengembangkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), seorang guru harus menggunakan model desain yang dianggap cocok untuk dikembangkan. Beberapa model pengembangan pembelajaran antara lain:
a)      Model Prosedur Pengembangan Sistem Instuksional (PPSI)
PPSI digunakan sebagai pendekatan penyampaian pada pelaksanaan kurikulum 1975 untuk tingkat SD, SMP dan SMA, dan kurikulum 1976 untuk sekolah kejuruan. PPSI merupakan model pembelajaran yang menerapkan suatu sistem untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Adapun langkah-langkahnya yaitu:
1)      Merumuskan Tujuan Pembelajaran (menggunakan istilah yang oprasional, berbentuk hasil belajar, terbentuk tingkah laku dan hanya ada satu kemampuan/tujuan)
2)      Mengembangkan Alat Evaluasi (menentukan jenis tes yang akan digunakan, menyusun item soal untuk masing -masing tujuan)
3)      Menentukan Kegiatan Belajar Mengajar (merumuskan semua kemungkinan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan, menerapkan kegiatan pembelajaran yang akan ditentukan)
4)      Merencanakan Program Kegiatan Belajar Mengajar (merumuskan materi pelajaran, menetapkan metode yang digunakan, memilih alat, dan sumber yang digunakan dan menyusun program kegiatan/jadwal)
5)      Pelaksanaan (mengadakan pratest, menyampaikan materi pelajaran, mengadakan posttest dan revisi).[8]

b)      Model R. Glasser
Model Glasser adalah model yang paling sederhana. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mengembangkan desain pembelajaran model Glasser adalah sebagai berikut:

1)      Instructional Goals (sistem objektif)
Pembelajaran dilakukan dengan cara langsung melihat atau menggunakan objek sesuai dengan materi pelajaran dan tujuan pembelajaran. Jadi, seorang siswa diharapkan langsung bersentuhan dengan objek pelajaran. Dalam hal ini siswa lebih ditekankan pada praktik.
2)      Entering Behavior (sistem input)
Pelajaran yang diberikan pada siswa dapat diperlihatkan dalam bentuk tingkah laku, misalnya siswa terjun langsung ke lapangan.
3)      Instructional Procedures (sistem operator)
Membuat prosedur pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan materi pelajaran yang akan disampaikan kepada siswa, sehingga pembelajaran sesuai dengan prosedurnya.
4)      Performance Assessment (output monitor)
Pembelajaran diharapkan dapat mengubah penampilan atau perilaku siswa secara tetap atau perilaku siswa yang menetap.[9]

c)      Model Gerlach dan Ely
Gerlach dan Ely mendesain sebuah model pembelajaran yang cocok digunakan untuk segala kalangan termasuk untuk pendidikan tingkat tinggi, karena di dalamnya terdapat penentuan strategi yang cocok digunakan oleh peserta didik dalam menerima materi yang akan disampaikan.Model ini juga menerapkan pemakaian produk teknologi pendidikan sebagai media dalam menyampaikan materi.[10] Komponen-komponen model pembelajaran Gerlach dan Ely yaitu:
1)      Merumuskan Tujuan Pembelajaran (Spesification of Objectives)
2)      Menentukan Isi Materi (Spesification of  Content)
3)      Penilaian Kemampuan Awal Siswa (Assessment of Entering Behaviors)
4)      Menentukan Strategi (Detemination of  Strategy)
5)      Pengelompokan Belajar (Organization of  Groups)
6)      Pembagian Waktu (Allocation of  Time)
7)      Menentukan Ruangan (Allocation of  Space)
8)      Memilih Media (Allocation of Resources)
9)      Mengevaluasi Hasil Belajar (Evaluation of Permance)
10)     Menganalisis Umpan Balik (Analysis of Feedback).[11]



d)     Model Jerold E. Kemp
Model Kemp memberikan bimbingan kepada para siswanya untuk berpikir tentang masalah-masalah umum dan tujuan-tujuan pembelajaran. Model Kemp juga mengarahkan pengembang desain instruksional untuk melihat karekteristik para siswa serta menentukan tujuan-tujuan belajar yang tepat. Langkah berikutnya adalah, spesifikasi isi pelajaran dan mengembangkan pretest dari tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.[12]
Selanjutnya, menetapkan strategi dan langkah-langkah dalam kegiatan belajar mengajar serta sumber-sumber belajar yang akan digunakan. Materi/isi (content) kemudian dievaluasi atas dasar tujuan-tujuan yang telah dirumuskan, lalu melakukan identifikasi dan revisi didasarkan atas hasil-hasil evaluasi.[13] Langkah-langkah pengembangan desian pembelajaran model Jerold E. Kemp terdiri dari delapan langkah yakni;
1)      Menentukan tujuan instruksional umun atau kompetensi dasar, yaitu tujuan umum yang ingin dicapai dalam mengajarkan masing-masing pokok bahasan.
2)      Membuat analisis tentang karakteristik siswa. Analisa ini diperlukan antara lain untuk mengetahui latar belakang pendidikan dan sosial budaya siswa memungkinkan untuk mengikuti program, serta langkah-langkah apa yang perlu diambil.
3)      Menentukan tujuan intruksional secara spesifik, operasional, dan terukur. Dengan demikian, siswa akan tau apa yang harus dikerjakannya, bagaimana mengerjakannya, dan apa ukuranya bahwa ia telah berhasil. Bagi guru, rumusan itu akan berguna dalam menyusun tes kemampuan/keberhasilan dan pemilihan materi/bahan belajar yang sesuai.
4)      Menentukan materi pelajaran yang sesuai dengan tujuan intruksional khusus yang telah ditentukan atau dirumuskan.
5)      Menetapkan penjajagan atau tes awal. Ini diperlukan untuk mengetaui sejauh mana pengetauan awal siswa dalam memenuui pesyaratan belajar yang dituntut untuk mengikuti program pembelajaran yang akan dilaksanakan.
6)      Menentukan strategi belajar mengajar, sumber belajar dan media pembelajaran. Kriteria umum untuk pemilihan strategi pembelajaran yang sesuai dengan instruksional khusus/indikator tersebut, adalah efisiensi, keefektifan, ekonomis, kepraktisan melalui suatu analisis alternatif.
7)      Mengoordinasikan sarana penunjang yang diperlukan meliputi biaya, fasilitas, peralatan, waktu dan tenaga.
8)      Mengadakan evaluasi. Evaluasi ini sangat perlu untuk mengotrol dan mengkaji keberasilan program secara keseluruan yaitu, siswa, program pembelajaran, alat evaluasi (tes), dan metode/strategi yang digunakan.[14]

5.      Macam-Macam Model Pembelajaran
Joyce dan Well mengidentifikasi sedikitnya 23 macam model-model pembelajaran yang diklasifikasikan ke dalam empat kelompok yang didasarkan pada sifat-sifatnya, karekteristik-karekteristiknya, dan pengaruh-pengaruhnya.[15] Berikut ini penjelasan empat kelompok tersebut secara singkat;
a)      Model Interaksi Sosial
Model ini didasari oleh teori belajar Gestalt (field-theory). Model interaksi sosial menitik beratkan pada hubungan yang harmonis antara individu dengan masyarakat (learning to life together).[16]  Pokok pandangan Gestalt adalah objek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai suatu keseluruhan yang terorganisasikan. Makna suatu objek/peristiwa adalah terletak pada keseluruhan bentuk dan bukan bagian-bagiannya. Pembelajaran akan lebih bermakna bila materi diberikan secara utuh bukan bagian-bagian.[17] Sasaran utamanya adalah untuk membantu siswa belajar bekerja sama, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah, baik yang sifatnya akademik maupun sosial.
Tujuan-tujuan utamanya adalah:
1)      Membantu siswa bekerja sama untuk mengidentifikasikan dan menyelesaikan masalah.
2)      Mengembangkan skill hubungan masyarakat
3)      Meningkatkan kesadaran akan nilai-nilai personal dan sosial.[18]
Model-model yang temasuk dalam kategori ini adalah;
1)      Model Kooperatif,
2)      Model Bermain Peran,
3)      Model Penelitian Yuridis.[19]
b)      Model Pemrosesan Informasi 
Model ini berfokus pada kapasitas intelektual, berdasarkan pada kemampuan siswa untuk mengobservasi, mengolah data, memahami informasi, membentuk konsep-konsep, menerapkan simbol-simbol verbal dan non-verbal, dan memecahkan masalah. Tujuan utamanya antara lain:
1)      Penguasaan metode-metode inkuiri
2)      Penguasaan konsep-konsep dan fakta-fakta akademis
3)      Pengembangan skill-skill intelektual umum, seperti kemampuan bernalar dan berpikir lebih logis.[20]
Model-model yang temasuk dalam kategori ini adalah; [21]
1)      Model berpikir induktif,
2)      Model pencapaian konsep,
3)      Model induktif  kata bergambar,
4)      Model penelitian ilmiah,
5)      Model latihan penelitian,
6)      Model menghafal,
7)      Model sinestik, dan
8)      Model advance organizer.
c)      Model Personal (Personal Model)
Model ini bertitik tolak dari teori humanistik, yaitu berorientasi terhadap perkembangan diri individu. Perhatian utamanya pada emosional siswa untuk mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya. Menjadikan pribadi siswa mampu membentuk hubungan yang harmonis serta mampu memproses informasi secara efektif. Model ini juga berorientasi pada individu dan perkembangan keakuan.[22] Tujuan-tujuan utama kategori model ini adalah:
1)      Meningkatkan harga diri siswa
2)      Membantu siswa memahami dirinya secara utuh
3)      Membantu siswa mengenali emosinya dan menjadi lebih sadar bagaimana emosi tersebut bisa berpengaruh terhadap aspek-aspek lain dalam perilaku mereka.
4)      Membantu mereka mengembangkan tujuan-tujuan belajar.
5)      Membantu siswa mengembangkan rencana meningkatkan kompetensinya.
6)      Meningkatkan kreativitas dan gaya permainan  siswa
7)      Meningkatkan keterbukaan siswa pada pengalaman-pengalaman baru.[23]

Model-model yang temasuk dalam kategori ini adalah;
1)      Model Pengajaran Tak Terarah, dan
2)      Model Class Room Meeting.[24]



d)     Model Modifikasi Tingkah Laku
Model ini bertitik tolak dari teori belajar behavioristik, yaitu bertujuan mengembangkan sistem yang efisien untuk mengurutkan tugas belajar dan membentuk tingkah laku dengan cara memanipulasi penguatan (reinforcement). Lebih menekankan pada aspek perubahan perilaku psikologis dan perilaku yang tidak dapat diamati. Karakteristiknya  adalah dalam hal penjabaran tugas-tugas yang harus dipelajari siswa lebih efisien dan berurutan.[25] Terdapat 4 fase dalam model modifikasi tingkah laku, yaitu:
1)      Fase mesin pembelajaran,
2)      Penggunaan media,
3)      Pengajaran berprogram (linear dan branching),
4)      Operant conditioning dan operant rainforcement.[26]
Implementasi dari model modifikasi tingkah laku ini adalah meningkatkan ketelitian pengucapan pada anak, guru selalu perhatian terhadap tingkah laku belajar siswa, modifikasi tingkah laku anak yang kemampuan belajarnya rendah dengan memberikan reward, sebagai reinforcement pendukung, dan penerapan prinsip pembelajaran individual (individual learning) terhadap pembelajaran klasikal.[27] Beberapa model yang termasuk dalam kategori ini yaitu:
1)      Model instruksi langsung, dan
2)      Model simulasi.[28]
6.      Pengertian Pendidikan Agama Islam
Istilah pendidikan dalam bahasa Indonesia adalah,
Berasal dari kata `didik` dengan memberikan awalan `an` mengandung arti `perbuatan`. (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogos” yang berarti pergaulan anak-anak. Dalam paedagogos adanya seorang pelayan atau bujang pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah. Paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin). Perkataan yang mulanya berarti “rendah” (pelayan, bujang), sekarang dipakai untuk pekerjaan mulia. Paedagog (pendidik atau ahli didik) ialah seorang yang tugasnya membimbing anak. Sedangkan pekerjaan membimbing disebut paedagogis. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan.[29]

Beberapa pengertian pendidikan menurut para ahli yaiu: 
a)      Dikutip dari tulisan Sahlani dinyatakan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas, dinyatakan bahwa, “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.”[30]
b)      Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, dinyatakan bahwa, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”[31]
c)      Menurut Ahmad D. Marimba dikutip dari buku Ramayulis yang berjudul, Ilmu Pendidikan Islam, pendidikan adalah, “Bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.”[32]
d)     Menurut Milana, “Pendidikan juga dapat diartikan secara sempit maupun luas. Pendidikan secara sempit maksudnya adalah bimbingan yang diberikan kepada anak-anak sampai dewasa. Sedangkan pendidikan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang menyangkut proses perkembangan dan pengembangan manusia, yaitu upaya menanamkan nilai-nilai bagi anak didik, sehingga nilai-nilai pendidikan itu menjadi bagian dari kepribadian anak yang pada gilirannya ia menjadi orang pandai, berbudi pekerti, mampu hidup dan berguna bagi masyarakat.”[33]
Adapun pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata A dan Gama. A artinya tidak dan Gama artinya kacau atau kocar-kacir. Kata agama dalam bahasa Indonesia umumnya dianggap selaras dengan kata asing, religi atau religere yang berarti mengikat. Kemudian dimaknai sebagai ikatan manusia dengan energi selain manusia. Dengan kata lain, agama merupakan tuntunan hidup yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan.[34] Istilah lain bagi agama berasal dari bahasa Arab yaitu addin yang berarti; hukum, perhitungan, kerajaan, kekuasaan, tuntunan, keputusan, dan pembalasan. Kesemuanya memberikan gambaran bahwa addin merupakan pengabdian dan penyerahan, mutlak dari seorang hamba kepada Tuhan penciptanya dengan upacara dan tingkah laku tertentu sebagai manifestasi ketaatan tersebut.[35]
Menurut Muhammad Daud Ali, bahwa definisi agama adalah, “Kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan Dia melalui upacara penyembahan dan permohonan dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu.”[36] Menurut M. Natsir dikutip dari tulisan Sahlani, agama adalah merupakan suatu kepercayaan dan cara hidup yang mengandung faktor-faktor antara lain:
a)      Percaya kepada Tuhan sebagai sumber dari segala hukum dan nilai-nilai hidup.
b)      Percaya kepada wahyu Tuhan yang disampaikan kepada Rasul-Nya.
c)      Percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dengan manusia.
d)     Percaya dengan hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya sehari-hari.
e)      Percaya bahwa matinya seseorang, hidup rohnya tidak berakhir.
f)       Percaya dengan ibadat sebagai cara mengadakan hubungan dengan Tuhan.
g)      Percaya kepada keridhoan Tuhan sebagai tujuan hidup di dunia ini.[37]
Selanjutnya Muhammad Daud Ali mengatakan makna dari kata Islam adalah,
Turunan (jadian) yang berarti ketundukan, ketaatan, kepatuhan (kepada kehendak Allah).  Berasal dari kata salama artinya, patuh atau menerima.  Kata dasarnya adalah salima yang berarti: sejahtera, tidak tercela, bercacat. Dari kata itu terbentuk kata masdar salamat (yang dalam bahasa Indonesia menjadi selamat). Dari kata itu juga terbentuk kata salm, silm yang berarti kedamaian, kepatuhan, penyerahan (diri). Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa arti yang dikandung perkataan Islam adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan (diri), ketaatan dan kepatuhan.[38] 
Setelah memahami pengertian Pendidikan, Agama, dan Islam, selanjutnya pengertian pendidikan agama Islam yaitu, pengertian pendidikan agama Islam pada umumnya mengacu kepada term al-tarbīyah, al-ta'dīb, dan al-ta'līm. Dari ketiganya term yang popular digunakan dalam praktik pendidikan agama Islam ialah; term al-tarbīyah, sedangkan term al-ta'dīb dan al-ta'līm jarang sekali digunakan.
Terlepas dari perbedaan penggunaan term yang tiga tersebut, para ahli pendidikan agama Islam telah mencoba merumuskan pengertian pendidikan agama Islam, di antaranya adalah:
a)      Upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman.[39]
b)      Menurut Zakiah Darajat mengutip tulisan E. Kurniyati, pendidikan agama Islam adalah, “Usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life) yang dilaksanakan berdasarkan ajaran agama Islam. Dan menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.”[40]
c)      Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan Islam sebagai, “Bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Bila disingkat, pendidikan Islam ialah, bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin.”[41]
Dari beberapa pendapat tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa, pendidikan agama Islam adalah usaha untuk menjadi Muslim yang beriman dan bertakwa mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran agama Islam ke arah pertumbuhan dan perkembangannya yang lebih baik.
7.      Dasar Pendidikan Agama Islam
Dasar pendidikan Islam dapat dibagi kepada tiga kategori yaitu:  a) Dasar Pokok, b) Dasar Tambahan, dan c) Dasar Oprasional.[42] Berikut ini penjelasannya;
a)      Dasar Pokok
1)      Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah kitab suci agama Islam dan umat Islam percaya bahwa al-Qur`an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia yang disampaikan kepada nabi Muhammad SAW. dengan perantara malaikat Jibril AS.[43]  Sebagian besar ulama mendefinisikan al-Qur`an sebagai:
كَلَامُ  اللهِ تَعَا لَى اَلْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّفْظِ الْعَرَبِيِّ اَلْمَنْقُوْلُ اِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِاَلْمَكْتُوبُ بِالْمَصَاحِفِ اَلْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهاَلْمَبْدُوْءُ بِالْفَاتِحَةِ وَالْمَخْتُومُ بِسُورَةِ النَّا سِ
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir terhimpun dalam sebuah mushaf, diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas.[44]

2)      As-Sunnah
Setelah al-Qur’an, pendidikan agama Islam menjadikan as-sunnah Rasulullah  SAW. sebagai dasar pokok kedua dan sumber kurikulumnya. Arti as-sunnah dari segi bahasa adalah, jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan. Arti tersebut bisa ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:
مَن سَنَّ فِي الْاِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهُ وَ اَجْرُ مَن عَمِلَ بِهَا مِن بَعْدِهِ
Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya.  (HR. Muslim) (Al-Khatib: 17).[45]

As-Sunnah sebagai dasar atau sumber pendidikan agama Islam dapat dipahami dari analisa sebagai berikut: 
a.       Sabda Rasulullah SAW.: “Tuhan telah mengutus aku sebagai guru (ba`atsani rabbi mu`alliman)”
b.      Nabi Muhammad SAW. tidak hanya memiliki kompetensi professional (kemampuan yang mendalam dan luas dalam ilmu agama dan ilmu lainnya) seperti psikologi, sosial, politik,  hukum dan budaya, melainkan juga memiliki kompetensi kepribadian berupa sifat terpuji, kompetensi paedogogik (teaching skill) kemampuan dalam mendidik yang prima serta kompetensi sosial berupa interaksi dan komunikasi dengan segala unsur masyarakat. Nabi Muhammad SAW. adalah seorang pendidik yang profesional.  
c.       Sewaktu berada di Mekah, Nabi Muhammad SAW. pernah menyelenggarakan pendidikan di Dar al-Arqam dan di tempat-tempat lain secara tertutup. Di Madinah pernah menyelenggarakan pendidikan di sebuah tempat khusus pada bagian mesjid yang dikenal dengan nama Saffah. Usaha-usaha tersebut menggambarkan bahwa beliau memiliki perhatian yang besar terhadap penyelenggaraan pendidikan.
d.      Sejarah mencatat, bahwa Nabi Muhammad SAW. sebagai Nabi yang paling berhasil mengemban risalah  Ilahi, yakni mengubah manusia dari jahiliyah menjadi beradab, dari tersesat menjadi lurus, dari kegelapan menuju terang menderang, dari kehancuran moral menjadi berakhlak mulia, dan dari musyrik menjadi bertauhid. Keberhasilan ini terkait erat dengan keberhasilan beliau dalam bidang pendidikan.  
e.       Di dalam teks atau matan hadis Nabi Muhammad SAW. dapat dijumpai isyarat yang berkaitan dengan pendidikan dan pembelajaran.[46]

b)      Dasar Tambahan
1)      Perkataan, Perbuatan dan Sikap para Sahabat
Pada masa Khulafa’ al-Rasyidin, sumber pendidikan dalam Islam sudah mengalami perkembangan. Selain al-Qur’an dan Sunnah juga perkataan, sikap, dan perbuatan para sahabat. Perkataan mereka dapat dipegangi karena Allah sendiri dalam al-Qur’an memberi pernyataan dalam surat al-Taubah [9] ayat 100;[47]
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّـهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْر تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُِ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai- sungai di dalamnya selama-lamanya; mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.

2)      Ijtihad.
Adalah penggunaan akal pikiran oleh fuqaha` Islam untuk menetapkan suatu hukum yang belum ada ketetapannya dalam al-Qur`an dan Hadist dengan syarat-syarat tertentu, Ijtihad dapat dilakukan dengan Ijma`, qiyas, istihsan, mashalih-murshalah dan lain-lain. Penggunaan Ijtihad dapat dilaksanakan dalam seluruh aspek ajaran Islam termasuk aspek pendidikan.[48]
3)      Mashlahah Murshalah (Kemaslahatan Umat).
Yaitu menetapkan peraturan atau ketetapan undang-undang yang tidak disebutkan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah atas pertimbangan penarikan kebaikan dan menghindarkan kerusakan. Masyarakat yang berada di sekitar lembaga pendidikan Islam berpengaruh terhadap berlanggsungnya pendidikan, maka dalam setiap pengambilan kebijakan hendaknya mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat supaya jangan terjadi hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran.[49]
4)      Urf` (Nilai-nilai dan Adat Istiadat Masyarakat)
Adalah suatu perbuatan dan perkataan yang menjadikan jiwa merasa tenang mengerjakan suatu perbuatan, karena sejalan dengan akal sehat yang diterima oleh tabiat yang sejahtera. Namun tidak semua tradisi dapat dijadikan dasar pendidikan Islam melainkan setelah melalui seleksi terlebih dahulu. Masud Zahdi mengemukakan bahwa, Urf` yang dijadikan dasar Pendidikan Islam itu haruslah:
a.       Tidak bertentang dengan ketentuan nash baik al-Qur`an maupun Sunnah.
b.      Tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan dan kemudaratan.[50]
c)      Dasar Operasional
Adalah dasar yang terbentuk sebagai aktualisasi dan dasar ideal. Hasan Langgulung menyatakan bahwa, dasar operasional pendidikan agama Islam ada enam macam yaitu:
1)      Dasar Historis, adalah dasar yang memberikan andil kepada pendidikan dari hasil pengalaman masa lalu berupa peraturan dan budaya masyarakat.
2)      Dasar Sosial, yaitu dasar yang memberikan kerangka budaya di mana pendidikan itu berkembang, seperti memindahkan, memilih dan mengembangkan kebudayaan. Dimana pendidikan bertolak atau bergerak dari kerangka kebudayaan yang ada baik memindahkan, memilih dan mengembangkan kebudayaan itu sendiri.
3)      Dasar Ekonomi, adalah dasar yang memberi perspektif terhadap potensi manusia berupa materi dan persiapan yang mengatur sumber-sumbernya yang bertanggungjawab terhadap anggaran pembelajaannya.
4)      Dasar Politik, yaitu dasar yang memberikan bingkai dan ideologi dasar yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan rencana yang telah dibuat. Dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah direncanakan harus bertitik tolak dari ideologi yang dianut, karena hal ini merupakan dasar operasional pendidikan.
5)      Dasar Psikologi, yaitu dasar yang memberi informasi tentang watak pelajar-pelajar, guru-guru, cara-cara terbaik dalam praktek, pencapaian dan penilaian dan pengukuran serta bimbingan
6)      Dasar Fisikologi, yaitu dasar yang memberikan kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem, mengotrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya.[51]

8.      Tujuan Pendidikan Agama Islam
Di dalam Kurikulum 2013 dinyatakan bahwa, penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang dinyatakan dalam peraturan pemerintah nomor 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang;
a)      Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur;
b)      Berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;
c)      Sehat, mandiri, dan percaya diri; dan
d)     Toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.[52]
Pengertian tujuan itu sendiri menurut Ramayulis ialah, “Sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.[53] Sedangkan menurut H.M. Arifin, “Tujuan itu bisa jadi menunjukkan kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu. Meskipun banyak pendapat para ahli mengenai pengertian tujuan tetapi pada umumnya pengertian itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk suatu maksud tertentu.[54]
Dari pengertian pendidikan agama Islam sebenarnya sudah dapat dipahami tujuan pendidikan agama Islam itu sendiri yaitu, menjadikan manusia sebagai Abdullah dan Khalifatullah sejati. Meskipun begitu, penulis dalam hal ini akan berusaha menambah untuk memperkaya khazanah keilmuan dengan mengemukakan beberapa pendapat ahli dalam bidang pendidikan agama Islam.
Ramayulis menerangkan bahwa, “Pendidikan agama Islam bertujuan meningkatkan  keimanan,  pemahaman, penghayatan dan pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. serta berakhlak mulia dalam kehidupan  pribadi,  bermasyarakat,  berbangsa  dan bernegara.”[55]
Zakiyah Daradjat dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam mengatakan bahwa,
Sesuatu yang diharapkan terwujud setelah orang mengalami pendidikan agama Islam secara keseluruhan yaitu, keperibadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola takwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat  hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah SWT. Ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah dan dengan manusia sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia dan di akhirat nanti.[56]
Selanjutnya Zakiyah Daradjat memaparkan ada beberapa tujuan pendidikan agama Islam yaitu:
a)Tujuan umum adalah, tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain menuju menjadi insan kamil.
a)Tujuan akhir adalah, menjadi insan kamil yang mati dan akan menghadap Tuhannya.
b)    Tujuan sementara adalah, tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.
c) Tujuan opersional adalah, tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.[57]

9.      Aspek-Aspek Tujuan Pendidikan Agama Islam
Aspek-aspek tujuan pendidikan Agama Islam meliputi empat hal, yaitu;
a)      Tujuan Pendidikan Jasmani (al-Ahdaf al-Jismiyyah),
Tujuan pendidikan perlu dikaitkan dengan tugas manusia selaku khalifah di muka bumi yang harus memiliki kemampuan jasmani yang bagus di samping rohani yang teguh
b)      Tujuan Pendidikan Rohani (al-Ahdaf al-Ruhaniyyah),
Tujuan ini dikaitkan dengan kemampuan manusia menerima agama Islam yang inti ajarannya adalah keimanan dan ketaatan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dengan tunduk dan patuh kepada nilai-nilai moralitas yang diajarkan-Nya dengan mengikuti keteladanan Rasulullah SAW. Tujuan pendidikan rohani diarahkan kepada pembentukan akhlak mulia, yang ini oleh para pendidik modern Barat dikategorikan sebagai tujuan religius, yang oleh kebanyakan pemikir Islam tidak disetujui istilah itu, karena akan memberikan kesan akan adanya tujuan pendidikan yang non religius dalam Islam.
c)      Tujuan Pendidikan Akal (al-Ahdaf al-Aqliyah),
Aspek tujuan ini betumpu pada pengembangan intelegensia (kecerdasan) yang berada dalam otak. Sehingga mampu mamahami dan menganalisis fenomena-fenomena ciptaan Allah di jagad raya ini. Seluruh alam ini bagaikan sebuah bola besar yang harus dijadikan objek pengamatan dan renungan pikiran manusia sehingga daripadanya dia mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin berkembang dan makin mendalam. Firman Allah yang mendorong pendidikan akal banyak terdapat di dalam al-Qur`an tak kurang dari 300 kali.
d)     Tujuan Pendidikan Sosial (al-Ahdaf al-Ijtima`iyah),
Adalah pembentukan kepribadian yang utuh. Dimana identitas individu di sini tercermin sebagai manusia yang hidup pada masyarakat yang plural (majemuk). Tujuan pendidikan sosial ini penting artinya karena manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi seyokyanya mempunyai kepribadian yang utama dan seimbang, yang karenanya tidak mungkin manusia menjauhi diri dari kehidupan bermasyarakat.[58]
Berdasarkan rumusan di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan agama Islam merupakan proses membimbing dan membina terciptanya pribadi fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai muslim paripurna (al-insān al-kamīl). Dan pada akhirnya tujuan pendidikan agama Islam itu tidak terlepas dari tujuan nasional yang menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, seimbang kehidupan duniawi dan ukhrawi.
10.     Materi Pendidikan Agama Islam
Materi pendidikan agama Islam secara keseluruhannya dalam lingkup Aqidah-Akhlak, Al-Qur`an-Hadist, Fiqih dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Keempat materi tersebut sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup pendidikan agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT., diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya (hablun minallah wa hablun minannas).[59] Adapun dalam skripsi ini penulis mencoba membatasi bahasan dengan, materi pendidikan akidah-akhlak. Berikut ini penjelasannya:
a)      Pendidikan Akidah (Keimanan) menurut para ahli yaitu:
1)      Zuhairini, dkk.,
 Akidah secara teknis berarti iman, kepercayaan dan keyakinan. Dan dimaksud dengan akidah adalah kepercayaan yang menghujam atau tersimpul dalam hati. Tiap-tiap pribadi pasti memiliki kepercayaan, meskipun bentuk dan pengungkapannya berbeda-beda dan pada dasarnya manusia memang membutuhkan kepercayaan. Kepercayaan itu akan membentuk sikap dan pandangan hidup seseorang.”[60]
2)      Salih Bin Fauzan Bin Abdullah Al-Fauzan,
“Akidah secara syara’ yaitu, iman kepada Allah SWT., para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan kepada hari akhir serta kepada qadar yang baik mupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.[61]
3)      Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari,
Akidah Islamiyyah adalah akidah tiga generasi pertama yang dimuliakan yaitu generasi sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka dengan baik. Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sinonimnya akidah Islamiyyah mempunyai nama lain, di antaranya, at-Tauhid, as-Sunnah, Ushuluddiin,  al-Fiqbul Akbar, Asy-Syari’iah dan al-Iman. Nama-nama itulah yang terkenal menurut Ahli Sunnah dalam ilmu akidah.”[62]
4)      Sedangkan menurut Ahmadi,
Pengembangan akidah benar-benar berfungsi sebagai kekuatan pendorong ke arah kebahagiaan hidup yang dihayati sebagai suatu nikmat Allah SWT.. Iman bagi seorang muslim merupakan nikmat paling besar yang dianugerahkan Allah SWT. kepada manusia. Iman adalah dasar dari nilai dan moral manusia yang diperkokoh perkembangannya melalui pendidikan.[63]
Pendidikan akidah merupakan standar atau ukuran tingkat keimanan yang diajarkan oleh orang tua kepada anak sejak dalam kandungan, agar anak dapat mengenal Tuhannya dan bagaimana ia bersikap pada Tuhannya dan agar ia tahu apa yang mesti diperbuat di dunia ini dan diharapkan ia kelak akan tumbuh dewasa menjadi insan yang beriman kepada Allah SWT, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.
b)      Akhlak
Para tokoh pendidikan agama Islam memandang materi akhlak merupakan suatu hal yang sangat perlu ditekankan dalam diri anak ataupun peserta didik.  Di antaranya yaitu:
1)      Dikutip dari buku Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam;
a.       Marimba menghendaki tujuan pendidikan Islam adalah, “Terbentuknya orang berkepribadian Muslim”.
b.      Al-Abrasyi menghendaki tujuan akhir dari pendidikan Islam itu adalah, “Manusia yang berahklak mulia”.
c.       Munir Mursyi menyatakan bahwa, “Tujuan akhir pendidikan menurut Islam adalah manusia sempurna”.[64]
2)      Dikutip dari buku Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Omar Muhammad Attoumy Asy-Syaebani, mengatakan bahwa, “Tujuan pendidikan Islam itu memiliki empat ciri pokok, dan beliau menempatkan sifat yang bercorak agama dan akhlak bagian yang pertama.”[65]
Dari beberapa pendapat para tokoh pendidikan agama Islam di atas menunjukkan bahwa pembelajaran akhlak adalah suatu tujuan daripada pendidikan agama Islam yang sebenarnya.  Lebih jelas mengenai akhlak yaitu:
1)      Pengertian Akhlak
Dikutip dari buku Asrori Mukhtarom yang berjudul, Akhlak Tasawuf bahwa, akhlak secara bahasa adalah bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat.  Sedangkan secara istilah, menurut Imam Ghozali dalam kitab Ihya` Ulum ad Din, Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[66]
Di kutip dari buku Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis   Al-Qur`an, Muhammad Abdullah Darraz mendefinisikan akhlak sebagai, “Suatu kekuatan dari dalam diri yang berkombinasi antara kecenderungan pada sisi yang baik (akhlaq al-karimah), dan pada sisi yang buruk (akhlaq al-madzmumah).[67]
Akhlak yang baik/terpuji (mahmudah) dan akhlak yang buruk/tercela (mazmumah), merupakan dua jenis tingkah laku yang berlawanan dan terpancar dari dua sistem nilai yang berbeda. Kedua-duanya memberi kesan secara langsung kepada kualitas individu dan masyarakat. Individu dan masyarakat yang dikuasai dan dianggotai oleh nilai-nilai dan akhlak yang baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitu pula sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan tingkah laku yang buruk, maka akan porak poranda dan kacau balaulah pribadi individu dan kondisi masyarakat tersebut.
Menurut Muhammad bahwa;

Akhlak sifatnya universal dan abadi. Akhlak dalam Islam merupakan refleksi internal dari dalam jiwa manusia yang dieksternalisasikan secara kongrit dalam bentuk perilaku dan tindakan nyata. Akhlak seseorang terkait erat dengan perspektif keimanannya, tentang eksistensi dirinya sebagai khalifah Allah. Akhlak yang lahir dari kualitas internalisasi nilai-nilai iman sudah barang tentu akan memancarkan kualitas yang lebih baik. Demikian pula sebaliknya, akhlak yang buruk merefleksikan kadar keimanan seseorangyang masih labil.[68]

                        Rasulullah SAW. bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.[69]
Jadi, akhlak menempati kedudukan yang istimewa dan sangat penting, karena akhlak merupakan salah satu ajaran pokok agama Islam. Aqidah, syari`ah, dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Aqidah sebagai landasan hidup, syari`ah sebagai jalan hidup, dan akhlak sebagai sikap hidup seorang muslim sejati.[70]
2)      Sumber-Sumber Akhlak
Sumber akhlak adalah al-Qur`an dan as-Sunnah. Maksudnya segala sesuatu perbuatan itu dinilai baik buruknya bersumber dari al-Qur`an dan as-Sunnah. Salah satu contohnya adalah, mengapa sifat sabar, syukur, dan pemaaf dinilai baik?  Karena al-Qur`an menilai ketiga sifat tersebut adalah baik. Begitupun sebaliknya, mengapa pemarah dan kufur nikmat dinilai buruk? Karena al-Qur`an menyatakan bahwa kedua perbuatan tersebut tergolong sifat buruk. Kaitannya sumber akhlak Allah SWT. berfirman dalam  al-Qur`an surat al-Ahzab [33] ayat 21,[71]
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّـهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّـهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
 وَذَكَرَ اللَّـهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah
3)      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak
Menurut Abidin Nata, dikutip dari buku Asrori, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya, ada tiga aliran yang sudah sangat populer. Pertama nativisme, kedua empirisme dan ketiga konvergensi. Berikut ini penjelasan dari ketiga aliran tersebut:
a.       Aliran Nativisme
Menurut aliran nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik.
b.      Aliran Empirisme
Menurut aliran empirisme bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan dan pendidikan yang diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian juga sebaliknya. Aliran ini tampak begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran.
c.       Aliran Konvergensi
Aliran ini berpendapat bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor eksternal, yaitu pendidikan atau pembentukan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fitrah atau kecenderungan ke arah yang baik yang ada di dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai metode.[72]
4)      Ruang Lingkup Akhlak
Ruang lingkup akhlak mengupakan konsep hidup yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan alam sekitar dan manusia dengan manusia itu sendiri. Muhammad Abdullah Darraz di dalam buku Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur`an, menyatakan bahwa konsep ruang lingkup akhlak adalah sangat luas karena mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari hubungan manusia kepada Allah maupun hubungan manusia kepada sesamanya. Darraz membagi ruang lingkup akhlak menjadi lima bagian yaitu:
a.       Akhlak Pribadi (akhlaq al-fardiyah) yaitu, yang mencakup akhlak yang diperintahkan, dilarang diperbolehkan dan akhlak yang dilakukan dalam keadaan darurat.
b.      Akhlak Berkeluarga (akhlaq al-usariyah) yaitu, yang mencakup antara kewajiban orang tua dan anak, kewajiban antara suami istri dan kewajiban terhadap keluarga dan kerabat.                                    
c.       Akhlak Bermasyarakat (akhlaq al-ijtima`iyah) yaitu, yang mencakup akhlak yang dilarang dan dibolehkan dalam bermuamalah serta kaidah-kaidah adab.
d.      Akhlak Bernegara (akhlaq al-daulah) yaitu, yang mencakup akhlak di antara pemimpin dan rakyatnya serta akhlak terhadap negara lain.
e.       Akhlak Beragama (akhlaq ad-diniyah) yaitu, yang mencakup tentang kewajiban terhadap Allah SWT.[73] 
Dari kelima ruang lingkup di atas, Yunahar Ilyas membaginya lagi menjadi enam, yaitu:
a.       Akhlak kepada Allah,
b.      Akhlak kepada Rasulullah Alaihi Wa Sallam,
c.       Akhlak pribadi,
d.      Akhlak dalam keluarga,
e.       Akhlak bermasyarakat, dan
f.       Akhlak bernegara.[74]
Sedangkan Ulil Amri Syafri membagi ruang lingkup akhlak menjadi tiga bagian besar yaitu;
a.       Akhlak kepada Allah dan Rasulullah,
b.      Akhlak pribadi dan keluarga yang mencakup batasan sikap dan profil Muslim yang mulia.
c.       Akhlak bermasyarakat dan muamalah yang di dalamnya mencakup hubungan antar manusia.[75]
11.     Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Dalam Al-Qur`an.
Beberapa model pendidikan agama Islam untuk pembinaan akhlak terdapat di dalam al-Qur`an yaitu;
a)      Model Perintah (Imperatif)
Perintah (al-amr) diartikan sebagai permintaan untuk menggerakkan suatu pekerjaan dan subjek yang memberi perintah pada kajian syariah adalah Dzat Yang Maha Agung, sedangkan objeknya adalah manusia sebagai hamba-Nya. Dalam ajaran Islam, kajian dasar perintah itu datangnya dari Allah SWT. sebagai sumber syariah. Dalam kaidah fikih pada asalnya arti perintah itu adalah wajib.[76]
Beberapa bentuk kalimat yang bermakna kalimat untuk mengamalkan suatu pekerjaan juga terlihat pada ayat-ayat al-Qur`an, yaitu tidak semua perintah menggunakan fi`il amr (kata kerja perintah) tapi juga ada dengan bentukan lain yang bermakna perintah seperti kalimat berita (khabar) bernada perintah. Berikut ini contoh-contoh model perintah yang terdapat dalam   al-Qur`an, antara lain;
1)      Perintah untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong  (QS. al-Baqarah [2]: 153)
2)      Perintah untuk memakan rezeki yang baik serta bersyukur  (QS. al-Baqarah [2]:  172)
3)      Perintah untuk melaksanakan puasa  (QS. al-Baqarah [2]: 183)
4)      Perintah untuk memeluk Islam secara kaffah (QS. al-Baqarah [2]: 208)
Menurut Amri Syafri bahwa;

Model perintah ini sangat baik untuk digunakan pada pembinaan atau pendidikan akhlak untuk membentuk karakter muslim yang taat. Dalam pendidikan akhlak manusia, model ini bisa diterapkan sehingga kebaikan yang diinginkan terbentuk pada diri seseorang tidak melalui pengalaman, tapi juga perintah. Sebagai contoh, di saat seseorang ingin mengajarkan sebuah akhlak keperdulian, atau solidaritas sesama manusia, maka cara yang efektif di antaranya adalah melatih seseorang itu untuk perduli kepada  orang terdekatnya, tentunya dengan nada perintah, seperti perintah yang bisa diucapkan; cobalah kamu perhatikan kesusahan sahabatmu, cobalah beri bantuan atas kesulitannya, carikanlah jalan keluar dari masalahnya, dan seterusnya. Lalu kebiasaan ini berkembang pada lingkungan yang lebih luas, baik luas dalam artian teritorial ataupun luas dalam artian problem yang dihadapi manusia, hal itu terus terjadi secara kontinu.[77]

b)      Model Larangan
Model larangan banyak ditemui dalam teks dan nash-nash keagamaan keagamaan karena ajaran yang berdimensikan larangan merupakan batasan-batasan pada perkara yang mesti dihindari. Dimensi larangan ini juga sekaligus menjadi tolak ukur keburukan dan kejahatan. Sesuatu yang buruk dan jahat pasti telah ditetapkan pelarangannya dalam Islam.[78]
Dalam al-Qur`an, model larangan banyak dijumpai di beberapa surat, khusunya pada ayat-ayat yang diawali kalimat; “Ya ayyua al-ladzina amanu” yaitu ayat –ayat yang dikhususkan untuk orang-orang yang beriman. Ayat-ayat tersebut di antaranya;
1)      Larangan mengikuti langkah-langkah setan (QS. al-Baqarah [2]: 153)
2)      Larangan merusak amalan infak dengan riya` dan sikap mencela kepada  fakir miskin (QS. al-Baqarah [2]: 264)
3)      Larangan melakukan riba (QS. Ali-Imran [3]: 130)
4)      Larangan beribadah dalam kondisi mabuk (QS. an-Nisaa  [4]: 43)
Model larangan adalah bentuk pembatasan, artinya dunia pendidikan Islam harus memiliki pembatasan-pembatasan yang jelas dan tidak memberikan kebebasan mutlak pada pelaku pendidikan, baik kepada peserta didiknya maupun pada pada tatanan kurikulumnya.[79] Pelarangan-pelarangan dalam proses pendidikan bukanlah sebuah aib, tetapi metode ini penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Implikasi metode larangan adalah berupa pembatasan-pembatasan dalam proses pendidikan, dan pembatasan itu dapat dilakukan dengan kalimat melarang atau mencegah yang diintegrasikan pada kurikulum.[80]
c)      Model Targhib (Motivasi)
Pada dasarmya model targhib adalah janji-janji Allah yang pasti akan terealisasi. Wujud janji tersebut ada yang dalam lingkup kehidupan dunia jangka pendek atau kebutuhan jangka panjang yaitu kehidupan akhirat nanti. Targhib menjadi model pendidikan yang memberi efek motivasi untuk beramal dan memercayai sesuatu yang dijanjikan.[81] Contoh-contoh kalimat targhib dalam al-Qur`an di antaranya;
1)      Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar (QS. al-Baqarah [2]: 104)
2)      Agar kamu bertakwa (QS. al-Baqarah [2]: 183)
3)      Supaya kamu mendapat keberuntungan (QS. Ali-Imran [3]: 130)
4)      Supaya kamu beruntung (QS. Ali- Imran [3]: 200)
5)      Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (QS.                 an-Nisaa [4]: 183)
Pendidikan yang menggunakan model targhib adalah pendidikan yang melihat manusia tidak saja pada aspek akal dan jasmani, tapi juga melihat aspek hati atau jiwa. Keberhasilan suatu pendidikan diukur pada orientasi pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Jadi harus dipastikan pendidikan pada aspek akal, jasmani serta jiwa atau hati, ketiganya mesti seimbang, tidak pincang. Model targhib ini juga mengakui eksistensi jiwa dan perasaan di mana hal ini amat penting dalam dunia pendidikan. Model ini mencoba untuk memberikan porsi pendidikan kepada jiwa dan hati tersebut dengan kalimat-kalimat yang membangkitkan manusia untuk bergerak. Tidak saja aspek jiwa atau hati yang digugah, akalpun diberi ruang untuk berpikir, yaitu membedakan antara suatu yang positif dan yang membahayakan.[82]

d)     Model Tarhib (Menakut-nakuti)
Sama halnya dengan targhib, model tarhib yang dimaksud pada penelitian ini merupakan tarhib yang bersumber dari Allah SWT. Semua  tarhib yang disampaikan Allah SWT. kepada manusia bersifat ancaman yang disampaikan dalam proses mendidik manusia.[83]
Namun tarhib bukanlah hukuman itu sendiri, model tarhib berbeda dengan hukuman. tarhib adalah proses atau metode dalam menyampaikan hukuman, dan tarhib itu sendiri ada sebelum suatu peristiwa terjadi. Sedangkan hukuman adalah wujud dari ancaman yang ada setelah peristiwa itu terjadi. Contoh ketika anak didik dilarang menggunakan narkoba, kemudian diiringi dengan penjelasan secara detail suatu ancaman yang dapat menakut-nakuti agar peserta didik tidak menggunakan narkoba. Maka upaya tersebut adalah model tarhib sedangkan detail wujud dari sesuatu yang berefek menakut-nakuti tadi adalah hukuman, misalnya dihukum dengan dikeluarkan dari sekolah.[84]
Kalimat-kalimat tarhib yang biasa diungkapkan dalam al-Qur`an antara lain yaitu;  
1)      Orang yang melampau batas akan mendapat siksa yang amat pedih             (QS. al-Baqarah [2]: 178)
2)      Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (QS. al-Ma`idah [5]: 2)
3)      Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas  (QS. al-Ma`idah [5]: 51)
Model tarhib yang digunakan dalam melakukan pendidikan akhlak dapat melahirkan rasa takut yang sering disebut dengan istilah al-khauf, yaitu takut kepada Allah SWT. rasa takut model ini penting bagi setiap pribadi mukmin karena dengan rasa takut tersebut seorang mukmin berupaya menahan dirinya untuk tidak melakukan pelanggaran dan maksiat kepada Allah SWT. Dengan kata lain, ia mampu membenahi akhlak dan sikap perilakunya.[85]
e)      Model Kisah
Model kisah merupakan sarana yang mudah untuk mendidik manusia. Model ini sangat banyak dijumpai dalam al-Qur`an. Bahkan kisah-kisah dalam al-Qur`an sudah menjadi kisah-kisah yang popular dalam dunia pendidikan. al-Qur`an mengiringi berbagai aspek pendidikan yang dibutuhkan manusia.  Di antaranya adalah aspek akhlak.                     
Ada target yang ingin dicapai dalam model kisah pada al-Qur`an, yaitu;
1)      Kisah-kisah ini dapat membuktikan ke-ummi-an Nabi Muhammad SAW., karena kisah-kisah yang diceritakan beliau memperlihatkan datang dari Allah SWT.
2)      Bahwa seluruh agama yang dibawa para Nabi berasal dari Allah SWT., satu risalah yang diturunkan mulai dari Nabi Adam AS. hingga Nabi Muhammad SAW.
3)      Melalui model kisah-kisah, maka akan lahir keyakinan, bahwa Allah SWT. akan selalu menolong Rasul-Nya dan kaum mukmin dari segala kesulitan dan penderitaan. Dengan kata lain, Allah SWT. tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman jatuh dalam kesusahan dan keterpurukan.
4)      Dengan model kisah dapat dilihat bahwa musuh abadi manusia adalah iblis atau setan yang selalu ingin menjerumuskan manusia. Sekaligus model kisah dapat memupuk iman.[86]
Abdurraman an-Nalawy berpendapat bahwa, “Metode kisah yang terdapat dalam al-Qur`an mempunyai sisi keistimewaan dalam proses pendidikan dan pembinaan manusia. Menurutnya, metode kisah dalam  al-Qur`an berefek positif pada perubahan sikap dan perbaikan niat atau motivasi seseorang.”[87]
Menurut Muhammad Abdul Qadir Ahmad:
Model cerita-cerita al-Qur’an itu mempunyai tujuan pendidikan, yaitu membentuk individu-individu atau masyarakat manusia dengan nilai keislaman. Ia mendidik manusia untuk semata-mata beriman kepada Allah SWT dan rela terhadap qadha dan qadar-Nya. Ia juga menyediakan bagi orang-orang yang membaca dan mendengarnya dengan sejumlah pengetahuan dan hakikat-hakikat yang mengandung pelajaran dalam pelajaran hidup mereka dan dalam pergaulan dengan orang lain. Dengan demikian setiap pribadi akan menjalankan perannya secara baik dalam masyarakat yang baik.[88]
Model kisah sangat penting digunakan dalam pelaksanaan pendidikan, sebab dapat mempengaruhi serta menarik pendengar atau penghayatan untuk bersikap, berpendirian, bahkan berprilaku sebagaimana yang dikehendaki dalam kisah. Dengan demikian kisah tersebut dapat membentuk keimanan, moral, spiritual, dan sosial bagi anak, sebagai akhir dari tujuan pendidikan Islam.
f)       Model Dialog dan Debat
Pendidikan dan pembinaan melalui model dialog dan debat bisa ditemui dalam berbagai surat dalam al-Qur`an yang menggunakan berbagai variasi yang indah, sehingga pembaca menikmati keindahan tersebut, bahkan tidak sedikit dari para pembaca merasa ikut terlibat langsung.[89]
Contoh model dialog dan debat di dalam al-Qur`an di antaranya yaitu;
1)      Penyampaian perintah untuk bertakwa kepada Allah SWT.
(QS. Ali-Imran [3]: 102-105)
2)      Model dialog yang melahirkan rasa penyesalan seseorang.
{QS. ash-Shaff [61]: 2-3)
3)      Model dialog yang berefek lahirnya akhlak rasa syukur.
(QS. al-Waqi`ah [56]: 63-67, al-Waqi`ah [56]:  68-69, dan al-Waqi`ah [56]: 71-72)
4)      Dialog menjelaskan tentang hari kiamat
(QS. An-Naba` [78]: 1-5)
Model dialog dan debat ini juga banyak digunakan Nabi Muhammad SAW. saat menjelaskan tentang berbagai hal. Contoh model dialog dan debat di dalam hadist antara lain yaitu;                
1)      Rasululah SAW. bersabda; “Tahukah kamu apa itu ghibah?” Lalu para sahabat menjawab; “Allah dan Rasul-Nya tentu lebih mengetahuinya.’ Kemudian Rasulullah menyampaikan sabda sebagai jawaban dari pertanyaannya, “Engkau menyebut tentang saudaramu suatu yang ia tidak sukai.” Sahabat bertanya lagi, “Bagaimana bila yang dibicarakan itu memang kenyataannya?” “Jika kamu menyebut suatu kenyataannya, maka itu adalah ghibah, dan bila bukan kenyataan yang kamu bicarakan, maka engkau telah berdusta” (HR. Muslim)
2)      Rasululah SAW. bersabda; “Bagaimana pendapatmu jika sebuah sungai berada di depan pintu rumahmu, dan ia mandi di sungai itu lima kali dalam sehari. Apakah masih ada tertinggal kotorannya? Sahabat menjawab, “Tidak”. Rasulullah kembali bersabda, “Maka demikianlah perumpaan shalat lima waktu. Allah menghapus dengannya dosa-dosa.” (HR. Bukhari–Muslim)[90]
Pendidikan al-Qur`an melalui model-model dialog dan debat seperti ini tentunya akan memberi didikan yang membawa pengaruh pada perasaan yang amat dalam bagi diri seorang beriman. Betapa besarnya nikmat yang telah Allah SWT. berikan, yaitu agama dan ajaran-Nya, sehingga dari dialog-dialog yang terjadi akan melahirkan rasa syukur kepada Allah SWT. atas nikmat tersebut. Kesemuanya ini akan melahirkan akhlak yang baik, khususnya akhlak terhadap Allah. SWT.                           
g)      Model Pembiasaan
Menurut E. Mulyasa, pembiasaan adalah, “Sesuatu yang secara sengaja dilakukan berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Dalam bidang psikologi pendidikan, metode pembiasaan dikenal dengan istilah operant conditioning. Pembiasaan akan membangkitkan internalisasi nilai dengan cepat. Intenalisasi adalah upaya menghayati dan mendalami nilai, agar tertanam dalam diri manusia. Karena pendidikan karakter berorientasi pada pendidikan nilai, perlu adanya proses internalisasi tersebut.”[91]
Syarat- syarat pembiasaan agar dapat berjalan secara efektif dan efisien sehingga hasil yang diperoleh memuaskan di antaranya:
1)      Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat. Usia sejak bayi dinilai waktu yang sangat tepat untuk mengaplikasikan pendekatan ini, karena setiap anak mempunyai rekaman yang cukup kuat dalam menerima pengaruh lingkungan sekitarnya dan secara langsung akan dapat membentuk kepribadian seorang anak. Kebiasaan positif atau negatif itu akan muncul sesuai dengan lingkungan yang akan membentuknya.
2)      Pembiasaan hendaknya dilakukan secara kontiniu, teratur dan terprogram, sehingga pada akhirnya akan terbentuk sebuah kebiasaan yang utuh, permanen dan konsisten. Oleh karena itu, faktor pengawasan sangat menentukan dalam pencapaian keberhasilan dari proses ini.
3)      Pembiasaan hendaknya diawasi secara ketat, konsisten, dan tegas. Jangan memberi kesempatan yang luas kepada anak didik untuk melanggar kebiasaan yang telah ditanamkan.
4)      Pembiasaan yang pada mulanya hanya bersifat mekanistis, hendaknya secara berangsur-angsur dirubah menjadi kebiasaan yang disertai dengan kata hati anak didik itu sendiri.[92]


Adapun kelebihan dari model pembiasaan, yakni:
1)      Dapat menghemat waktu dan tenaga dengan baik,
2)      Pembiasaan tidak hanya berkaitan dengan aspek lahiriah saja, tetapi juga berhubungan dengan aspek rohaniah,
3)      Pembiasaan dalam sejarah tercatat sebagai model pembelajaran yang paling berhasil dalam pembentukan kepribadian anak didik.[93]
Dikutip dari buku Ulil Amri Syafri bahwa:
Untuk mencapai tujuan pendidikan karakter kepada taraf yang baik, dalam artian terjadi keseimbangan antara ilmu dan amal, maka al-Qur`an juga memberikan model pembiasaan dan praktik keilmuan. Al-Qur`an sangat banyak memberikan dorongan agar manusia selalu melakukan kebaikan. Ayat-ayat di dalam al-Qur`an yang menekankan pentingnya pembiasaan bisa dilihat pada term “amilus shalihat”. Term ini diungkap dalam al-Qur`an sebanyak 73 kali. Bisa diterjemahkan dengan kalimat “mereka selalu melakukan amal kebaikan”, atau “membiasakan beramal shaleh”. Jumlah term “amilus shalihat”. yang banyak tersebut memperlihatkan pentingnya pembiasaan suatu amal kebaikan dalam proses pembinaan dan pendidikan karakter dalam Islam.[94]  

Contoh model pembiasaan dalam al-Qur`an di antaranya yaitu;            QS. al-Baqarah [2]: 25, QS. Ali-Imran [3]: 57, QS. al-Ma`idah [5]: 9.           Begitu juga dalam hadist-hadist Rasulullah SAW. terdapat model pembiasaan dalam melakukan pendidikan akhlak harian. Contohnya  antara lain;  
1)      Rasulullah bersabda; “Apabila kalian berwudhu` maka mulailah selalu dari anggota yang kanan.“ (HR. Bukhari, Muslim, Tirmizi)
2)      Sahabat Ibnu Umar Abi Salamah berkata, Rasulullah bersabda; “Makanlah dengan bismillah, dan gunakanlah tangan kanan, dan makanlah apa yang dekat kepadamu”. Maka sejak itu begitulah kebiasaan akhlakku ketika makan. (HR. Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Bukhari).[95]
Adapun proses pendidikan yang terkait dengan perilaku ataupun sikap tanpa diikuti dan didukung adanya praktik dan pembiasan pada diri, maka pendidikan itu hanya jadi angan-angan belaka karena pembiasaan dalam proses pendidikan sangat dibutuhkan. Model pembiasaan ini mendorong dan memberikan ruang kepada anak didik pada teoru-teori yang membutuhkan aplikasi langsung, sehingga teori yang berat menjadi ringan bagi anak didik bila kerap kali dilaksanakan.[96]
h)      Model Qudwah (Teladan)
Secara Bahasa keteladanan berasal dari kata dasar teladan yaitu: “Perbuatan atau barang dan sebagainya yang patut ditiru dan dicontoh.”[97] Secara istilah, uswah dan iswah sebagaimana kata qudwah dan qidwah  berarti, “Suatu keadaan ketika seorang manusia  mengikuti mannusia lain. apakah dalam kebaikan, kejelekan, kejahatan, atau kemurtadan”[98] Dari definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa quswah merupakan suatu cara atau jalan yang ditempuh seseorang dalam proses pendidikan melalui perbuatan atau tingkah laku yang patut ditiru (modeling).
Dalam al-Qur`an kata teladan diibaratkan dengan kata-kata uswah yang kemudian dilekatkan dengan kata hasanah, sehingga menjadi padanan kata uswatun hasanah yang berarti teladan yang baik. Di dalam al-Qur`an kata uswah juga selain dilekatkan kepada Rasulullah SAW. juga sering kali dilekatkan kepada Nabi Ibrahim AS. Untuk mempertegas keteladanan Rasulullah SAW., al-Qur`an selanjutnya menjelaskan akhlak Rasulullah SAW. yang tersebar di berbagai ayat dalam al-Qur`an.[99]
Pembinaan akhlak melalui keteladanan memang cukup representatif untuk diterapkan. Menurut Abdullah Nasih Ulwan dikutip dari Ulil Amri bahwa, “Keteladanan merupakan kunci dari pendidikan akhlak seorang anak. Dengan keteladanan yang diperolehnya di lingkungan rumah dan sekolah, seorang anak akan mendapatkan kesempurnaan dan kedalam akidah, keluhuran moral, kekuatan fisik, serta kematangan mental dan pengetahuan.”[100]
Implementasi pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur`an teergambar jelas dalam kehidupan Rasullah SAW., dan para sahabatnya. Berkaca pada keberhasilan pendidikan dan pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. tampak jelas kekuatan akhlak menjadi kebanggaan karakter kepribadian Rasul yang dipuji Allah SWT. sekaligus sebagai misi utama yang diemban Rasullah SAW. untuk seluruh umat manusia, seperti dijelaskan dalam hadistnya, “Sesungguhnya aku diutus menjadi Rasul  hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Bukhari-Muslim).[101]

12.     Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di SMP
Dalam kajian Islam, Rasulullah SAW. telah menerapkan model-model pembelajaran dalam mentransfer pelajar ke para sahabat, dan saat ini dikembangkan oleh para Ilmuwan Barat. Secara tidak langsung Ilmuwan Barat terinspirasi dari model-model pembelajaran yang diterapkan Rasulullah SAW. Di antaranya adalah model-model pembelajaran yang telah disampaikan di atas.
Proses penyampaian materi pelajaran yang dilakukan Rasulullah SAW. dapat menjadi menarik dengan menggunakan metode yang tepat sesuai dengan materi yang sedang dibahas. Beliau sering menggunakan metode bermain untuk menghilangkan suasana tegang. Sehingga setiap pelajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. dapat diterima dengan baik.
Menurut Bukhari Umar bahwa:
Pada tingkatan SMP yakni rata-rata usia 12-15 tahun, ini masuk dalam golongan pra-remaja. Dalam fase ini ditandai dengan semakin meningkatnya sikap sosial pada anak. Gejala yang dominan pada masa ini adalah kecenderungan untuk bersaing yang berlangsung antara teman sebaya dan lingkungan jenis kelamin yang sama. Pada periode ini ada kesempatan yang sangat baik untuk membantu anak, disamping menguasai ilmu dan teknologi yang sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya, juga menumbuhkan sikap tanggung jawab dan menghargai nilai-nilai, terutama yang bersumber dari agama Islam.[102]

Zakiah Darajat dkk., menyatakan bahwa:     
Untuk tingkat SMP cara penyampaian model pembelajaran pendidikan agama Islam diperluas dengan mengemukakan alasan-alasan/dalil-dalil baik naqli maupun aqli, sehingga anak didik yang telah meningkat remaja itu dapat menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam pikirannya mengenai segi-segi gaib. Dan selanjutnya dapat memahami alasan-alasan tersebut dan menjadikan sebuah keyakinan.[103] Anak didik juga akan memahami bahwa apa yang diajarkan guru agamanya itu bukanlah pendapat mereka sendiri, melainkan bersumber kepada  al-Qur`an dan hadist Nabi SAW. [104]

B.     Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
1.      Pengertian Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan sebuah institusi yang berfungsi untuk melaksanakan pembinaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Menurut Menkumham, Yasonna H. Laoly bahwa, “Hingga kini pemerintah sudah membentuk sebanyak 33 LPKA yang tersebar di sejumlah daerah di Indonesia, LPKA diharapkan menjadi tempat yang lebih ramah bagi pertumbuhan dan tumbuh kembang anak dan terlebih lagi, kegiatan pendidikan menjadi fokus dalam penyelenggaraan pembinaan.”[105]
Perubahan istilah Lembaga Pemasyarakatan Anak (Lapas Anak) menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), sejalan dengan berubahnya perlakuan hukum terhadap anak-anak dalam sistem peradilan. Sekjen Kementerian Hukum dan HAM, Bambang Rantam Sariwanto mengatakan, Perubahan ini ditandai juga dengan berubahnya sistem perlakuan anak, sehingga dalam pembinaan dan bimbingan anak akan berbasis budi pekerti.[106]
2.      Siswa SMP Istimewa Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Siswa SMP adalah anak usia remaja yang perasaan dan emosinya sangat peka sehingga tidak stabil yang apabila tidak diarahkan atau dibimbing dengan baik akan berdampak terjadinya kenakalan remaja yang berujung meningkatnya kejahatan pidana. Akibatnya anak harus berhadapan dengan hukum dan mendapatkan sanksi pidana berupa penahanan di dalam penjara.
Menurut Kartini Kartono bahwa, “Segala gejala keberandalan dan kejahatan yang terjadi pada anak/remaja itu, merupakan akibat dari proses perkembangan pribadi anak yang mengandung unsur dan usaha: a) Kedewasaan seksual, b) Pencarian suatu identitas kedewasaan, c) Adanya ambisi materiil yang tidak terkendali, d) Kurang atau tidak adanya disiplin diri.[107]
Dikutip dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Bagian Umum, bahwa;
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak, antara lain, disebabkan oleh faktor di luar diri Anak tersebut. Data Anak yang berhadapan dengan hukum dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukan bahwa tingkat kriminalitas serta pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif semakin meningkat. 

Prinsip perlindungan hukum terhadap Anak harus sesuai dengan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi (ditandatangani/disahkan) oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum agar Anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan Anak. Selain itu, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.[108]
Undang-undang terbaru nomor 11 tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) secara yuridis telah merubah paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. UU SPPA merupakan keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.[109]
Di dalam UU SPPA tersebut juga dinyatakan bahwa, Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA hanya apabila keadaan dan perbuatannya akan membahayakan masyarakat dan hanya bagi anak yang telah berumur 12 sampai umurnya 18 tahun. Ketentuan selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
a)      Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat.                                            
b)      Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
c)      Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
d)     Anak yang telah menjalani ½ (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
e)      Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.
f)       Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.[110]

3.      Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana
Terdapat beberapa faktor sebagai penyebab anak melakukan kenakalan, baik berupa tindak pidana maupun melanggar norma-norma (agama, susila, dan sopan santun) yaitu dipengaruhi oleh faktor intern (dalam diri anak itu sendiri) maupun faktor ekstern (di luar diri anak);
a)      Faktor Intern yaitu; mencari identitas/jati diri, masa puber (perubahan hormon seksual), tidak ada disiplin diri, peniruan.
b)      Faktor Ekstern yaitu; tekanan ekonomi, lingkungan yang buruk.[111]
Dikutip dalam buku Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, pada kongres PBB ke-8 tahun 1990 di Havana, Cuba, diidentifikasikan bahwa aspek sosial sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khusunya dalam masalah Urban  Crime),  antara  lain  disebutkan  di  dalam  dokumen A/CONF.144/L3 sebagai berikut:
a)      Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan atau kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak serasi atau tidak cocok.
b)      Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai harapan karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial.
c)      Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga.
d)     Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang berimigrasi ke kota-kota atau negara lain.
e)      Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli. yang bersamaan dengan  adanya  rasisme  dan  diskriminasi  menyebabkan kerugian/kelemahan  di  bidang  sosial,  kesejahteraan,  dan lingkungan pekerjaan.
f)       Menurunnya atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukup) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan atau bertetangga.
g)      Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarganya, tempat kerjanya, atau di lingkungan sekolah.
h)      Penyalahgunaan alkohol, obat bius, dan lain-lain yang pemakaiaannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas.
i)        Meluasnya aktifitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya obat-obatan terlarang dan barang-barang curian.
j)        Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap-sikap intoleransi.[112]

4.      Tujuan Pidana Penjara
Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan. Pidana penjara atau hukuman penjara mulai dipergunakan terhadap orang Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1918, waktu mulai berlaku KUHP.[113] Sebelumnya, orang Indonesia biasanya dihukum dengan kerja paksa.  Di dalam RUU Republik Indonesia, Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dikatakan bahwa;
a)      Pemidanaan bertujuan:
1)      Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
2)      Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
3)      Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
4)      Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
b)      Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.[114]

5.      Prinsip Perlakuan Anak Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.
Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana penjara ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Anak sebagaimana dimaksud berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[115]  Dalam melaksanakan hal sebagaimana dimaksud, petugas di LPKA wajib mengedepankan asas Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi:
a)      Perlindungan, 
b)      Keadilan
c)      Non diskriminasi
d)     Kepentingan terbaik Anak
e)      Penghargaan terhadap pendapat Anak
f)       Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak
g)      Pembinaan dan pembimbingan Anak
h)      Proporsional
i)        Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan
j)        Penghindaran pembalasan.[116]
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya petugas LPKA wajib memperhatikan hak setiap anak dalam proses peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana yang meliputi:
a)      Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya
b)      Dipisahkan dari orang dewasa.
c)      Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif
d)     Melakukan kegiatan rekreasional
e)      Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya
f)       Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup
g)      Tidak ditangkap, ditahan atau dipenjara kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat
h)      Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tindak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum
i)        Tidak dipublikasikan identitasnya
j)        Memperoleh pendampingan orang tua/wali/pengasuh dan orang yang dipercaya oleh  Ana
k)      Memperoleh advokasi sosial
l)        Memperoleh kehidupan pribadi
m)    Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi Anak cacat
n)      Memperoleh pendidikan
o)      Memperoleh pelayanan kesehatan
p)      Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.[117]

6.      Gambaran Umum Penyelenggaraan Pendidikan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Pembinaan anak dalam LPKA harus sinergi dengan kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan layak anak. Prinsip penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yaitu:
a)      Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
b)      Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna.
c)      Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
d)     Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
e)      Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
f)       Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. 
Selanjutnya dalam pasal 5 Undang-Undang Sisdiknas diatur bahwa:
a)      Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
b)      Warga sosial yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Dan pada pasal 6 Undang-Undang Sisdiknas ditegaskan bahwa:
a)      Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
b)      Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan pasal 4, 5, dan 6 Undang-Undang Sisdiknas tersebut dapat disimpulkan bahwa anak yang ditempatkan dalam LPKA juga berhak mendapatkan pendidikan tanpa dibeda-bedakan dan pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan tersebut. Pendidikan yang diberikan pada anak dapat berupa pendidikan formal, informal maupun nonformal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.[118] Pendidikan formal terdiri atas Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi.[119]
Adapun pembinaan anak terdiri dari Pembinaan Kepribadian, Pembinaan Ketrampilan dan Pendidikan,
a)      Pembinaan Kepribadian, terdiri dari kegiatan pembinaan kerohanian, kesadaran hukum, jasmani, kesadaran berbangsa dan bernegara dan kegiatan lainnya
b)      Pembinaan Keterampilan, terdiri dari kegiatan pembinaan pertanian, peternakan, pertukangan, kesenian dan Teknologi Informasi (IT), dan kegiatan lainnya
c)Pendidikan, pendidikan anak yang diselenggarakan di LPKA terdiri dari Pendidikan Formal dari Non Formal. Pendidikan Formal terdiri dari pendidikan wajib belajar 9 tahun/ SD, SMP dan SMA, sedangkan Pendidikan Non Formal mencakup Kejar Paket A untuk tingkat SD, Paket B untuk tingkat SMP dan Paket C untuk tingkat SMA.[120]
                                                                                                
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), menyebutkan bahwa anak yang ditempatkan di LPKA berhak mendapatkan pembinaan khusus yaitu yang mengedepankan pendidikan yang layak. Dalam UU SPPA tersebut dinyatakan bahwa:
a)      Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi penegak hukum dan pihak terkait secara terpadu.
b)      Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (a) dilakukan paling singkat 120 (seratus dua puluh) jam.
c)      Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (a) dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
d)     Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (c) diatur dengan Peraturan Presiden.[121]
Substansi yang paling mendasar dalam UU SPPA adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif[122] dan diversi[123] yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi (ciri negatif) terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.[124]

C.    Penelitian Yang Relevan
Penelitian tentang pendidikan agama Islam, telah banyak dilakukan oleh para ahli, dan telah banyak menghasilkan teori yang berkaitan dengannya. Di antaranya adalah:
1.      Skripsi, Muhammad Fauzy Emqi dengan judul Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Dalam Pembinaan Mental Narapidana (Studi Multikasus Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Malang Dan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II-A Malang)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; 1) Materi pendidikan agama Islam dalam pembinaan mental narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I dan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II-A Malang. 2) Model pembelajaran pendidikan agama Islam apa yang diterapkan dalam pembinaan mental narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I dan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II-A Malang. 3) Kondisi mental narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I dan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II-A Malang.
Temuan dari hasil penelitian adalah, materi pendidikan agama Islam dalam pembinaan mental Warga Binaan di LP Kelas I Malang dan LP Wanita Kelas II-A Malang, lebih memfokuskan pada materi aqidah dan akhlak. Hal tersebut mengacu pada pandangan bahwa pendidikan yang utama dan pertama yang harus dilakukan adalah pembentukan keyakinan kepada Allah SWT. yang diharapkan melandasi sikap, tingkah laku dan kepribadian.
Dengan materi akidah dan akhlak tersebut, para warga binaan diharapkan dapat mengintrospeksi diri dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Lebih dari itu, ketika nantinya mereka bebas dari LP, mereka dapat diterima kembali di masyarakat dengan bekal pembinaan yang telah mereka dapat di dalam LP. Materi aqidah dan akhlak tersebut, adalah materi utama yang diajarkan kepada warga binaan, sedangkan sebagai pendukung agar materi tersebut dapat efektif diterima oleh warga binaan, maka disampaikan pula materi-materi yang mendukung, seperti tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama, berzikir, berdoa, mampu menjadi imam atau ceramah kepada sesama warga binaan, membaca al-Qur’an, belajar Iqra’ dan belajar tata cara merawat jenazah.
2.      Skripsi, Mila Nur Arifah dengan judul Metode Pendidikan Agama Islam Bagi Narapidana Di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salatiga
Tujuan penelitian ini adalah: 1). Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam pendidikan agama Islam bagi narapidana di Rutan Salatiga 2). Untuk mengetahui manfaat pendidikan agama Islam bagi narapidana            di Rutan Salatiga 3). Untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat pendidikan agama Islam bagi narapidana di Rutan Salatiga
Hasil penelitian ini mengungkapkan temuan-temuan bahwa metode pendidikan agama Islam di Rutan Salatiga pada kenyataannya sama dengan metode pendidikan agama Islam yang diterapkan di luar Rutan secara umum. Hanya saja yang membedakan pendidik dan peserta didiknya. Pendidik disini adalah ustadz dan peserta didik adalah narapidana. Selama narapidana menjalani masa hukuman di Rutan Salatiga, mereka tidak disiksa tetapi mereka dibimbing dengan dibekali pendidikan agama Islam dan keterampilan. Upaya yang dapat dilakukan hanya dengan kegiatan pendidikan agama Islam, karena agama Islamlah yang akan membawa narapidana menuju kebaikan sehingga membentuk pribadi yang bisa diterima di masyarakat.
3.      Skripsi, Faizatul Khotimah dengan judul Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di MIN. Purwokerto
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana inovasi model pembelajaran pendidikan agama Islam yang diterapkan di MIN. Purwokerto. Temuan dari penelitian ini adalah MIN Purwokerto berupaya melakukan inovasi dalam berbagai bidang, terutama dalam model pembelajaran, sehingga MIN Purwokerto menjadi madrasah tingkat dasar yang unggul, baik dalam akademik maupun non akademik. Setelah diterapkannya model-model pembelajaran PAI yang inovatif dan model pembelajaran pesantren khususnya, terjadi lonjakan yang fantastis baik dalam kualitas maupun kuantitas peserta didik dibandingkan dengan sebelum diterapkannya model pembelajaran pesantren.
Sedangkan penelitian ini diharapkan akan berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu karena, penelitian ini akan berfokus pada model pembelajaran pendidikan agama Islam yang disampaikan kepada siswa SMP Istimewa Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Tangerang yang berusia remaja dimana SMP tersebut telah menerapkan kurikulum yang berlaku pada SMP umum lainnya yaitu berpedoman pada kurikulum 2013. Dan agar siswa di SMP tersebut dapat lebih cepat memahami ajaran agama Islam, juga diterapkan model pembelajaran pesantren dan model-model pembelajaran pendidikan agama Islam di dalam al-Qur`an dalam pembinaan akhlak.




[1] Imas Kurniasih & Berlin Sani, Ragam Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Professional Guru, (Kata Pena, Cet.I, 2015), h. 18
[2] Rusman, Model-Model Pembelajaran, Mengembangkan Profesionalitas Guru, (Jakarta: PT Rajawali Pers, ed. ke 2, cet. 5, 2014), h. 132
[3] Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, Dan Konteekstual, Konsep, Landasan Dan Implementasinya Pada Kurikulum 2013, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 24
[4] Ibid., h.14
[5] Rusman, Model-Model Pembelajaran,……………, h. 133
[6] Rusman, Model-Model Pembelajaran...................................., h.133-134
[7] Ibid., h. 136                                                                                           
[8] Ibid.,...................................,h.148-149
[9] Ibid., h.154-155
[10] Ibid., h.155
[11] Ibid., h.157
[12] Ibid., h.166
[13] Ibid., h.167
[14] Ibid., h.167-168
[15]Miftahul Huda, Mode-Model Pengajaran Dan Pembelajaran, Isu-Isu Metodis Dan Paradigmatis, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 74
[16] Rusman, Model-Model Pembelajaran...................................., h.136
[17] Ibid., h. 137
[18] Huda, Model-Model Pengajaran Dan Pembelajaran,…….., h. 109-110
[19] Ibid., h. 110
[20] Ibid., h. 76
[21] Ibid., h. 77
[22] Rusman, Model-Model Pembelajaran ............................., h.142
[23] Huda, Model-Model Pengajaran Dan Pembelajaran,……., h.125
[24]  Ibid.
[25] Rusman, Model-Model Pembelajaran................................, h. 143
[26] Ibid., h. 144
[27] Ibid.
[28] Huda, Mode-Model Pengajaran Dan Pembelajaran,……..,  h. 135
[29] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia,Cet. Ke XII, 2015), h.30-31
[30] Sahlani, Hubungan Manusia Dengan Nilai-nilai Pendidikan Agama, (Tangerang: Jurnal Rausyan Fikr. FAI. Univ. Muhammadiyah Tangerang, Vol. VII. 2013), h.148
[31] Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB I,  Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1
[32] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam…………, h.31
[33] Milana Abdillah Subarkah, Pendidikan Islam Dalam Persperktif Kemuhammadiyahan. (Tangerang: UMT Press, 2015). h.1
[34] Achmad Fauzi, Urgensi Pengetahuan Ilmu Pengetahuan Agama Dalam Kehidupan Manusia. (Tangerang: Jurnal Rausyan Fikr. FAI Univ. Muhammadiyah Tangerang: Vol. XII. 2016),            h. 1156
[35] Sahlani, Hubungan Manusia Dengan………., h. 148-149
[36] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2016), h. 40
[37] Ibid., h. 150                                                    
[38] Ibid., h. 49
[39] Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), h. 21.
[40] E. Kurniyati, Pendekatan Humanisme Dalam Perspektif Pendidikan Islam, (Tangerang: Rausyan Fikr, FAI UMT, Vol. XI, 2016), h. 1033
[41] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h. 32
[42] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ………………, h. 188-189
[43] Saiman Sholeh dan Abdul Basyit, Umul Al- Qur`an, (Tangerang:  CV. Erries, 2013),  h. 1
[44] Rachmat Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), h. 49-50
[45] Ibid., h. 59-60
[46] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ………………, h. 192-193
[47] Ibid., h. 194-195                                                                                                                                      
[48] Ibid., h. 198
[49] Ibid., h. 199-200
[50] Ibid., h. 200-201
[51] Ibid., h. 201-202
[52] Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, Kurikulum 2013 Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah Tsanawiyah (MTs),  h. 1
[53] Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam,……………, h. 29
[54] Ibid.
[55] Ibid., h. 22
[56] Zakiah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. BumiAksara, 2011), h. 29
[57] Ibid., h. 30-33
[58] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam………………, h. 222-225
[59]Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasisi Kompetensi, (Bandung: Remaja Rosada Karya, 2006), h.130
[60] Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 42
[61] Salih Bin Fauzan Bin Abdullah Al-Fauzan. Kitab Tauhid I, (Jakarta: Yayasan Al-Sofwa, Cet. ke-2, 2000), h. 3
[62] Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah, (Pustaka Imam Syafi’i, Cet.I, 2007), h. 33-35
[63] Arifin, Filsafat Pendidikan Islam …………, h. 152
[64] Tafsir, Ilmu Pendidikan ………………., h. 46
[65] Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 94.
[66] Asrori Mukhtarom, Akhlak Tasawuf, (Tangerang: Avecenna Press, 2015), h. 1
[67] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis  Al-Qur`an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),                 h. 73
[68] Muhammad,  Aspek Hukum Dalam Muamalat, (Yogyakarta: Graha Ilmu, Cet. I, 2007), h.12
[69] HR. Bukhari-Muslim
[70] Mukhtarom, Akhlak Tasawuf, ………….., h. 3
[71] Ibid , h. 3-4
[72] Ibid., h. 47-48
[73] Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis  Al-Qur`an,…………, h. 79
[74] Ibid., h. 80
[75] Ibid., h. 80-81
[76] Ibid., h. 99
[77] Ibid., h. 100-105
[78] Ibid., h. 108
[79] Ibid., h. 111
[80] Ibid., h. 112      
[81] Ibid., h. 113
[82] Ibid., h. 117
[83] Ibid., h. 118
[84] Ibid., h. 118-119
[85] Ibid., h. 122
[86] Ibid., h. 125
[87] Ibid.
[88] Muhammd Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: IAIN, 1985), h. 69-70
[89] Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis  Al-Qur`an,…………, h.133
[90] Ibid., h. 137
[91] E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 166
[92] Binti  Maunah, Metodologi  Pengajaran  Agama Islam,  (Yogyakarta:  Teras,  2009),  h. 97
[93] Ibid., h. 98
[94] Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis  Al-Qur`an,…………, h. 137-138
[95] Ibid., h. 139
[96] Ibid.,  h. 139-140
[97] Departemen  Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 129
[98] Arief Armai, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, Cet. Ke-2, 2002), h. 117

[99]  Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wicana Ilmu, 2001), h. 95
[100] Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis  Al-Qur`an,…………, h.144
[101] Ibid., h.145-146
[102] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 121.
[103] Darajat dkk., Ilmu Pendidikan Islam, ……………. , h. 134
[104] Ibid., h. 136
[105] Norvan Akbar, Optimalisasi Pembinaan Napi Anak Melalui LPKA, (http://jpp.go.id/), posted; Jumat, 31/03/2017 14:02 WIB.
[106] Anne Rufaidah, Lapas Anak Berubah Jadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak, (Bandung: Sindonews.com.), artikel posted: Selasa, 4 Agustus 2015 - 19:27 WIB.
[107] Kartini Kartono, Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992),            h. 9
[108] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Bagian Umum.
[109] Direktorat Bimkemas Dan Pengentasan Anak, Pedoman Perlakuan Anak Dalam Proses Pemasyarakatan Lembaga Pembinaan Khusus Anak,  (Direktorat  Jendral Pemasyarakatan, Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI), h. 1
[110] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011…………………., pasal 81
[111] Kartono, Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, ………………., h. 112.
[112] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang: Kencana, 2011), h. 48
[113] Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bagian Sejarah
[114] RUU Republik Indonesia, Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Tujuan Pemidanaan, BAB III, paragraf 1 pasal 55 ayat 1-2
[115] Bimkemas Dan Pengentasan Anak, Pedoman Perlakuan Anak………, h. 16
[116] Ibid.
[117] Ibid.…………., h. 17-18
[118] Ibid., pasal 13 ayat 1
[119] Ibid., pasal 4
[120] Direktorat Bimkemas Dan Pengentasan Anak, Pedoman Perlakuan Anak………., h. 45-46
[121] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, ..........................., Pendidikan Dan Pelatihan, BAB VIII, pasal 92
[122] Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
[123] Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
[124] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.................................., Bagian Umum.